Perang Bani Quraizhah

PERANG BANI QURAIZHAH[1]

Penghianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian damai dengan kaum Muslimin begitu menyakitkan. Apalagi peristiwa itu terjadi kala kaum Muslimin berada dalam kondisi kritis karena menghadapi pengepungan pasukan sekutu dengan jumlah besar dalam perang Khandaq.[2] Pengkhianatan inilah diantara penyebab terjadinya peperangan baru setelah perang Khandaq. Pengkhianatan itu sendiri diprovokatori oleh Huyay bin Akhthab an-Nadhariy.[3] Perang ini dikenal dengan Perang Bani Quraizhah. Peperangan ini terjadi pada akhir Dzulqa’dah dan awal Dzulhijjah pada tahun ke-5 hijriyah.

Usai perang Khandaq, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  pulang ke Madinah dan meletakkan senjatanya. Namun ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mandi di rumah Ummu Salamah Radhiyallahu anha, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh Malaikat Jibril Alaihissallam dan mengatakan :

قَدْ وَضَعْتَ السِّلَاحَ وَاللَّهِ مَا وَضَعْنَاهُ فَاخْرُجْ إِلَيْهِمْ قَالَ فَإِلَى أَيْنَ قَالَ هَا هُنَا وَأَشَارَ إِلَى بَنِي قُرَيْظَةَ

Kalian sudah meletakkan senjata kalian ? Demi Allâh, kami belum meletakkannya, keluarlah menuju mereka ! Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Kemana ?’ Jibril Alaihissallam menjawab, ‘Kearah sini.’ Jibril Alaihisallam  menunjukkan arah Bani Quraizhah. (HR Bukhâri, al-Fath, 15/293, no. 4117)[4]

Menerima perintah ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergegas untuk melaksanakannya dan menginstruksikan kepada para shahabatnya untuk segera bergerak ke arah Bani Quraizhah. Bahkan supaya cepat sampai tujuan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ

Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah (HR. Bukhâri, al-Fath, 15/293, no. 4119)

Dalam riwayat Imam Muslim, no. 1770 :

لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الظُّهْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ   

Janganlah ada satupun yang shalat Zhuhur kecuali di perkampungan Bani Quraizhah

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Sebagian Ulama mencoba mengkonpromikan (memadukan) dua riwayat (riwayat Bukhâri dan Muslim) yang berbeda di atas dengan (mengatakan) kemungkinan sebagian dari shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan shalat Zhuhur sebelum intruksi itu diberikan, sementara sebagian yang lain belum menunaikan shalat Zhuhur. Untuk para shahabat yang belum menunaikan shalat Zhuhur dikatakan, ‘Jangan ada satupun yang melaksanakan shalat Zhuhur …” dan untuk para shahabat yang sudah menunaikan shalat Zhuhur dikatakan kepada mereka, “‘Jangan ada satupun yang melaksanakan shalat ‘Ashar …” Ada juga sebagian Ulama mengkonpromikannya dengan mengatakan bahwa ada kemungkinan sekelompok dari shahabat berangkat sebelum yang lainnya (red- berangkatnya secara bergelombang). Untuk kelompok pertama dikatakan, (‘Jangan ada satupun yang melaksanakan-pent) shalat Zhuhur …” dan untuk kelompok kedua diakatakan, (‘Jangan ada satupun yang melaksanakan-pent) shalat ‘Ashar …” Kedua metode ini tidak apa-apa.”[5]

Ketika mereka mendapati waktu shalat yang disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di tengah jalan, sebagian dari mereka mengatakan, “Kita tidak shalat sampai kita tiba di perkampungan Bani Quraizhah.” Sementara yang lain bersikukuh tetap melakukan shalat ‘Ashar pada waktunya, karena mereka memandang bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bermaksud menyuruh para shahabat Radhiyallahu anhum menunda shalat ‘Ashar sampai lewat waktunya. Kemudian dua sikap yang berbeda dalam menyikapi sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dilaporkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela salah salah satunya.

Baca Juga  Pernikahan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam

Setelah menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan hadits di atas, Ibnu Hajar al-’Asqalâni rahimahullah mengatakan, “Kesimpulan dari kisah ini yaitu sebagian sahabat ada yang memahami larangan ini sebagaimana zhahirnya. Mereka tidak peduli dengan habisnya waktu, karena mereka lebih menguatkan larangan yang kedua[6] daripada larangan pertama yaitu menunda shalat sampai akhir waktunya. Mereka berdalil dengan bolehnya menunda waktu shalat bagi orang tersibukkan dengan urusan peperangan, sebagaimana yang terjadi dalam perang Khandaq. Telah disebutkan dalam hadits Jâbir Radhiyallahu anhu bahwa mereka (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat) menunaikan shalat ‘Ashar setelah matahari tenggelam karena tersibukkan dengan urusan perang. Mereka menganggap itu boleh pada semua kesibukan yang terkait urusan perang, terlebih masa itu juga adalah masa penurunan (pembentukan) syari’at.

Sementara sebagian shahabat yang lain memahaminya tidak sebagaimana zhahirnya.  (Mereka menganggap) itu adalah kinâyah (sindiran) agar mereka termotivasi untuk bergegas dan berjalan dengan cepat menuju Bani Quraizhah.[7]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju perkampungan Bani Quraizhah bersama tiga ribu pasukan. Setibanya di perkampungan Bani Quraizhah, pasukan kaum Muslimin melakukan pengepungan dan melakukan blokade terhadap Bani Quraizhah. Menurut pendapat yang lebih kuat, pengepungan ini berlangsung selama dua puluh lima hari.[8]  Pengepungan ini tentu sangat berdampak bagi Bani Quraizhah. Akhirnya mereka pasrah dan siap menerima sanksi dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menyikapi ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melimpahkan penentuan jenis sanksi yang akan dijatuhkan bagi Bani Quraizhah kepada salah seorang tokoh dari Bani Aus. Karena bani Aus dahulunya merupakan sekutu Bani Quraizhah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melimpahkannya kepada Sa’ad bin Mu’adz Radhiyallahu anhu yang saat itu tidak ikut serta karena luka-luka yang beliau Radhiyallahu anhu derita dalam perang Khandaq. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengirim utusan kepada Sa’ad Radhiyallahu anhu agar datang. Ketika Sa’ad bin Mu’adz Radhiyallahu anhu sudah mendekati pasukan kaum Muslimin, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kaum Anshâr :

قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ فَجَاءَ فَجَلَسَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ إِنَّ هَؤُلَاءِ نَزَلُوا عَلَى حُكْمِكَ قَالَ فَإِنِّي أَحْكُمُ أَنْ تُقْتَلَ الْمُقَاتِلَةُ وَأَنْ تُسْبَى الذُّرِّيَّةُ قَالَ لَقَدْ حَكَمْتَ فِيهِمْ بِحُكْمِ الْمَلِكِ

“Berdirilah (sambutlah) sayyid (pemimpin) kalian.” Sa’ad Radhiyallahu anhu mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan duduk. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Sesungguhnya orang-orang ini tunduk kepada hukummu.” Kemudian Sa’ad Radhiyallahu anhu mengatakan, “Hukum yang saya tetapkan yaitu pasukan mereka dibunuh, kaum wanita dan  anak ditawan.” (mendengar sanksi ini) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau telah menjatuhkan sanksi kepada mereka sesuai dengan sanksi Allâh Azza wa Jalla (HR. al-Bukhâri dan Muslim)

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para shahabatnya untuk melaksanakan sanksi yang telah ditetapkan oleh Sa’ad bin Mu’ad Radhiyallahu anhu.

Baca Juga  Beberapa Peristiwa Sesudah Perang Badar

Berdasarkan pendapat terkuat, jumlah mereka yang terkena sanksi itu adalah 400 orang. Semua terkena sanksi kecuali sebagian kecil karena mereka menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyatakan keislamannya atau karena mendapatkan jaminan keamanan dari sebagian shahabat atau karena ada keterangan yang membuktikan bahwa dia tetap setia dengan perjanjian ketika terjadi pengepungan. Dan jumlah mereka tidak lebih dari jumlah anggota satu keluarga[9]

Demikianlah akhir dari Bani Quraizhah yang telah mengkhianati perjanjian dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin bahkan bahkan telah berusaha menikam kaum Muslimin dari belakang disaat kaum Muslimin menghadapi musuh yang sangat berat.

Pelajaran dari Kisah di atas

  1. Negara boleh mengambil keputusan untuk membunuh orang yang melanggar perjanjian. Dan sampai saat ini, banyak negara yang menetapkan untuk membunuh para pengkhianat bangsa
  2. Disyari’atkannya berijtihad dalam masalah-masalah furu’ (cabang) dan seandainya pun salah maka dia tidak berdosa. Karena para shahabat juga berijtihad dalam memahami maksud dari sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang mereka melakukan shalat ‘Ashar atau Zhuhur ketika berangkat ke perkampungan Bani Quraizhah.
  3. Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa mayoritas para Ulama memandang bahwa berdiri menyambut kedatangan orang yang memiliki keutamaan itu dianjurkan. Mereka berdalil dengan sabda Rasuulllah :

قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ أو خَيْرِكُمْ

Berdirilah (sambutlah) sayyid (pemimpin) atau orang terbaik kalian.

Juga berdasarkan hadits lainnya. Berdiri seperi ini tidak termasuk berdiri yang terlarang. Berdiri yang terlarang itu jika mereka berdiri sementara yang dihormati duduk dan dia terus berdiri

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]  Diterjemahkan dari as-Sîratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, dengan sedikit tambahan dari Fiqhus Sirah min Zâdil Ma’âd dan Fathul Bâri
[2]  Lihat edisi 02/XV, pada rubrik Sirah, Perang Khandaq.
[3] Diriwayatkan oleh Abdurrazâq dalam al-Mushannaf (5/368-373) dari mursal Sa’id bin al-Musayyib. Riwayat ini layak dijadikan pegangan karena memiliki banyak riwayat pendukung. Juga diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Dalail beliau rahimahullah (lihat as-Sîratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 459)
[4]  Lihat Fiqhus Sîrah min Zâdil Ma’âd, hlm. 235 dan as-Sîratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 459)
[5]  Fathul Bâri, 15/294, kitab al-Maghâzi
[6]  Dalam kisah ini terdapat dua larangan; Pertama, larangan menunda shalat sampai akhir waktu. Kedua, larangan menunaikan shalat kecuali kalau sampai di perkampungan Bani Quraizhah. Para shahabat yang melaksanakan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa adanya, lebih menguatkan larangan yang kedua dan menerjang larangan yang pertama.-pent
[7] Fathul Bâri
[8]  Berdasarkan riwayat Imam Ahmad, al-Fathurrabbani 21/81-83. para perawinya adalah para perawi yang bisa dijadikan sebagai hujjah. (lihat as-Sîratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 460)
[9] Lihat as-Sîratun Nabawiyah Fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. hlm. 461