Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid’ah

HUKUM PERKAWINAN DENGAN AHLUL BID’AH

Oleh
Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili

Pernikahan dengan Ahlul Bid’ah terlarang secara umum menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena akan memberi dampak negatif yang besar, dan bertentangan dengan hal-hal yang disepakati dalam syariat, yaitu : Tidak berwala’ (loyalitas), tidak mencintai mereka (Ahlul Bid’ah), wajib mengisolir mereka, dan menjauhi mereka (Penguraian masalah ini akan dijelaskan dengan membawakan riwayat-riwayat yang menunjukan hal itu, yaitu ucapan-ucapan para Salaf dan contoh-contoh sebagian kerusakan yang ditimbulkan karena pernikahan dengan Ahlul Bid’ah)

Hukumnya haram mengadakan pernikahan dengan mereka dan menikahi wanita-wanita mereka. Tentang hukum kepastian rusak dan sahnya akad-akad pernikahan mereka dengan Ahlus Sunnah tergantung dengan jauh dekatnya mereka terhadap agama. Oleh karena itu hukum terhadap mubtadi’ (ahlul bid’ah, yaitu orang yang mengada-adakan atau menambahi dalam perkara agama yang tidak ada contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ed.) yang telah sampai ke derajat kufur disebabkan karena kebid’ahannya tidaklah sama terhadap orang yang kebid’ahannya belum sampai ke derajat kufur, sebagaimana juga berbedanya hukum pernikahan mereka dengan wanita-wanita Ahlus Sunnah dan pernikahan Ahlus Sunnah dengan para wanita mereka di sebagian keadaan.

Berikut ini Perincian Hukum Tentang Masalah Di Atas Menurut Keadaan yang Disebutkan Tadi
Adapun hukum pernikahan Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran adalah haram secara mutlak. Ini disebabkan kekufuran dan kemurtadan mereka dari agama. Oleh karena itu Ahlus Sunnah tidak halal menikahi wanita-wanita mereka. Demikian juga sebaliknya, mereka haram menikahi para wanita Ahlus Sunnah. Hal ini dijelaskan dalam banyak dalil, dan Ahlus Sunnah telah ijma’ (sepakat) tentang keharaman menikah dengan orang-orang kafir dan kaum musyrikin selain Ahlul Kitab dengan dua keadaan tadi (yaitu : menikah dengan mereka dan dinikahi mereka).

Adapun keharaman seorang laki-laki muslim menikahi wanita kafir lagi musyrik adalah berdasarkan firman Allah Ta’ala.

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” [Al-Baqarah/2: 221]

Juga firman Allah.

وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ

Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.” [Al-Mumtahanah/60: 10]

Dua ayat di atas menunjukkan keharaman menikahi wanita-wanita musyrikah secara umum bagi kaum muslimin. Dan, yang dikecualikan Allah hanya wanita-wanita Ahlul Kitab dengan firman-Nya:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.” [Al-Maidah/5 : 5]

Sehingga, hal-hal yang Allah beri keringanan padanya, seperti (laki-laki dari Ahlus Sunnah) menikahi para wanita Ahlul Kitab, adalah boleh. Adapun selain mereka seperti wanita-wanita musyrik, maka hukum keharamannya tetap berlaku secara umum, seperti wanita-wanita penyembah patung dan berhala, atau bintang-bintang dan api. Sehingga, wanita-wanita Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran, hukum (pernikahan)-nya sama dengan wanita-wanita tadi, walau mereka (wanita-wanita Ahlul Bid’ah itu) mengaku sebagai muslimah.

Ibnu Katsir rahimahullah berkomentar dalam menafsirkan ayat (Al-Baqarah/2 : 221): “Ini adalah pengharaman dari Allah yang dibebankan kepada kaum mukminin, agar mereka tidak menikahi para wanita musyrikah dari (golongan) penyembah berhala. Walaupun secara umum tampaknya wanita-wanita musyrikah dari Ahlul Kitab tergolong kepadanya, tetapi ada pengecualian berupa kebolehan menikah dengan wanita-wanita Ahlul Kitab dengan firman-Nya: “(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya.” [Al-Maidah/5: 5][1]

Banyak ulama yang menukil ijma’ para ulama yang mengharamkan menikahi wanita-wanita musyrikah selain wanita-wanita Ahlul Kitab.
Ibnu Qudamah berkata, “Dan semua orang-kafir selain Ahlul Kitab, seperti orang yang menyembah apa yang dia anggap baik dari berhala-berhala, batu-batu, pohon-pohon, dan hewan-hewan, maka tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama tentang keharaman menikahi wanita-wanita mereka dan memakan sembelihan-sembelihan mereka[2]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kandungan pembicaraannya tentang Qadariyah (kelompok yang menolak takdir, ed.) dan hukum-hukum tentang mereka, “Dan adapun kaum musyrikin, maka umat ini telah sepakat terhadap keharaman menikahi wanita-wanita mereka dan memakan makanan mereka.”[3]

Dr. Wahbah Az-Zahaili berkata tentang kesimpulan masalah ini dalam pembahasannya, “Telah sepakat tidak halal untuk menikahi wanita yang tidak memiliki kitab, seperti para penyembah berhala dan penyembah api (Majusi), karena tidak ada satu kitab pun ditangan para pengikutnya sekarang dan kita tidak yakin kalau mereka memilikinya sebelumnya, maka kita harus berhati-hati.”[4]

Dengan ini, tegaslah keharaman menikahi wanita-wanita musyrikah selain Ahlul Kitab, menurut keterangan dua ayat tadi dan ijma’ para ulama terhadap hukum itu.

Sudah pasti termasuk ke dalam keharaman itu, keharaman menikahi para wanita Ahlul Bid’ah yang musyrikah seperti wanita-wanita Jahmiyah, Qadariyah, dan Rafidlah. Sebab, firqah-firqah (kelompok) ini telah dihukumi sebagai firqah yang kufur dan murtad. Yang lebih keras dari keharaman itu adalah keharaman menikahi wanita-wanita dari firqah Bathiniyah seperti Daruliz, Nushairiyah, dan lain-lain yang tergolong kelompok zindiq, seperti Hululiyah dan Tanasukhiyah, karena para pengikut kolompok-kelompok ini adalah orang-orang musyrik lagi telah keluar dari Islam (sudah murtad). Tidak halal menikahi wanita-wanita mereka sama sekali, menurut keterangan yang telah saya sampaikan, (ini perkataan Dr. Ibrahim Ruhaili, ed.) berupa ucapan-ucapan para ulama yang khusus berbicara tentang mereka, dengan menambahkan masuknya keharaman menikahi para wanita mereka. Hal itu, di bawah keumuman dalil yang berisikan kepastian haramnya menikahi wanita-wanita musyrikah, kecuali wanita-wanita Ahlul Kitab, yang telah disebutkan di atas.

Inilah Sebagian Perkataan Para Ulama Tentang Hal Itu:
Ibnu Baththah meriwayatkan dari Thalhah bin Musharaf (Thalhah bin Musharraf bin Amr bin Ka’b Al-Yami Al-Kufi, dia seorang Tsiqah (dipercaya), Qari lagi terhormat, wafat tahun 112H. Lihat At-Taqrib hal. 283) rahimahullah, bahwa dia berkata, “Tidak boleh menikahi para wanita dari Rafidlah, tidak boleh memakan sembelihan mereka, karena mereka adalah orang-orang murtad.”[5]

Dari Sahl bin Abdillah, dia pernah ditanya tentang hukum shalat di belakang Mu’tazilah dan menikah dengan mereka, maka dia berkata, “Tidak. Tidak ada kemuliaan bagi mereka, mereka adalah orang-orang kafir.”[6]

Al-Baghawi menukil di akhir kitabnya, Al-Farqu Bainal Firaq, beberapa ucapan para Imam Islam, dari para tokoh empat madzhab terhadap sebagian hukum-hukum firqah-firqah tadi.

Maka beliau menyebutkan, “Kelompok ekstrim dari kalangan Rafidlah As-Siba’iyah, Bayaniyah, Muniriyah, Mansyuriyah, Janahiyah, Khithabiyah, Hululiyah, Bathiniyah, dan Yazidiyah dari kalangan Khawarij dan Maimunah.” Kemudian berkata, “Hukum terhadap kelompok-kelompok yang kita sebutkan tadi, terhadap mereka diperlakukan hukum orang-orang yang murtad dari agama. Tidak halal memakan sembelihan-sembelihan mereka, dan tidak halal menikahi para wanita mereka.”[7]

Abul Hamid Al-Ghazali berkata ketika membicarakan hukum-hukum terhadap kelompok Bathiniyah setelah menukil madzhab mereka dengan rinci dalam kitab Fadla’ilul Bathiniyah, “Adapun menikahi para wanita mereka haram hukumnya, sebagaimana tidak bolehnya menikahi wanita yang murtad. Tidak halal menikahi wanita Bathiniyah –secara keyakinan– disebabkan kekafiran mereka yang telah kita sebutkan sebabnya, seperti pendapat-pendapat (mereka yang, ed.) menjijikkan yang telah kita rinci. Kalau wanita itu seorang yang baik agamanya kemudian menelan madzhab mereka, maka gugurlah nikah di waktu itu juga.”[8]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di awal pembicaraannya tentang kelompok Rafidlah ekstrim dan kelompok ekstrim lainnya (yang ekstrim, ed.) terhadap Ali Radliallahu anhu, seperti Nushairiyah dan Ismailiyah, “Semua mereka ini adalah orang-orang kafir yang lebih kufur dari Yahudi dan Nashara. Jika tidak tampak hal itu dari salah seorang mereka, maka dia termasuk orang-orang munafik yang mereka berada dikerak neraka. Siapa yang menampakkan hal itu, maka dia lebih keras kekafirannya dari orang kafir, maka dia tidak boleh tinggal di antara kaum muslimin, tidak dengan jizyah (pajak atau denda) dan tidak dengan dzimmah (orang kafir yang dilindungi di negeri muslim, ed.), dan tidak halal menikahi para wanita mereka, tidak boleh memakan sembelihan-sembelihan mereka, karena mereka adalah orang-orang murtad, bahkan termasuk orang-orang murtad yang sangat jahat.”[9]

Beliau berkata tentang kelompok Nushairiyah, “Para ulama Islam telah sepakat bahwa tidak boleh menikahi mereka, dan tidak boleh seorang lelaki menikahkan para maula-nya (baca: budaknya, ed.) (yang wanita) dengan mereka, dan jangan seorang wanita menikah dengan mereka, dan tidak boleh memakan sembelihan-sembelihan mereka.”[10]

Adapun keharaman menikahnya seorang wanita muslimah dengan pria musyrik yang sama saja apakah dia seorang mubtadi’ atau selainnya, maka hujjah dalam hal itu jelas dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) dan ijma’ umat Islam.

Allah Ta’ala berfirman.

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” [Al-Baqarah/2 : 221]

Juga firman Allah.

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” [Al-Mumtahanah/60: 10]

Dua ayat ini menjelaskan keharaman menikahkan wanita muslimah dengan pria kafir dan musyrik secara mutlak, sama saja apakah dia (sang pria) seorang Ahlul Kitab, atau penyembah berhala yang tidak memiliki kitab. Di atas itu terjadilah ijma’ umat ini, sebagaimana yang dinukil Al-Qurthubi dalam ucapannya, “Dan umat ini telah ijma’ bahwa seorang pria musyrik tidak boleh menikahi seorang wanita mukminah sama sekali, karena itu akan menimbulkan kerendahan Islam.”[11]

Ijma’ tersebut juga dinukil oleh Syaikh Muhammad ‘Ulaisy (Dia Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, ‘Ulaisy Ath-Tharablisi Ad-Daarul Mishri, dia seorang syaikh dari madzhab Maliki di sana. Dia banyak melahirkan ulama-ulama Al-Azhar dari beberapa tingkatan. Dia banyak memiliki karangan dalam beberapa disiplin ilmu, yang mayoritasnya telah dicetak, wafatnya tahun 1299 H di Mesir. Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah, Muhammad Makhluf 1/385) dari kalangan para ulama Malikiyah dalam Taqrirat-nya terhadap Hasyiyah Ad-Dasuqi (Lihat Taqriqat, Al-Allamah Muhammad ‘Ulaisy terhadap Hasyiyah Ad-Dasuki yang dicetak dengan catatan kaki Ad-Dasuki 2/249. ) dan Doktor Az-Zahaili dalam Al-Fiqhul Islami.[12]

Secara umum, keharaman menikahnya wanita muslimah dengan pria kafir termasuk masalah yang masyhur dan jelas di kalangan para ulama. Hingga, sebagian mereka mewajibkan dijatuhkannya hukuman kepada si pria kafir dan si wanita muslimah bila terjadi akad antara keduanya dengan menikahkan setelah dibatalkan. Mereka juga menghukumi setiap orang yang ikut andil dalam akad itu. Hal ini ditegaskan oleh Ibnul Hamman Al-Hanafi (Dia Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid bin Abdul Hamid bin Mas’ud As-Siausi yang terkenal dengan Ibnul Hamman Al-Hanafi, seorang Imam lagi sangat cerdas. Dia juga seorang peneliti yang cemerlang. Wafat tahun 361 H. Lihat Syudzuratudz Dzahab 7/29) dalam Syarh Fathul Qadir yang mana beliau berkata, “Tidak sah menikahnya pria kafir dengan wanita muslimah. Kalau sampai terjadi, keduanya dihukum, jika si wanita mengetahui status pria. Dan juga orang yang ikut andil, pria atau wanita.”[13]

Baca Juga  Peringatan Hari Kelahiran (Ulang Tahun)

Yang dimaksudkan di sini adalah keharaman menikahnya pria mubtadi’ kafir akibat bid’ahnya, dengan wanita muslimah dari Ahlus Sunnah, menurut nash-nash Al-Kitab dan ijma’ umat ini berupa keharaman dinikahinya wanita muslimah oleh pria kafir dan masuknya mubtadi’ kafir ke dalam sifat kufur yang ada hukum-hukum tentangnya.

Hal ini masih ditambah dengan riwayat-riwayat yang mutawatir dari para salafush shalih berupa atsar-atsar yang terang tentang keharaman menikahkan wanita Ahlus Sunnah kepada orang yang telah divonis kafir dari Ahlul Bid’ah, dan rusaknya serta batalnya pernikahan tersebut.

Di Antara Atsar-Atsar Tersebut.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dan selainnya dari Imam Malik, bahwa beliau pernah ditanya tentang pernikahan pria Qadari, maka beliau membaca ayat :

وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu.” [Al-Baqarah/2: 221].[14]

Dari beliau juga, bahwa beliau pernah ditanya tentang Qadariyah, manakah yang lebih baik, tidak berbicara dengan mereka atau memusuhi mereka? Beliau berkata, “Ya, jika dia memang paham terhadap apa yang dia yakini”. Dan beliau berkata, “Dan saya berpendapat mereka tidak boleh menikahi (para wanita Ahlus Sunnah).”[15]

Dari Sufyan Ats-Tsauri, dia pernah ditanya oleh seseorang, “Saya memiliki famili yang Qadari, apakah saya boleh menikahinya?” Beliau berkata, “Tidak. Tidak ada kehormatan baginya.”[16]

Dari Abdurrahman bin Malik, ia berkata, “Tidak ada Ahlul Bid’ah yang lebih jahat dari teman-teman Jahm, mereka berkeliling-keliling sambil mengatakan, “Di langit tidak ada apapun.” Saya berpendapat, “Demi Allah, mereka tidak boleh menikahi dan mendapatkan waris.”[17]

Dari Muhammad bin Yahya (Muhammad bin Yahya bin Abi Umar Al-‘Adani, dia tinggal di Makkah. Dia seorang yang sangat jujur lagi mengarang Musnad. Dia terus belajar kepada Ibnu ‘Uyainah, tetapi Abu Hatim berkata, “Padanya ada kelalaian.” wafat 243H), ia berkata, “Siapa yang mengatakan Al-Qur’an makhluk, dia kafir. Siapa abstain (diam), dia lebih jahat dari yang mengatakan makhluk. Tidak boleh shalat di belakang mereka dan mereka tidak boleh menikahi (para wanita Ahlus Sunnah)”.[18]

Riwayat-riwayat yang dinukil dari para Imam Salaf menunjukkan keharaman menikahkan Ahlul Bid’ah yang kebid’ahan-kebid’ahannya sampai ke batas kekafiran, seperti Jahmiyah dan Qadariyah serta Ahlul Bid’ah yang sama hukumnya dengan mereka yang telah pasti dihukumi dengan kekafiran menurut Ahlus Sunnah. Menikahnya mereka dengan wanita-wanita Ahlus Sunnah adalah tidak boleh dengan sebab kekafiran mereka. Jika itu terjadi, wajib membatalkannya dengan langsung, sebagaimana ditunjukkan oleh fatwa-fatwa para ulama Ahlus Sunnah yang menegaskan madzhab Salaf dalam hal itu.

Diriwayatkan dari Syaikh Abul Qasim As-Sialari (Dia Abul Qasim Abdul Haq bin Abdul Harits, penutup ulama Afrika. Dia seorang yang terhormat, peneliti, zuhud, lagi ahli sastra. Sebagian ulama benyak belajar kepadanya. Dia berumur panjang, wafat tahun 460 H. Lihat Ad-Dibaj Al-Madzhab, Ibnu Farihan 2/22) rahimahullah, beliau ditanya tentang suatu kaum dari Ibadhiyah yang berpegang dengan madzhab Wahbiyah dari Rafidlah dan tinggal di antara kaum muslimin, serta mereka menikahi para wanita Ahlus Sunnah agar bertambah kekuatan mereka dengan hubungan periparan dengan Ahlus Sunnah, maka apakah boleh Ahlus Sunnah membatalkan pernikahan-pernikahan mereka itu dan memukul mereka hingga mereka bisa kembali meninggalkan madzhab mereka?

Maka beliau berkata, “Pernikahan yang mereka lakukan dengan para wanita kita (wanita Ahlus Sunnah), maka segera dibatalkan, penjara dan pukul mereka jika mereka belum bertaubat, yaitu kepada urusan yang benar, dan kembalikan kepada madzhab Ahlus Sunnah. Dan siapa yang mampu untuk melakukan apa yang telah kita sebutkan, maka dia wajib melakukannya.”[19]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam jawaban terhadap pertanyaan tentang hukum menikahkan seorang pria Rafidlah (dengan wanita Ahlus Sunnah) dan orang yang mengatakan tidak wajib melakukan shalat yang lima waktu, “Tidak boleh seorang pun menikahkan budaknya/maulanya yang wanita dengan pria Rafidlah dan orang yang meninggalkan shalat. Jika ketika mereka menikahkannya dia seorang Sunni dan shalat, kemudian muncul/tampak bahwa dia sebenarnya seorang Rafidli yang tidak shalat, atau dia kembali kepada madzhab Rafidlah dan meninggalkan shalat, maka mereka harus membatalkan nikahnya.”[20]

Setelah pemaparan yang rinci tentang nash-nash yang syar’i dan perkataan para Salaf, menjadi jelaslah hukum syari’at dan sikap Ahlus Sunnah tentang pernikahan Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran, bahwa pernikahan mereka dengan Ahlus Sunnah tidak halal sama sekali, sama saja apakah mereka pria atau wanita. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang pria Ahlus Sunnah untuk menikahkan wanita yang dalam tanggung jawabnya dengan pria Ahlul Bid’ah yang kafir, sebagaimana juga tidak boleh baginya untuk menikahi wanita dari mereka. Hal itu merupakan ijma’ Ahlus Sunnah. Wallahu A’lam.

Adapun jika si mubtadi’ tidak kafir, maka yang menjadi masalah dalam pernikahannya dengan wanita Ahlus Sunnah yaitu berkaitan dengan masalah “sekufu” dalam pernikahan. Hal itu teranggap berkaitan dalam sahnya pernikahan atau tidak? Tempat pembahasan hal ini dengan luas ada dalam kitab-kitab fiqih. Saya di sini hanya menyebutkan ucapan-ucapan para ulama tentang masalah ini menurut bentuk yang global, agar semakin terang dalam hukum pernikahan mubtadi’ tadi.

Secara umum pendapat dalam masalah ini adalah bahwa para ulama berselisih tentang persyaratan “kufu” dalam pernikahan. Sebagian mereka berpendapat bahwa persyaratan kufu bukan syarat kesahan pernikahan dan juga bukan keharusan pernikahan. Itu diriwayatkan oleh Al-Hasan Basyri dan Sufyan Ats-Tsauri, dan demikian juga pendapat Al-Khurkhi dari kalangan Hanafiyah.

Dan jumhur para ulama, di antaranya tokoh empat madzhab, berpendapat bahwa kufu adalah syarat keharusan pernikahan dan syarat kesahan pernikahan. Bila seorang wanita menikah tanpa sekufu, maka akad tersebut benar. Para walinya memiliki hak untuk menolak sang pria dan menuntut fasakh-nya untuk menolak bahaya-bahaya yang memalukan dari diri-diri mereka. Jika mereka menggugurkan hak mereka dalam menolak, maka itu boleh. Demikian juga kalau sang wali menikahkan maula wanitanya tanpa sekufu, maka wanita tersebut memiliki hak untuk menolak dan membatalkan akad, kecuali kalau dia (si wanita) tidak mau menggunakan haknya, maka boleh.

Masalah sekufu dalam pernikahan adalah hak bagi sang wanita dan walinya. Hakini tetap berlaku bagi keduanya menurut persetujuan, yakni kalau salah satunyamenggugurkan haknya, tidak bisa yang lain ikut gugur kecuali bila dia juga menggugurkan. Kalau keduanya sepakat untuk menggugurkan hak ini, akad bisa dilaksanakan.Ini berbeda bila kufu adalah syarat dalam kesahan akad, maka akad pernikahan tanpa sekufu tidak sah, hingga kalau para wali dan sang wanita menggugurkan hak mereka untuk menolak. Sebab, syarat sah tidak bisa gugur dengan digugurkan oleh pemiliknya. Inilah perbedaan antara syarat yang mesti dan syarat sah.[21]

Kemudian -setelah mereka sepakat untuk menganggap kufu adalah syarat keharusan nikah- jumhur berselisih dalam keberbilangan bagian yang dianggap dalam kekufu-an. Kita bukan merinci perbedaan mereka dalam hal itu karena tidak ada keterkaitannya dengan tema kita. Yang kita maukan di sini adalah menganggap “keagamaan” termasuk bagian kufu dalam pernikahan. Inilah yang menjadi tempat ijma’ mayoritas fuqaha yang telah disampaikan tadi, kecuali Muhammad bin Al-Hasan (Lihat Syarh Fathul Qadir, Ibnul hamman 2/422, Taqrirat) dari Hanafiyah, karena beliau tidak menganggap kekufu-an dalam masalah agama. Beliau berkata, “Karena ini masalah akhirat sedangkan kufu termasuk hukum-hukum dunia.”[22]

Perlu diperingatkan, yang dimaksud dengan “keagamaan” di sini adalah sebagaimana yang ditafsirkan para ulama dengan “takwa dan wara”, yaitu sang pria bukan seorang yang fasik dan mubtadi’ (Syaikh Ma’a ‘Ulaisy terhadap Asy-Syarhul Kabir yang dicetak dengan footnote Ad-Dasuqi 2.249.). Bukanlah yang dimaksudkan dengan “keagamaan” adalah beragama Islam, karena agama Islam syarat kesahan akad menurut ijma’, dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi, sebagaimana telah lalu keterangannya di awal pasal.

Inilah perkataan para fuqaha dalam menganggap permasalahan kufu dalam keagamaan, sebagaimana dinukil oleh para peneliti empat madzhab.

Madzhab Hanafi.
Penulis kitab Bada’iush Shana’i berkata di bawah judul “Hal yang dianggap termasuk kekufu-an”: “Di antaranya: Agama. Menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf, hingga kalau seorang wanita yang termasuk anak-anak para orang shalih bila menikahkan dirinya kepada seorang pria fasik, maka para walinya berhak untuk menolak, sebab membanggakan diri dengan agama lebih pantas daripada berbangga dengan keturunan, status orang merdeka dan harta. Penjelekan akibat kefasikan lebih jelek dari berbagai kejelekan-kejelekan yang ada.”[23]

Itu juga dinukil dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf Burhanuddin Al-Marghinani,(Dia adalah Ali bin Abu Bakar bin Abdul Jalil Al-Farghani Al-Marghinani, pengarang Al-Hidayah. Dia seorang Imam, faqih, hafidz, muhaddits (ahli hadits), ahli tafsir lagi pengumpul ilmu. Wafat tahun 593 H. Lihat Al-Fawa’id Al-Bahiyyah dalam Tarajimul Hanafiyah, Al-Kinani hal. 141). pengarang Al-Hidayah, dia berkata, “Dan itu benar (Al-Hidayah dengan Syarh Fathul Qadir 2/422) yaitu: Termasuk madzhab keduanya menurut yang diterangkan Ibnu Hamman dalam Syarh Fathul Qadir.”[24]

Sebagaimana masing-masing, tiga para peneliti menyetujui pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf dalam konteks ucapan mereka.

Madzhab Maliki.
Ahmad Ad-Darudir, (Dia Abul Barakat Ahmad bin Asy-Syaikh Ash-Shalih Muhammad Al-Adawi, Al-Anshari, Al-Khalwati yang terkenal dengan Ad-Darudir, Syaikh penduduk Mesir di masanya. Beliau seorang yang beramar ma’ruf dan nahi munkar. Wafat 1201H. Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah 1/359) penulis Asy-Syarhul Kabir, “Kekufu-an adalah agama dan keadaan, dan baginya dan wali boleh meninggalkannya.”(Asy-Syarhul Kabir dengan Hasyiyah Ad-Dasuqi 2/249) Ad-Dasuqi (Dia Muhammad bin Ahmad bin ‘Arafah Ad-Dasuqi Al-Maliki, dari daerah Dasuq, Mesir. Beliau termasuk pengajar di Al-Azhar. Dia belajar dan tinggal serta wafat di Kairo. Wafat tahun 1230 H. Lihat Al-A’lam Az-Zarkali 6/17) menyetujui itu dalam Hasyiyah-nya terhadap Asy-Syarh (Lihat Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘ala Asy-Syarhul Kabir 2/249). Dan demikian Syaikh Muhammad Ulaisy dalam Taqrirat-nya.[25]

Madzhab Syafi’i.
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syirazi, (Dia Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy-Syirazi, Al-Fairuz Abadi, orang yang diberi julukan Jamaluddin, tinggal di Baghdad dan bertafaqquh (mendalami) sekelompok orang tertentu. Menulis beberapa tulisan yang berguna dari kitab Muhadzdzab, Tanbih, Luma’ dan lain-lain. (Lihat Fawayantul A’yan 1/29). pengarang Muhadzdzab, “Kekufu-an adalah pria fasik tidak dianggap sekufu dengan wanita yang terhormat.”[26]

Imam An-Nawawi berkata ketika memaparkan jumlah bagian masalah kufu, “Dan juga ‘iffah (kehormatan), maka seorang yang fasik tidak sekufu dengan wanita yang ‘afifah (terhormat).”[27]

Muhammad Asy-Syarbini (Dia Muhammad bin Muhammad Asy-Syarbini, Al-Qahiri, Asy-Syafii, Al-Khatib Al-Imam Al-Allamah. Ijma’ orang-orang Mesir atas keshalihannya dan ahli-ahli ilmu mensifati beliau orang yang berilmu dan beramal, zuhud dan wara. Dia men-syarah kitab Al-Minhaj dan Tanbih dengan dua syarh yang besar. Wafat tahun 977H. Lihat Syadzaratul Dzahab 8/384) berkata, “Keempat : Al-Iffah. Yaitu agama, keshalihan,dan mampu menahan diri dari hal-hal yang tidak dihalalkan. Maka, seorang pria yang fasik tidak sekufu dengan wanita yang memiliki ‘iffah, karena adanya dalil yang menunjukkan tidak samanya. Beliau berkata, “(Pernikahan) seorang pria mubtadi’ dengan wanita Sunni sama seperti (pernikahan) pria fasik dengan wanita yang memiliki ‘iffah.”[28]

Baca Juga  Hikmah Pernikahan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam Meskipun Perbedaan Umur

Madzhab Hambali.
Ibnu Qudamah berkata dalam Syarh-nya terhadap ucapan Al-Khurqi : 22 “Dan kekufu-an: Yang memiliki kebaikan agama dan kedudukan “Riwayat tentang pendapat Imam Ahmad tentang syarat kekufu-an berbeda-beda. Beliau memiliki dua syarat : kebaikan agama dan kedudukan. Itu saja. Dan, juga ada yang meriwayatkan dari beliau lima hal, dua di antaranya yang tadi, ditambah dengan status sebagai orang merdeka, pekerjaan dan harta. Beliau berkata tentang dianggapnya agama sebagai kekufu-an adalah berdalil dengan ayat:

أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا ۚ لَا يَسْتَوُونَ

Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama.” [As-Sajdah/32:18]

Seorang fasik itu terhina, tertolak kesaksiannya dan ceritanya, tidak bisa dipercaya mengurus orang dan harta, gugur kewaliannya, rendah di sisi Allah dan di sisi makhluk-Nya, serta miskin di dunia dan akhirat. Maka, dia tidak boleh sekufu dengan wanita yang menjaga kehormatannya. Pria itu tidak sama dengannya, tapi sekufu dengan wanita sejenisnya.”[29]

Dengan pemaparan pendapat-pendapat para ulama tentang masalah kekufu-an dalam pernikahan maka tetaplah, bahwa : kekufu-an dalam pernikahan merupakan syarat keharusan pernikahan, sebagaimana disepakati jumhur para ulama dari tokoh empat madzhab. Tidak ada yang menyelisihi dalam hal itu kecuali Al-Hasan Al-Bashri, Sufyan Ats-Tsauri, dan Al-Khurkhi yang tidak mensyaratkan kekufu-an sebagai dasar dalam pernikahan. Dan, Muhammad bin Al-Hasan yang tidak menganggap kebaikan dalam kekufu-an.

Berdasarkan hal tadi, maka hukum pernikahan pria mubtadi –yang bid’ahnya tidak membawanya kepada kekafiran– dengan wanita Ahlus Sunnah, boleh jika telah terjadi. Tetapi akadnya tidak mesti diterima, kecuali dengan persetujuan dari setiap wanita dan para walinya untuk melakukannya. Ini disebabkan karena sang mubtadi’ tidak sekufu dengan wanita Sunni tersebut, sebagaimana seorang pria fasik tidak sekufu dengan wanita yang menjaga kehormatannya. Kekufu-an adalah hak bagi sang wanita dan hak para walinya. Masing-masing dari keduanya memiliki hak tolak untuk menikahkan sang mubtadi’ dan untuk menggugurkan akad karena tidak sekufu. Keduanya juga memiliki hak untuk menggugurkan haknya dalam hal itu dan melaksanakan pernikahan sehingga pernikahan tersebut sah. Wallahu a’lam.

Adapun menikahnya seorang pria dari Ahlus Sunnah dengan seorang wanita yang bid’ahnya tidak sampai ke batas kekufuran, maka pernikahannya dengan sang wanita itu sah. Alasannya, karena kekufu-an hanya disyaratkan pada pihak sang pria yaitu syarat sekufu dengan sang wanita, dan tidak disyaratkan kekufu-an bagi sang wanita untuk sekufu dengan sang pria. Inilah yang diyakini jumhur ulama. Mereka berkata: Karena hal tersebut, maka sang pria tidak bisa dicela disebabkan sang istri lebih rendah darinya, dan dia tidak akan mendapat bahaya dengan sebab tersebut. Berbeda dengan wanita, dia akan dicela dengan memiliki suami yang lebih rendah dari dia, dan wanita tersebut akan terganggu dengan hal itu karena sang pria bisa saja menthalaq (cerai)-nya di setiap waktu. Dia (sang pria) bisa berlaku leluasa terhadap dirinya, berbeda dengan wanita tersebut.[30]

Dan Di Sini Perlu Diberi Peringatan Penting, Yaitu Permasalahan Sahnya Pernikahan Seorang Pria Mubtadi Dengan Wanita Sunni.
Secara syariat, kesepakatan sang wanita dan para walinya dan sahnya pernikahan seorang pria Ahlus Sunnah dengan wanita Ahlul Bidah, tidaklah menunjukkan ditekankannya (atau dibolehkannya tanpa ada bahaya, ed.) pernikahan Ahlus Sunnah dengan Ahlul Bidah. Hukum sahnya pernikahan mereka setelah terpenuhinya syarat-syarat kesahannya merupakan suatu masalah, dan keridlaan terhadap pernikahan mereka adalah suatu masalah lain lagi. Bahkan, telah jelas larangan keras menikahnya pria-pria Ahlul Bid’ah dengan wanita-wanita Sunni menurut Ahlus Sunnah, disebabkan karena sangat besarnya bahaya-bahaya yang dapat terjadi akibat pernikahan para pria Ahlul Bid’ah dengan para wanita Ahlus Sunnah.

Syari’at memberi keterangan bahwa sahnya akad mereka itu bisa memberikan kerugian kepada masing-masing pihak, seperti kepada sang wanita dan para walinya. Inilah yang dimaukan akal sehat, yakni mereka menolak pernikahan itu karena akan timbul bahaya-bahaya akibat mereka menikahkannya dengan sang pria Ahlul Bid’ah. Jika mereka setuju, berarti masing-masing pihak telah menyia-nyiakan hak dirinya dan hak lainnya akibat pernikahan ini.

Seorang pria Ahlus Sunnah bila dia menikahi wanita Ahlul Bid’ah, dia telah dianggap berlaku jelek dalam pilihan tersebut. Dia berarti telah menyia-nyiakan hak dirinya dengan menikahi wanita tersebut, karena pernikahan tersebut memberikan dampak negatif terhadap diri dan keluarganya. Sebagaimana juga, dia telah menyia-nyiakan hak anak-anaknya dengan memilihkan untuk mereka seorang ibu yang tidak shalih. Sang ibu memiliki pengaruh yang besar dalam membimbing anak-anaknya dalam akidah dan akhlak, juga bisa menyimpangkan mereka dari agama yang lurus, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam: “Tidaklah setiap anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam dan suci). Maka orang tuanyalah yang membuat dia menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi”. Sebagaimana binatang ternak melahirkan binatang ternak yang sehat (Yakni bersih dari aib-aib yang terkumpul padanya anggota badan yang sempurna (sehat) maka tidak ada kecacatan di kay (ditusuk dengan besi panas). (An-Nihayah oleh Ibnu Katsir 1/296). apakah kalian melihat padanya ada kecacatan (Yakni terputus ujungnya atau dari salah satu darinya (anggota badan itu). An-Nihayah oleh Ibnu Katsir 1/247).” (HR. Bukhari Kitabul Janaiz Bab Idza Aslama Shabiyyu Hal Yushalla Alaih, Fathul Bari 3219 no. 1358. Muslim Kitabul Qadr Bab Makna Kullu Mauludin Yuladu Alal Fitrah 4/2047 no. 2658). Selain ini, juga cercaan yang didapat sang anak karena memiliki ibu yang Ahlul Bid’ah.

Demikian juga sang wanita, bila dia ridla dengan dinikahi sang mubtadi, berarti dia sedang menuntun bahaya menuju keluarganya secara umum akibat adanya hubungan pernikahan dengan sang mubtadi tersebut. Ikatan mushaharah (hubungan karena pernikahan) dan berkumpul dengan sang mubtadi ini dapat memberikan efek negatif kepada rumah tersebut. Sebagaimana hal ini (wali) bisa menyakiti wanita yang dia tanggung khususnya, karena dia menikahkannya dengan sang mubtadi tersebut yang dia tidak bisa memilih dengan baik. Dan wanita tersebut (perlu selalu, ed.) dinasihati untuk bersikap (benar sesuai syariat, ed.) terhadap sang pria karena dikhawatirkan dia (sang wanita) dengan keberaniannya menikah -akan membuatnya menyimpang dari akidah yang benar dan mengikuti akidah sang suami- karena wanita bisa dikuasai, lemah, dan sedikit kesabarannya. Oleh karena itu, Al-Fudhail bin ˜Iyadh berkata, “Siapa yang menikahkan saudara wanitanya dengan sang pria mubtadi, berarti dia telah memutus hubungan kekeluargaannya dengan sang wanita.”[31]

Yang lebih parah dari itu dalam pernikahan dengan pria Ahlul Bid’ah –jika dia termasuk yang mendakwahkan bid’ahnya– berarti mereka (sang wanita dan para walinya, ed.) tidak menyikapinya dengan benar, seperti mengisolirnya, membentaknya agar dia bertaubat dari bid’ahnya, dan hal-hal yang bisa memberikan kebaikan kepadanya di dunia dan akhirat. Dan sebelum itu, dalam pernikahan tersebut mereka menyia-nyiakan hak Allah yang harus ditunaikan dengan mereka berwala’ (loyalitas) kepada musuh-musuh-Nya, mencintai mereka, mendekati mereka, tidak membenci serta menjauhi mereka karena Allah.

Ringkasnya, pernikahan dengan Ahlul Bid’ah yang masih dianggap termasuk muslimin, baik pria maupun wanita, adalah makruh (dibenci) menurut Ahlus Sunnah dengan kebencian yang keras, karena akan menimbulkan efek-efek negatif, menyia-nyiakan hak dan kebaikan-kabaikan. Oleh karena itu, para Salaf melarangnya untuk menjaga hal tersebut.

Imam Malik berkata, “Ahlul Bid’ah jangan dinikahkan (dengan wanita Ahlus Sunnah), jangan menyerahkan kepada mereka untuk dinikahi, jangan mengucapkan salam kepada mereka, jangan shalat di belakang mereka, dan jangan iringi jenazah-jenazah mereka.”[32]

Imam Ahmad berkata, “Siapa yang tidak menomor-empatkan Ali bin Abi Thalib dalam khilafah, maka kalian jangan mengajak bicara dan menikahkannya.[33]

Dengan ini saya tutup pasal ini setelah menerangkan sikap Ahlus Sunnah dalam hal pernikahan dengan Ahlul Bid’ah, apakah mereka Ahlul Bid’ah yang kafir atau muslim, sama saja, pria atau wanita, menurut nash-nash yang sesuai dengan syariat dan riwayat-riwayat para Salaf dalam hal tersebut. Alhamdulillah dengan karunia dan taufik-Nya.

[Diambil dari kitab “Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlul Ahwa wal Bida” cetakan Maktabah Al-Ghuroba Al-Atsariah jilid I hal 373-388. Edisi Indonesia Hukum Perkawinan Dengan Ahli Bid’ah, Penulis Syaikh Dr Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, Penerjemah Muhammad Ali Ismah Al-Medany, Penerbit Pustaka Al-Ghuraba’ Press]
_______
Footnote
[1] Tafsir Ibnu Katsir 1/257
[2] Al-Mughni 9/548
[3] Majmu Fatawa 8/100
[4] Al-Fiqhul Islami wa Adillatuha, Dr. Wahbah Az-Zahaili 7/152
[5] Al-Ibanah Ash-Shughra, Ibnu Baththah hal. 161
[6] Tafsir Al-Qurthubi, 7/141
[7] Al-Farqu Bainal Firaq hal. 357
[8] Fadla’ilul bathiniyah hal. 157
[9] Maj’mu Fatawa 28/474-475
[10] Majmu’ Fatawa 35/154
[11] Tafsir Al-Qurthubi 3/72
[12] Lihat Al-Fiqhul Islami ‘ala Adillatuhu 7/152
[13] Syarh Fathul Qadir 2/506
[14] As-Sunnah, Ibnu Abi Ashim hal. 88, dan Al-Ibanah Ash-Shughra, Ibnu Baththah hal. 151, dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, Al-Lalikai 2/731
[15] Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah Ash-Shughra hal. 150
[16] Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 2/735
[17] Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad dalam Kitabus Sunnah 1/157
[18] Al-Lalikai dalam Syarhus Sunnah 2/325
[19] Tabshuratul Hukkam, Ibnu Farihan yang dicetak dengan footnote Fathul ‘Aliyil Malik 1/425
[20] Majmu’ Fatawa 32/61
[21] Lihat Syarh Fathul Qadir, Ibnul Hamman 2/417, Syarh Al-Kabir, Ahmad Ad-Darrudir dengan Hasyiyah Ad-Dasiki 2/249, Mughnil Muhtaj, Muhammad Asy-Syarbini 3/249, Raudlatuth Thalibin, An-Nawawi 7/84, Kasyful Qana, Al-Bahuti 5/72 dan Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Az-Zuhaili 7/234
[22] Bada’iush Shana’i, Al-Kasani 2/320, Syarh Fathul Qadir, Ibnu Hamman 2/423
[23] Bada’iush Shana’i, Al-Kasani 2/320
[24] Syarh Fathul Qadir 2/422
[25] Lihat Taqriqat Muhammad ‘Ulaisy ‘ala Asy-Syarhul Kabir 2/249
[26] Juz 2/50
[27] Al-Minhaj ma’a Mughnil Muhtaj 3/166
[28] Mughnil Muhtaj 3/166
[29] Al-Mughni 9/391
[30] Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 9/397, Hasyiyah, Ibnu Abidin 3/85, Al-Fiqhul Islami, Dr. Wahbah Az-Zuhaili 7/239, Al-Fiqh Alal Mazahibil Arba’ah, Abdurrahman Al-Jazairi 4/57, dan Az-Zuwaj wa Ath-Thalaq fil Islam, Badran Abul Ainain hal. 162
[31] Al-Barbahari dalam Syarhus Sunnah hal. 60, Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 2/733, Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal 19, dan As-Suyuthi dalam Al-Amru bi Ittiba’ hal. 81
[32] Al-Mudawanah 1/84
[33] Thabaqatul hanabilah, Ibnu Abi Ya’la 1/45

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Ibadah6 Nikah
  4. /
  5. Hukum Perkawinan Dengan Ahlul...