Hikmah Dalam Berdakwah

HIKMAH DALAM BERDAKWAH

Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari

Dakwah Islam Pada Asalnya Harus Disampaikan Dengan Lemah Lembut.
Ini merupakan asas dalam berdakwah. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [An-Nahl/16:125]

Ibnu Katsîr berkata dalam tafsirnya: “Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menyeru manusia kepada agama Allah Azza wa Jalla dengan cara hikmah.”

Firman Allah Azza wa Jalla , “Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” yakni, apabila perlu dilakukan dialog dan tukar pikiran, hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, lemah lembut dan dengan tutur kata yang baik. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla dalam ayat yang lain:

وَلَا تُجَادِلُوْٓا اَهْلَ الْكِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۖ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka.” [al-Ankabût/29:46].

Ini merupakan landasan penting yang wajib dipegang oleh setiap juru dakwah pada zaman sekarang ini dalam mengajak manusia kepada agama Allah Azza wa Jalla . Sebab, lemah lembut dalam berdakwah disertai pengajaran yang baik, jauh dari sikap congkak dan tidak mengklaim secara serampangan orang yang berseberangan dengan vonis fasik atau kafir.

Al-Khalâl telah meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Imam Ahmad ketika beliau ditanya tentang masalah dakwah ini. Beliau menjawab: “Sahabat-sahabat Abdullâh berkata : “berdakwahlah dengan berlemah lembut, semoga Allah Azza wa Jalla merahmati kamu, berlemah lembutlah!”[1]

Antara Dakwah dan Juru Dakwah.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ ۗعَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ ۗوَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yûsuf/12:108]

Dakwah adalah tugas yang berat dan pekerjaan yang serius yang hanya bisa dipikul oleh orang-orang yang mulia. Juru dakwah yang mengajak kepada agama Allah Azza wa Jalla pasti menghadapi gangguan dalam dakwah sebagaimana yang dihadapi oleh siapa saja yang mengemban tugas dakwah ini, dari dahulu sampai sekarang. Itu sudah menjadi sunnatullâh pada orang-orang terdahulu dan sekarang. Para nabi juga telah menghadapi gangguan serupa berupa penentangan, penolakan, keengganan dan kesombongan dari berbagai pihak dan tingkatan manusia.

Maka dalam mengemban tugas dakwah yang berat dan penuh resiko ini seorang juru dakwah harus menghiasi dirinya dengan sikap santun dan sabar, bijaksana dan arif.

Hikmah Seorang Juru Dakwah.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ

Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. [al-Baqarah/2:269]

Hikmah adalah sebuah ungkapan tentang bagaimana menyelesaikan setiap masalah dengan ilmu yang benar. Hikmah identik dengan fiqh dan pemahaman. Hikmah digunakan juga untuk berbagai makna, seperti as-Sunnah, akal, kebijaksanaan dan lain-lainnya. Hikmah juga bisa berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu pada momentum yang tepat. Hikmah juga berarti menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah lain atau masalah yang lebih besar lagi merupakan bukti ketiadaan hikmah.

Di antara perkara yang memperkeruh dakwah kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dakwah yang dilakukan dengan keras, kasar dan arogan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

Sesungguhnya kelembutan tidaklah berada pada sesuatu melainkan akan membuatnya lebih bagus, dan tidak akan tercabut sesuatu darinya kecuali akan membuatnya jelek.” [HR. Muslim No. 4698]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ يُحْرَمِ الْخَيْرَ

Barangsiapa yang diharamkan baginya, maka ia diharamkan dari kebaikan”.[HR. Muslim No 4696]

Hendaklah seorang da’i (juru dakwah) meniru akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dakwahnya, di antara akhlak yang paling agung itu adalah kelembutan.

Syaikh Bin Bâz berkata, “Kewajiban kita adalah berdakwah kepada agama Allah Azza wa Jalla . Memberi nasihat dan pengarahan kepada perkara yang baik tanpa kekerasan. Sebab kekerasan hanya akan membuka pintu keburukan terhadap kaum Muslimin dan akan mempersulit dakwah.”[2]

Syaikh al-Albâni berkata, “Tidak ragu lagi, ini merupakan perkara pertama yang dituntut dari seorang da’i, yaitu bersikap lemah lembut dan santun. Ia tidak boleh bersikap kasar terhadap orang-orang yang berseberangan. Apalagi bila orang itu masih berada dalam satu ushûl dakwah dengannya, yaitu dakwah kepada al-Qur’an dan Sunnah.”[3]

Sikap lemah lembut dan hikmah ini tidaklah meniadakan ketegasan dalam memegang prinsip dan menyatakan sikap yang syar’i, misalnya ketika melihat kehormatan Islam dilecehkan. Ada momen-momen tertentu yang mana kita harus memperlihatkan ketegasan dalam bersikap. Maka dari itu kita harus membedakan antara mudârât dan mudâhanah.

Apa itu Mudârât dan Mudâhanah?
Banyak orang yang tidak bisa membedakan antara mudârât dan mudâhanah. Mudârât adalah salah satu sikap bijaksana dalam mu’amalah yang menyampaikan kepada tujuan, dengan tetap menjaga kehormatan dan martabat. Adapun mudâhanah adalah perilaku tercela yang dibungkus dengan kebohongan dan memungkiri janji.

Baca Juga  Kesamaan Dalih Para Penentang Dakwah Para Rasul

Ibnu Baththâl berkata: “Mudârât adalah akhlak mukmin, yaitu merendahkan diri kepada orang lain, melunakkan perkataan dan meninggalkan sifat kasar. Mudârât adalah sebab paling kuat terciptanya persatuan. Sebagian orang mengira bahwa mudârât sama dengan mudâhanah. Itu sangat keliru! Karena mudârât adalah sifat yang dianjurkan sementara mudâhanah adalah sifat yang diharamkan. Bedanya, mudâhahah diambil dari kata ad-dahân, yaitu menampakkan sesuatu secara lahiriyah tapi menyembunyikan batinnya. Para ulama mengidentikkannya dengan pergaulan dengan orang fasiq, menunjukkan persetujuan terhadap kefasikannya tanpa mengingkarinya sedikitpun.

Al-Bukhâri telah membuat bab dalam shahîhnya, beliau berkata: “Bab: Mudârât dalam bermu’amalah dengan orang lain. Kemudian beliau membawakan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anha bahwa seorang lelaki meminta izin bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu beliau berkata: “Berilah izin kepadanya, seburuk-buruk putera kabilah atau saudara kabilah.” Ketika ia masuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan lunak kepadanya. ‘Aisyah bertanya-tanya: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , engkau tadi mengatakan begini dan begitu, kemudian engkau berbicara lemah lembut kepadanya?”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Hai ‘Aisyah Radhiyallahu anha, seburuk-buruk manusia di sisi Allah Azza wa Jalla adalah yang ditinggalkan atau dijauhi orang lain karena menghindari kekejiannya.” [Muttafaqun ‘alaihi].

Mudârât adalah berlaku lembut terhadap orang jahil dalam memberikan pengajaran dan terhadap orang fasik ketika melarang perbuatan fasiknya, tidak bersikap kasar terhadapnya. Yang mana ia tidak menunjukkan kemarahannya. Mengingkarinya dengan perkataan dan memperlakukannya dengan lembut.[4]

Di antara contoh Hikmah dalam Dakwah
Berikut ini beberapa contoh hikmah dalam dakwah yang apabila diabaikan bisa memicu timbulnya konflik di tengah masyarakat.

  • Memperhatikan kondisi orang yang didakwahi. Seorang da’i harus memperhatikan kondisi orang yang didakwahinya. Jangan main pukul rata saja. Ia harus memperhatikan cara yang paling bermanfaat dalam mendakwahi mereka. Cara yang bermanfaat untuk masyarakat umum belum tentu cocok untuk mendakwahi raja atau penguasa atau orang yang terpandang, seperti tokoh masyarakat misalnya. Allah Azza wa Jalla telah berkata kepada Musa dan Harun ketika mengutus mereka kepada Fir’aun:

فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى

Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut”. [Thaha/20:44]

Cara dakwah yang bermanfaat bagi kaum pedagang keliling, belum tentu bermanfaat jika digunakan untuk mendakwahi kaum intelektual dan terpelajar. Salah satu bentuk hikmah adalah memperhatikan cara yang paling bermanfaat yang dapat memperbaiki bermacam-macam jenis manusia yang berasal dari berbagai tingkatan dan golongan.

  • Memperhatikan waktu dan kondisi dalam berdakwah. Tidak arif bila mendatangi seorang yang sedang tidur, lalu membangunkannya untuk didakwahi. Dan tidak bijaksana bila mendatangi seseorang yang sedang emosi untuk berceramah di hadapannya. Andaikata dalam kondisi normal tentulah orang itu akan mau mendengar kata-kata kita. Pilihlah waktu dan kondisi yang tepat untuk berdakwah. Ketika suasana atau kondisi sedang tegang atau keruh hindarilah perdebatan maupun dialog hingga ketegangan mereda. Sebab bila dipaksakan bisa menimbulkan hasil yang kontra produktif (tidak menguntungkan). Dan kalau seandainya kebenaran itu baru bisa diterima melalui lisan orang lain mengapa harus memaksakannya melalui lisan kita?
  • Meletakkan skala prioritas yang tepat. Seorang da’i harus bisa menempatkan skala prioritas yang benar dalam dakwah. Hendaklah ia mendahulukan perkara yang paling penting, tidak sepantasnya ia mendahulukan perkara-perkara yang kecil lalu ia meninggalkan perkara yang lebih besar dan lebih berbahaya. Salah dalam meletakkan skala prioritas bisa mengakibatkan penyimpangan dalam dakwah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita contoh dari skala prioritas tersebut. Ketika beliau n mengutus Muadz z ke negeri Yaman, beliau berkata kepadanya:

إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ فَإِذَا فَعَلُوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِذَا أَطَاعُوا بِهَا فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ

Engkau bakal mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab, maka jadikanlah awal dakwahmu kepada mereka adalah peribadatan kepada Allah semata. Jika mereka telah mengenali Allah, sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka melakukannya maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka  zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada fakir miskin diantara mereka. Jika mereka mentaatinya maka ambillah harta-harta itu dari mereka, dan hindarilah harta-harta kesayangan mereka.”[5]

  • Tidak memandang rendah orang yang didakwahi. Sikap meremehkan ini dapat membuat orang yang didakwahi tidak mau mendengar dakwah kita. Janganlah sekali-kali mengesankan dirimu lebih baik daripadanya. Atau memandang dirimu lebih istimewa darinya. Atau membuatnya marah pada kesan pertama. Mu’tamir bin Sulaiman meriwayatkan bahwa ia mendengar ayahnya berkata, “Jangan harap orang yang telah engkau buat marah mau mendengarkan kata-katamu.”[6] Namun beri kesan bahwa engkau adalah saudara baginya. Hindarilah cepat-cepat menjatuhkan vonis secara membabi buta dan serampangan karena cara itu sama sekali tidak hikmah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana sikap seorang muslim kepada orang yang lebih tua dan yang lebih muda darinya. Yaitu menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Sikap menghargai orang lain terutama dalam konteks dakwah dapat mempermudah diterimanya dakwah kita.
  • Meninggalkan perkara mustahab (sunat) untuk kekhawatiran akan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar. Al-Bukhâri telah membuat sebuah bab yang berjudul: “Meninggalkan perkara mustahab karena khawatir orang-orang salah memahami sehingga jatuh kepada kerusakan yang lebih parah lagi”. Kemudian beliau membawakan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anha, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ بِكُفْرٍ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ.

Baca Juga  Seorang Da'i Ke Jalan Allah Tidak Berkehendak Selain Memperbaiki Saudara-Saudaranya

Wahai ‘Aisyah, jika bukan karena menimbang kaummu yang baru – Ibnu Az-Zubair berkata, “Yakni baru meninggalkan kekufuran,”- niscaya aku sudah merombak Ka’bah, aku akan buat dua pintu, pintu masuk dan pintu keluar.” [HR. Bukhari]

Ibnu Hajar menyebutkan beberapa faedah dari hadits tersebut, di antaranya: Dibolehkan meninggalkan sebuah maslahat demi mengindari mudharat dan tidak mengingkari kemungkaran jika khawatir akan menimbulkan kemungkaran yang lebih parah.

  • Berbicara kepada manusia sesuai dengan daya nalar mereka dalam memahaminya. Ini sangat penting diperhatikan untuk menghindari kesalahpahaman yang berpotensi memicu konflik. Demikian pula dalam menyampaikan ilmu agama kepada manusia, harus diperhatikan tingkat pemahaman mereka dalam mencerna apa yang akan disampaikan, jangan sampai kata-kata kita menimbulkan fitnah bagi masyarakat awam. Al-Bukhâri telah membuat bab dalam shahîhnya, bab mengkhususkan sebuah ilmu kepada suatu kaum yang tidak disampaikan kepada kaum yang lain karena khawatir mereka tidak dapat memahaminya. Kemudian beliau membawakan perkataan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, “Berbicaralah kepada orang banyak dengan apa yang dapat mereka fahami, sukakah kalian bila mereka nanti mendustai Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri mengatakan, “Hadits ini menunjukkan, sesuatu perkara yang masih samar tidak layak disebarkan ke tengah masyarakat awam. Perkataan Ali ini mirip seperti perkataan Ibnu Mas’ûd, “Tidaklah kamu menyampaikan sesuatu yang tidak dapat dicerna oleh akal suatu kaum, melainkan akan menimbulkan fitnah bagi sebahagian mereka.” Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim. Diantara pembicaraan yang menurut imam Ahmad makruh disampaikan kepada suatu kaum tetapi boleh disampaikan kepada kaum yang lain adalah pembicaraan tentang hadits yang makna tekstualnya membolehkan pemberontakan terhadap penguasa. Menurut Imam Mâlik, hadits-hadits yang bercerita tentang sifat Allah Azza wa Jalla . Menurut Abu Yusuf, hadits-hadits gharîb. Sebelumnya Abu Hurairah juga berpendapat demikian, seperti yang disebutkan sebelumnya tentang dua kantung hadits, satu kantung tidak disampaikan oleh beliau karena khawatir akan membahayakan keselamatan beliau. Demikian juga dari Hudzaifah dan dari al-Hasan bahwa mereka berdua mengingkari tindakan Anas yang menceritakan kisah ‘Uraniyîn kepada semua jama’ah haji, karena hal akan dijadikan dalih untuk berlebihan dalam menumpahkan darah seseorang. Secara tekstual hadits tersebut terlihat seperti menguatkan kebid’ahan, padahal maksud hadits tersebut tidak sebagaimana yang difahami secara tekstual. Oleh sebab itu, jangan menyampaikan hal-hal seperti ini kepada orang-orang awam yang hanya bisa memahaminya secara tekstual saja. Wallâhu a’lam.”

Pedoman ini sangat penting diperhatikan oleh setiap juru dakwah, khususnya di Indonesia, agar bisa menekan potensi timbulnya fitnah di tengah masyarakat yang mayoritas belum memahami agama dengan benar.

  • Menyebarkan Sunnah tanpa menimbulkan konflik. Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi telah membuat sebuah bab dalam kitabnya, al-Adab asy-Syar’iyyah, “Pasal, menyebarkan sunnah dengan perkataan dan perbuatan, tanpa menimbulkan pertengkaran dan tanpa kekerasan”. Dalam pasal ini beliau membawakan beberapa riwayat dari para ulama di antaranya, “Seorang lelaki pernah bertanya kepada Imam Ahmad, ia berkata, “Aku berada dalam sebuah forum yang disinggung perkara sunnah di dalamnya, tak ada yang tahu mengenai sunnah itu selain diriku, bolehkah aku membicarakannya?” Beliau menjawab, “Sampaikanlah sunnah dan jangan bertengkar karenanya.”

Demikian pula Imam Mâlik, beliau menganjurkan agar menyampaikan sunnah, namun bila tidak diterima lebih baik diam.[7]

Kesimpulan.

  1. Pada asalnya dakwah harus disampaikan dengan hikmah dan lemah lembut.
  2. Lemah lembut ini tidaklah menafikan sikap tegas dalam memegang prinsip, maka dari itu harus dibedakan antara mudaaraah dan mudaahanah.
  3. Gangguan dan penentangan dari orang-orang jahil bisa saja muncul karena itu sudah menjadi sunnatullah.
  4. Seorang da’i harus sabar dan berlapang dada menerima cobaan yang diterimanya dalam mengemban tugas dakwah.
  5. Hikmah adalah meletakkan sesuatu sesuai pada tempatnya, menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru dan berbicara sesuai situasi dan kondisi.
  6. Konflik dan kontroversi bisa ditekan dan dihindari bila setiap juru dakwah memperhatikan hikmah dalam berdakwah.
  7. Sabar dan santun adalah bekal yang paling berharga dalam mengemban tugas dakwah. Kesabaran akan melahirkan ketenangan dalam bertindak dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu. Ketenangan itu berasal dari Allah Azza wa Jalla dan ketergesa-gesaan berasal dari setan. Dakwah yang dibangun atas sikap sembrono dan tergesa-gesa tidak akan membuahkan hasil yang positif. Bahkan sebaliknya, menimbulkan bencana demi bencana.
  8. Hindari melontarkan komentar-komentar yang provokatif yang bisa memicu pertengkaran dan kerusuhan. Dan apabila muncul kesalahpahaman masyarakat tentang suatu isu yang menyangkut dakwah hendaklah segera dilakukan klarifikasi supaya fitnah tidak terlanjur menyebar dan membesar sehingga sulit terkendali.

Referensi.

  1. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim tulisan Ibnu Katsir.
  2. Shahih al-Bukhaari.
  3. Fathul Baari tulisan Ibnu Hajar al-Asqalaani.
  4. Al-Adab asy-Syar’iyyah tulisan Ibnu Muflih.
  5. Haditsun Nafsi wa Jaulaatul Khaathir tulisan Abdul Ilaah bin Sulaiman Ath-Thayyar.
  6. At-Ta’liqaat As-Saniyah Syarh Ushulu Ad-Da’wah As-Salafiyah tulisan ‘Amru Abdul Mun’im.
  7. al-Adab al-Islamiyyah tulisan Abdul Aziz Sayyid Nadaa.
  8. Majalah al-Buhuut al-Islaamiyyah Edisi 40.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat kitab At-Ta’lîqâtus Saniyah Syarh Ushûlud Da’watis Salafiyah tulisan ‘Amru Abdul Mun’im.
[2] Majalah al-Buhûtsul Islâmiyyah Edisi 40.
[3] Dinukil dari kaset Silsilatul Hudâ wan Nûr nomor 620.
[4] Lihat buku Hadîtsun Nafsi wa Jaulâtul Khâthir tulisan Abdul Ilâh bin Sulaiman Ath-Thayyâr.
[5] Hadits riwayat al-Bukhâri (1458) dan Muslim (19) dari Ibnu Abbâs.
[6] Al-Adab asy-Syar’iyyah tulisan Ibnu Muflih (I/368).
[7] Al-Adabusy Syar’iyyah tulisan Ibnu Muflih (I/368).

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Dakwah Agama...
  4. /
  5. Hikmah Dalam Berdakwah