Apakah Ibnu Hajar Al-Asqolani Membolehkan Merayakan Maulid Nabi

APAKAH IBNU HAJAR AL-ASQOLANI MEMBOLEHKAN MERAYAKAN MAULID NABI

Pertanyaan
Apakah benar Ibnu Hajar Al-Asqolani membolehkan perayaan maulid Nabi? Karena kebanyakan para syekh di Al-Jazair berdalil tentang kebolehan perayaan Maulid berdasarkan pendapat Ibnu Hajar Al-Asqolani yang membolehkan maulid?

Jawaban
Alhamdulillah.
Pertama: Merayakan maulid nabi termasuk bid’ah. Orang yang pertama melakukannya adalah para khalifah Fatimiyah Ubaidiyun. Mereka termasuk kelompok menyimpang dan sesat. Tidak dinukil dari seorangpun ulama salaf pada tiga masa utama bahwa beliau menganjurkan atau membolehkannya.

Kedua: Landasan penetapan syariat adalah Al-Qur’an dan Sunah. Para ulama adalah pewaris para nabi. Mereka pembawa bendera ilmu. Allah telah memberikan taufik kepada ahli ilmu untuk mendalami agama. Masing-masing sesuai dengan kadar yang Allah mudahkan baginya. Bukan merupakan suatu keharusan semua apa yang dikatakan para ulama itu benar. Mereka adalah  para mujtahid, kalau benar akan mendapatkan dua pahala, yaitu pahala atas ijitihadnya dan pahala atas kebenarannya. Kalau keliru, maka dia akan mendapatkan pahala ijtihadnya, sedangkan kekeliruannya dimaafkan.

Syekh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Ini adalah kaidah agama terkait dengan orang yang berijtihad dikalangan ahli ilmu. Siapa yang berijtihad mencari kebenaran dan melihat dari dalil-dalilnya. Maka dia akan mendapatkan dua pahala, jika sesuai dengan kebenaran, dan mendapatkan satu pahala jika keliru dari kebenaran. (dia mendapatkan) pahala ijtihad.” (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 6/89).

Ketiga : As-Suyuthi rahimahullah mengatakan, “Syaikhul Islam Hafiz Al-Asri Abul Fadli Ibnu Hajar tentang perbuatan maulid. Maka beliau menjawab teksnya berikut ini:

“Asal amalan maulid itu bid’ah. Tidak dinukil salah seorang pun dari ulama salaf shalih di tiga masa (utama). Akan tetapi meskipun begitu, maulid mengandung suatu kebaikan dan sebaliknya. Siapa yang dapatkan sisi kebaikannya dan menjauhi sebaliknya, maka itu termasuk bid’ah hasanah. Kalau tidak (seperti itu), maka tidak (diperbolehkan).

Beliau (As-Suyuthi) berkata, “Telah nampak pada diriku (adanya) ketetapan dalil (tentang bolehnya maulid), yaitu adanya riwayat shahih dalam Ash-Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) bahwa Nabi sallalahu alihi wa sallam ketika datang di Madinah mendapati orang Yahudi berpuasa di hari Asyura (10 Muharam). Maka beliau menanyakan hal itu kepada mereka, lalu mereka menjawab, “Ini adalah hari Allah tenggelamkan Fir’aun dan selamatkan Nabi Musa, maka kita berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah ta’ala.”

Baca Juga  Syubhat Perayaan Maulid Dengan Alasan Rasûlullâh Berpuasa Pada Hari Senin

Dari (hadits) ini dapat diambil manfaat yaitu bolehnya melakukan sesuatu sebagai rasa syukur kepada Allah dalam hari tertentu terkait dengan pemberian nikmat atau terhindar dari bencana. Hal itu dapat diulangi pada hari yang sama untuk setiap tahun.

Bersyukur kepada Allah  dapat diwujudkan dengan berbagai macam ibadah seperti sujud, puasa, bersodaqah dan tilawah. Kenikmatan apalagi yang paling agung  dibanding dengan hari lahirnya Nabi ini, nabi rahmah pada hari itu.

Dengan demikian, selayaknya dicari dengan teliti hari yang tepat agar sesuai dengan kisah Nabi Musa di hari Asyuro. Siapa yang tidak memperhatikan hal itu, maka dia tidak memperdulikan amalan maulid hari apa saja dalam sebulan, bahkan ada yang lebih luas di satu hari apa saja dalam setahun, maka terjadilah apa yang terjadi.

Ini terkait dengan landasan amalnya.

Adapun terkait perbuatan yang dilakukan di dalamnya, selayaknya mencukupkan diri dengan apa yang dipahami sebagai wujud syukur kepada Allah Ta’ala, sebagaimana yang telah saya sebutkan, seperti dari tilawah, memberi makan, shadaqah, melantunkan sanjungan kenabian dan sikap zuhudnya yang dapat menggerakkan hati untuk melakukan kebaikan dan amal akhirat.

Adapun yang menyertai acara tersebut dalam hiburan dan kesenangan atau lainnya, maka kita  katakan, apa yang asalnya mubah karena mendatangkan kegembiraan pada hari itu, maka tidak mengapa diikutkan. Sementara kalau itu haram atau makruh, maka dilarang. Begitu juga yang menyalahi dari perkara utama.” (Al-Hawi Lil Fatawa, 1/229).

Dengan demikian, disimpulkan dari perkataan yang dinukil dari Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah ada tiga tingkatan:

Pertama : di dalamnya ada penegasan bahwa kegiatan maulid bukan termasuk perbuatan (ulama) salaf soleh. Maka hal itu termasuk bid’ah. Tidak boleh mengabaikan perkataan yang disampaikan Ibnu Hajar ini dalam fatwanya.

Baca Juga  Hukum Merayakan Hari Kelahiran dan Sejenisnya

Kedua : bahwa beliau mengatakan, “Adapun  apa yang dilakukan di dalamnya, selayaknya mencukupkan diri dengan apa yang dipahami sebagai wujud syukur kepada Allah Ta’ala. Seperti yang telah saya sebutkan berupa tilawah, memberi makan, shadaqah, melantunkan sanjungan kenabian dan tentang kezuhudannya yang dapat menggerakkan hati untuk melakukan kebaikan dan amal akhirat.

Sementara kondisi sekarang ini, orang-orang yang merayakan maulid nabawi dan perayaan-perayaan baru lainnya berbeda dengan apa yang telah ditentukan oleh Al-Hafiz dalam fatwanya. Siapa yang melihat kondisi kebanyakan orang sekarang ini, akan mengetahui bahwa kebanyakan yang dilakukan dalam maulid ini adalah termasuk bid’ah dan kemunkaran. Bahkan di dalamnya ada perbuatan dosa dan penyimpangan yang hanya Allah yang mengetahuinya.

Telah diriwayatkan oleh Bukhori (869) dan Muslim (445) dari Aisyah radhiallahu anha berkata:

لَوْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسْجِدَ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ

Jika Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melihat apa yang diperbuat para wanita belakangan ini, beliau pasti akan melarang mereka ke Masjid sebagaimana para wanita Bani israil dilarang.

Kalau ini perkataan Ummul Mukminin dalam masalah yang disyariatkan tanpa ada perselisihan, hanya karena terjadi perubahan sikap di dalamnya, sehingga beliau mengatakan demikian, maka bagaimana kalau asalnya perkara tersebut adalah baru (tidak ada syariat dan contohnya), bahkan kemudian terjadi perubahan sikap, bid’ah dan kemunkaran yang sangat nampak di mata!?

Hendaknya orang yang cerdas mentadaburi apa yang dikatakan Imam Syatibi rahimahullah, “Kalau orang yang telah terkena beban kewajiban (mukalaf) dalam setiap permasalahan selalu  mengikuti keringanan yang terdapat dalam berbagai mazhab atau memilih semua pendapat yang sesuai dengan hawa nafsunya, maka dia telah melepaskan baju takwa dan terlena dalam mengikuti hawa nafsu, memutus apa yang telah ditetapkan syariat serta mengabaikan apa yang telah ditawarkan dalam syariat.” (Al-Muwafaqat, 3/123).

Wallahu a’lam

Disalin dari islamqa

  1. Home
  2. /
  3. B1. Topik Bahasan1 Tahlilan...
  4. /
  5. Apakah Ibnu Hajar Al-Asqolani...