Sejarah Sertifikasi Halal di Indonesia
SEJARAH SERTIFIKASI HALAL DI INDONESIA
Sebuah kasus yang menghebohkan terjadi tahun 1988, Buletin Canopy edisi Januari tahun itu yang diterbitkan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (UB)- Malang memuat tulisan berupa laporan penelitian Ir. Tri Susanto, M.App.Sc yang menyatakan bahwa sejumlah produk makanan dan minuman terindikasi mengandung lemak babi. Saat ini almarhum adalah mantan guru besar Teknologi Pangan Universitas Brawijaya Malang.
Tulisan tersebut telah menimbulkan kepanikan masyarakat baik dari kalangan konsumen muslim khususnya, maupun kalangan produsen produk pangan. Sejumlah produsen mengalami penurunan omset secara drastis. PT Sanmaru Food Manufacture, produsen Indomie mengaku penjualannya turun 20-30 persen dari omset 40 juta bungkus perbulannya. Penjualan Kecap ABC melorot hingga 20 persen, dan Es Krim Campina yang sempat dikait-kaitkan dengan penelitian tersebut turun hingga 40 persen.[1]
Produsen Biskuit Siong Hoe, PT Tri Fabig terpaksa harus gencar mengiklankan diri bila produknya tidak haram. PT Food Specialties Indonesia (FSI) terpaksa juga mengeluarkan dana iklan Rp 340 juta, jumlah yang cukup besar ketika itu.
Fenomena sebagaimana di atas menyadarkan berbagai fihak bahwa keberadaan jaminan halal untuk produk-produk konsumsi menjadi suatu kebutuhan yang mendesak bagi umat Islam. Seperti disampaikan oleh Profesor Amin Aziz ketua LPPOM MUI periode pertama, anggapan bahwa jika umat Islam mayoritas pasti masalah halal akan terjamin ternyata tidak otomatis, sehingga dibutuhkan adanya kebijakan yang mengatur.
Kebutuhan jaminan produk halal telah menjadi isu penting di Indonesia. Umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas dengan jumlah sekitar 86% bisa terusik dengan isu halal-haram ini sehingga menuntut adanya penyikapan dari pemerintah.
Sekalipun demikian pemerintah ketika itu tidak segera mengambil kebijakan cepat menyikapi fenomena tersebut. Sikap yang dilakukan pemerintah justru berusaha menetralisir masalah dengan secara yang kurang proporsional. Seperti yang ditampilkan oleh Sekjen Departemen Agama (ketika itu) Tarmidzi Taher, yang secara demonstratif meminum susu di sebuah pabrik di Pasuruan untuk diliput oleh media dengan maksud meredam gejolak di masyarakat.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan dalam pedoman organisasinya sebagai wadah musyawarah para ulama, para zuama (pemimpin), dan cendekiawan muslim akhirnya yang mengambil inisiatif untuk melakukan sejumlah pertemuan membahas masalah tersebut. Upaya yang dilakukan oleh MUI tidak lepas dari dorongan para intlektual muslim dan para ulama.
MUI merupakan organisasi non pemerintah tetapi karena sifatnya sebagai organisasi forum lintas ormas, keberadaannya dipandang strategis sehingga mempunyai kedekatan khusus dengan pemerintah. Dari pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan MUI ini akhirnya terbentuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika, Majelis Ulama Indonesia yang kemudian disingkat LPPOM MUI.
Produk Halal
LPPOM MUI berdiri tanggal 6 Januari 1989 berdasarkan Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep./18/MUI/I/1989, dengan rencana kegiatan utama melaksanakan pemeriksaan produk halal yang kemudian disebut sertifikasi halal.
Kegiatan sertifikasi halal ini dimaksudkan untuk mendapatkan jaminan produk halal. Proses sertifikasi halal dilakukan dengan cara penelusuran mendalam untuk mengetahui secara pasti apakah bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan suatu produk pangan serta proses produksinya telah terjamin halal dan konsisten atau tidak. Hasil sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikat halal bila telah memenuhi syarat yaitu pernyataan halal atas suatu produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan berdasarkan hasil audit dan kajian fatwa. Adanya sertifikat halal dimaksudkan agar konsumen muslim terlindungi dari produk-produk yang tidak halal.
Kendatipun LPPOM MUI telah berdiri sejak tahun 1989, namun dalam implementasinya sertifikat halal dikeluarkan pertama kali oleh MUI berdasarkan hasil audit dari LPPOM MUI baru tahun 1994 setelah LPPOM MUI memperoleh persetujuan dari Menteri Agama ketika itu. Selama waktu sekitar lima tahun sejak berdiri sampai dapat direalisasikannya kegiatan sertifikasi halal.
LPPOM MUI telah melakukan berbagai kajian terutama untuk mendapatkan metode pemeriksaan yang tepat dan efektif terkait dengan proses audit sertifikasi halal. Hal ini karena untuk mendapatkan informasi yang akurat berkaitan dengan kehalalan suatu produk pangan tidak mudah. Dalam proses pemeriksaan produk halal tidak selalu bisa diuji dari produk akhir dengan menggunakan peralatan laboratorium.
Sebagai contoh, produk turunan daging seperti produk bakso, sosis, nugget dan lain sebagainya, mungkin secara analisis laboratorium dapat ditentuan sumber dagingnya dari jenis hewan tertentu misalnya sapi atau ayam, namun apakan hewan tersebut telah disembelih secara syariat Islam atau tidak, tidak mungkin dianalisis menggunakan laboratorium.
Kesulitan lain yang dihadapi oleh LPPOM MUI dalam proses sertifikasi halal adalah memastikan konsistensi kehalalan suatu produk. Untuk menjaga dan memastikan agar produk yang telah memperoleh sertifikat halal dapat dipertanggungjawabkan kehalalannya secara konsisten merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah. Jangan sampai terjadi kasus suatu produk yang telah dinyatakan halal ternyata dalam perjalalannya diubah oleh produsen tanpa sepengetahuan dari LPPOM MUI sebagai lembaga pemeriksanya. Kondisi ini kemudian disikapi oleh LPPOM MUI dengan menerbitkan kebijakan Sistem Jaminan Halal, sehingga perusahaan yang bersertifikat halal wajib menerapkan sistem jaminan halal ini.
Sistem jaminan halal adalah sistim yang dibuat to maintain sustainability of halal production process in order to assure its halalness according to the rule of LPPOM –MUI (untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sehingga produk yang dihasilkan dapat dijamin kehalalannya sesuai dengan aturan yang digariskan oleh LPPOM MUI).[2]
Dengan adanya sistem ini setiap perubahan yang dilakukan oleh perusahaan berkaitan dengan produknya seperti perubahan bahan, perubahan suplier, perubahan komposisi dapat terkendali sehingga tidak menyebabkan status kehalalannya berubah.
Pemerintah kendatipun tidak secara khusus menetapkan kebijakan berkaitan dengan jaminan produk halal, bersamaan dengan berdirinya LPPOM MUI akhirnya juga mengeluarkan kebijakan yang searah dengan peran dan tugas yang dikerjakan oleh LPPOM MUI. Adanya proses sinkronisasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tidak lepas dari peran Majelis Ulama Indonesia. MUI yang secara konsisten menggulirkan pentingnya jaminan produk halal melalui sertifikasi halal. Hal ini bisa dicermati bahwa ketika terjadi isu halal haram yang mengancam stabilitas perekonomian, pemerintah tidak serta merta mengambil langkah cepat menyikapi hal ini, justru MUI yang kemudian mengambil inisiatif dan akhirnya melahirkan LPPOM MUI.
Sinkronisasi kebijakan yang dilakukan pemerintah diawali dari adanya penandatanganan piagam kerjasaman antara Departemen Kesehatan, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 21 Juni 1996. Setelah penandatanganan piagam tersebut Departemen Kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 924/MENKES/SK/VIII/1996 yang disahkan tanggal 30 Agustus 1996 sebagai perubahan atas Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 82/MENKES/SK/I/1996.
Pada SK Menkes No. 82/MENKES/SK/I/1996, pemerintah telah mengatur label halal untuk produk yang akan dijual di toko-toko pengecer, namun ijin label diberikan atas dasar keterangan sefihak dari perusahaan terkait dengan ingredien bahan-bahan yang digunakan, sehingga kebijakan label halal seperti ini tidak bisa efektif memberikan jaminan halal pada masyarakat.
Ketentuan pada No. 82/MENKES/SK/I/1996 ini merupakan kelanjutan dari keputusan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama RI No. 427/Men.Kes /SKB/VIII/1985 – No.68 Tahun 1985 Tentang Pencantuman Tulisan Halal Pada Label Makanan. Ketentuan inilah yang kemudian diubah dengan SK Menkes No. 924/MENKES/ SK/VIII/1996. Dalam SK Menkes No. 924/MENKES/SK/VIII/1996 ini secara lengkap dinyatakan bahwa persetujuan pencantuman tulisan “halal” diberikan oleh Dirjen POM berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia”.
SK Menkes No. 924/MENKES/SK/VIII/1996 ini merupakan peraturan pertama yang mengatur pencantuman label halal berdasarkan sertifikat halal dari MUI. Kebijakan ini berlanjut sampai dengan saat ini. Bersamaan dengan dihilangkannya Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) keberadaannya diganti dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden sesuai dengan Kepres Nomor 166 Tahun 2000, tugas Ditjen POM terkait dengan labelisasi halal secara otomatis digantikan oleh BPOM.
Jadi, sampai saat ini sertifikat halal yang mengeluarkan adalah MUI, sedangakan label halal yang memberi ijin adalah Badan POM milik pemerintah.
Penulis Ainul Yaqin
Sekretaris Umum MUI Jawa Timur (hidayatullah)
__________
[1] Aisjah Girindra. 2005. LPPOM MUI Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal. Jakarta: LPPOM MUI. hal 39-40 dan Thobieb al-Asyhar. 2003. Bahaya Makanan Haram. Jakarta: Al Mawardi Prima. Hal 9-10
[2] Anonim. 2008. General Guidelines of Halal Assurance System. Jakarta: The Assessment Institute For Foods, Drugs, and Cormatics Indonesian Council of Ulama. Page 1
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah9 Makanan...
- /
- Sejarah Sertifikasi Halal di...