Kaidah Ke. 28 : Pengganti Menempati Posisi Yang Digantikan
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Delapan
يَقُوْمُ الْبَدَلُ مَقَامَ الْمُبْدَلِ وَلَكِنْ لاَ يُصَارُ إِلَيْهِ إِلاَّ إِذَا تَعَذَّرَ اْلأَصْلُ
Pengganti menempati posisi yang digantikan, namun pengganti tidak dijalankan kecuali jika pelaksanaan (ibadah) yang diganti terhalang
Ini sebuah kaidah yang masyhur di kalangan para Ulama. Kaidah ini menjelaskan bahwa badal (pengganti atau ibadah pengganti) diberi hukum yang sama dengan mubdal (yang digantikan atau ibadah yang digantikan). Artinya, jika yang digantikan adalah suatu yang wajib maka penggantinya juga wajib. Jika yang digantikan hukumnya sunnah maka penggantinya pun sunnah.[1]
Diantara dalil yang mendasari kaidah ini yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allâh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu. [al-Mâidah/5:6]
Pada ayat ini, setelah menjelaskan kewajiban bersuci dengan air, kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala menempatkan tanah sebagai pengganti air, ketika tidak ada air atau berbahaya jika menggunakannya. Dalam ayat ini diisyaratkan, bahwa dengan tayammum (bersuci dengan tanah atau debu) seseorang diperbolehkan mengerjakan ibadah dan hal-hal lain yang hanya boleh dikerjakan jika sudah bersuci dengan air. Di sini juga ada isyarat bahwa tayammum menempati posisi bersuci dengan air.[2]
Demikian pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الصَّعِيْدُ الطَّيِّبُ وَضُوْءُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيَتَّقِ اللهَ وَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ
Debu yang suci adalah alat bersuci bagi Muslim meskipun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Jika ia telah menjumpai air maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allâh dan menyentuhkan air itu ke kulinya.[3]
Hadits di atas juga menunjukkan bahwa tayammum dengan menggunakan debu merupakan pengganti air untuk bersuci apabila tidak ada air.[4]
Namun demikian, seseorang tidak diperbolehkan untuk mengerjakan ibadah pengganti kecuali jika sudah ia tidak mampu untuk mengerjakan ibadah yang digantikan tersebut. Jika ia langsung mengerjakan ibadah pengganti padahal ia mampu mengerjakan ibadah yang digantikan maka itu tidak sah dan ia berdosa karena mengabaikan sesuatu yang menjadi hukum asal.[5]
Berikut ini adalah beberapa contoh implementasi kaidah ini :
- Apabila seseorang bertayammum untuk melaksanakan shalat Dhuha dan ia tidak batal sampai waktu zhuhur tiba, maka ia boleh shalat Zhuhur dengan tayammumnya tersebut. Karena tayammum adalah pengganti wudhu, ketika tidak ada air.
- Seseorang yang bangun dari tidur dan menyadari dirinya dalam keadaan janabah. Maka ia boleh bertayammum sebagai ganti mandi janabah, apabila tidak ada air. Jika waktu shalat Zhuhur tiba, maka ia tidak wajib bertayammum lagi untuk janabahnya. Yang wajib hanyalah bertayamum dari hadats kecil jika ia berhadats kecil di rentang waktu antara setelah bertayamum dan zhuhur.
- Namun jika ia bertayammum dari janabah, kemudian ia menjumpai air maka ia wajib untuk mandi.[6]
- Apabila seseorang bernadzar untuk menyembelih unta untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , namun ia tidak mendapatakan unta, lalu ia menyembelih tujuh ekor kambing sebagai gantinya, maka itu diperbolehkan. Dan kambing tersebut diberi status hukum yang sama dengan yang digantikan. Demikian pula sebaliknya.
- Apabila seseorang tidak mampu ruku’ dan sujud saat shalat, maka ia boleh untuk berisyarat sebagai pengganti dari ruku’ dan sujud. Dan mestinya isyarat untuk sujud lebih rendah daripada isyarat ruku’. Jika ia mampu membungkukkan punggungnya untuk ruku’ dan meletakkan keningnya di lantai untuk sujud, maka itulah yang wajib baginya dan tidak boleh diganti dengan isyarat.
- Seorang jama’ah haji yang melaksanakan haji tamattu’ atau qiran, wajib baginya untuk menyembelih hadyu, yaitu binatang ternak yang disembelih pada hari nahr (tanggal sepuluh Dzulhijjah). Akan tetapi jika ia tidak mampu, maka ia boleh mengerjakan penggantinya yaitu berpuasa sepuluh hari, yaitu tiga hari dilaksanakan pada masa haji dan tujuh hari setelah ia pulang ke daerah asal.[7]
- Hukum dalam ibadah haji adalah dikerjakan oleh orang yang bersangkutan tanpa diwakilkan. Namun, jika fisiknya tidak memungkinnya berangkat haji, misalnya lumpuh, sementara ia hartanya cukup untuk ibadah haji, maka ia bisa mewakilkannya ke orang lain untuk menghajikannya. Ini adalah pengganti dari melaksanakan haji dengan badannya sendiri.
- Seseorang yang melanggar sumpahnya wajib baginya untuk membayar kaffârah sumpah, yaitu dengan memilih salah satu dari beberapa opsi yang ditetap syari’at seperti memberikan makanan sepuluh orang miskin, atau memberikan pakaian kepada mereka, atau membebaskan seorang budak[8]. Ia boleh memilih salah satu dari ketiga hal tersebut. Namun, jika ia tidak mampu mengerjakan salah satunya, maka ia boleh mengerjakan penggantinya yaitu berpuasa selama tiga hari. Ia tidak boleh membayar kaffarah dengan puasa tiga hari kecuali jika memang tidak mampu mengerjakan salah satu dari tiga opsi di atas.
- Berkaitan dengan kaffarah zhihar[9]. Seseorang tidak diperbolehkan memilih kaffârah urutan kedua kecuali jika ia tidak mampu mengerjakan kaffârah urutan pertama. Karena kaffarah zhihar bersifat tartib (urutan). Sehingga seseorang tidak boleh mengerjakan puasa dua bulan berturut-turut jika ia mampu untuk membebaskan seorang budak. Karena posisi puasa dua bulan berturut-turut sebagai badal (pengganti) dari membebaskan budak.
Wallahu a’lam.[10]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Syarh Manzhûmati Ushulil Fiqh wa Qawâ’idihi. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Cet. 1. Tahun 1426 H. Dar Ibni al-Jauzi. Damam. Hlm. 298.
[2] Lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 1/241, al-Mudawwanah 1/42, al-Umm 1/39, Majmû’ al-Fatâwâ 21/353, dan al-Inshâf 1/263.
[3] HR. Ahmad (5/180), Abu Dâwud, no. 332; Tirmidzi, no. 124, dan Nasâ-i no. 322. Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu
[4] Lihat Taudhîhul Ahkâm. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam. Cet. Ke-5. 1423 H/2003 M. Maktabah al-Asadi. Makkah al-Mukarramah. Hlm. 423.
[5] Lihat Talqîhul Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah. Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan. Kaidah Kelima
[6] Sebagaimana disebutkan dalam HR. Bukhâri no. 337, Muslim no. 312, Ahmad (5/180), Abu Dâwud no. 232, Tirmidzi no. 124, dan Nasa-i no. 322.
[7] Sebagaimana dijelaskan dalam. al-Baqarah/2:196.
[8] Kaffârah sumpah dijelaskan dalam al Mâidah/5:89
[9] Zhihâr adalah jika seorang suami menyatakan bahwa isterinya haram untuknya, dengan mengatakan, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku”, atau ucapan semisalnya. Seorang suami yang telah menzhihar isterinya, lalu ingin kembali kepadanya maka ia harus membayar kaffârah dengan membebeskan seorang budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan kepada enam puluh orang miskin sebagaimana disebutkan dalam al-Mujâdilah/58:3-4. (Lihat Minhâjul Muslim. Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi. Tahun 2002 M. Dar Ibnu al-Haitsam. Kairo. Hal. 358).
[10] Diangkat dari kitab al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furuq wat Taqâsîmil Badî’ah an-Nâfi’ah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cetakan kedua. 1422 H/2001 M. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh. Hlm. 80. Dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya
- Home
- /
- A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
- /
- Kaidah Ke. 28 :...