Larangan Mendirikan Masjid Di Atas Kuburan
LARANGAN MENDIRIKAN MASJID DI ATAS KUBURAN
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa tidak boleh membangun masjid di atas kuburan. Membangun masjid di atas kuburan merupakan kesesatan dalam agama. Di samping itu, perbuatan ini merupakan jalan menuju syirik serta menyerupai perbuatan Ahlul Kitab. Perbuatan tersebut juga akan mendatangkan kemurkaan dan laknat Allâh Azza wa Jalla .
Masalah ini termasuk masalah paling besar yang telah menimpa ummat Islam. Dewasa ini telah banyak ditemukan masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan dan dibangun juga kubah-kubah di atasnya. Bahkan, tidak sedikit kuburan yang ditinggikan dan dibangun dengan hiasan yang ketinggiannya melebihi tinggi tubuh manusia serta dihias dengan hiasan-hiasan yang mewah, padahal itu perbuatan haram. Sementara, orang-orang datang mengunjunginya untuk mencari dan minta berkah, berdo’a (memohon) kepada penghuninya, menyembelih binatang dan memohon syafa’at serta kesembuhan dari mereka (perbuatan itu semua termasuk ke dalam syirik akbar). Itulah fakta yang kita dapati diberbagai negeri Islam di zaman ini. Kiranya tidak perlu kami buktikan kenyataan ini. Lâ Haula wa lâ quwwata illâ billâh (Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan dari Allâh).[1]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Ummu Habîbah Radhiyallahu anha dan Ummu Salamah Radhiyallahu anha menceritakan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang gereja dengan patung-patung yang ada di dalamnya yang mereka lihat di negeri Habasyah (Ethiopia), maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُولَئِكِ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُوْلَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Mereka itu adalah suatu kaum, apabila ada seorang hamba yang shalih atau seorang yang shalih meninggal di antara mereka, mereka bangun di atas kuburannya sebuah masjid (tempat ibadah) dan mereka buat di dalam tempat itu rupaka-rupaka (patung-patung).Mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allâh pada hari kiamat.[2]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Laknat Allâh atas Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah.[3]
Dari Jundub bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu berkata, “Aku mendengar bahwa lima hari sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللهِ أَنْ يَكُوْنَ لِي مِنْكُمْ خَلِيْلٌ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً، كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allâh dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalîl (kekasih mulia) di antara kamu, karena sesungguhnya Allâh telah menjadikan aku sebagai khalîl. Sekiranya aku boleh menjadikan seorang khalîl dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalîl. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid (tempat ibadah).Ingatlah, janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai masjid (tempat ibadah), karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.[4]
Yang dimaksud dengan اِتِّخَاذُ الْقُبُوْرِ مَسَاجِدَ yaitu menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid (tempat ibadah), mencakup tiga hal, sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah :[5]
- Tidak boleh shalat menghadap kubur, karena ada larangan tegas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ تُصَلُّوْا إِلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تَجْلِسُوْا عَلَيْهَا
Jangan kamu shalat menghadap kubur dan jangan duduk di atasnya.[6]
- Tidak boleh sujud di atas kubur.
- Tidak boleh membangun masjid di atasnya (tidak boleh shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan).
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan dalam kitabnya, bahwa membangun masjid di atas kubur hukumnya haram dan termasuk dosa besar menurut empat madzhab.[7]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Bâz rahimahullah menjelaskan dalam fatwanya:
- Hadits-hadits larangan tersebut menunjukkan tentang haramnya membangun masjid di atas kubur dan tidak boleh menguburkan mayat di dalam masjid.[8]
- Tidak boleh shalat di masjid yang di sekelilingnya terdapat kuburan.[9]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan di dalam kitabnya:
- Siapa yang mengubur seseorang di dalam masjid, maka ia harus memindahkannya dan mengeluarkannya dari masjid.
- Siapa yang mendirikan masjid di atas kuburan, maka ia harus membongkarnya (merobohkannya).[10]
Dinyatakan pula oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitabnya[11], bahwa menjadikan kubur sebagai tempat ibadah termasuk dosa besar, dengan sebab:
- Orang yang melakukannya mendapat laknat Allâh Azza wa Jalla .
- Orang yang melakukannya disifatkan dengan sejelek-jelek makhluk.
- Menyerupai orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan menyerupai mereka hukumnya haram.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah t menyebutkan dalam kitabnya, Zâdul Ma’âd[12], “Berdasarkan hal itu, masjid harus dibongkar bila dibangun di atas kubur. Sebagaimana halnya kubur yang berada dalam masjid harus dibongkar. Pendapat ini telah disebutkan oleh Imam Ahmad dan lainnya. Tidak boleh bersatu antara masjid dan kuburan. Jika salah satu ada, maka yang lain harus tiada. Mana yang terakhir ada itulah yang dibongkar. Jika didirikan bersamaan, maka tidak boleh dilanjutkan pembangunannya, dan wakaf masjid tersebut dianggap batal. Jika masjid tetap berdiri, maka tidak boleh shalat di dalamnya (yaitu di dalam masjid yang ada kuburannya) berdasarkan larangan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan laknat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang menjadikan kubur sebagai masjid atau menyalakan lentera di atasnya. Itulah dienul Islam yang Allâh turunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad n , meskipun dianggap asing oleh manusia sebagaimana yang engkau saksikan.”[13]
Bagaimana dengan makam Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berada dalam Masjidin Nabawi?
Jawaban terhadap syubhat yang ada, “Ada orang berkata, sekarang ini kita dalam dilema sehubungan dengan makam Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kuburan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada tepat di tengah masjid. Bagaimana menjawabnya?”
Jawabannya adalah sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika meninggal dunia dimakamkan di kamar ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma di rumahnya sebelah masjid, dipisahkan dengan tembok dan ada pintu yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa lewati untuk keluar menuju masjid. Hal ini adalah perkara yang sudah disepakati para Ulama dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya para Shahabat g menguburkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kamarnya. Mereka lakukan demikian supaya tidak ada seorang pun sesudah mereka menjadikan kuburan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai masjid atau tempat ibadah, sebagaimana hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dan yang lainnya.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit yang karenanya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Allâh melaknat kaum Yahudi dan Nasrani, karena mereka menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat peribadahan.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma melanjutkan:
وَلَوْلاَ ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خُشِيَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا
Seandainya bukan karena larangan itu tentu kuburan Beliau sudah ditampakkan di atas permukaan tanah (berdampingan dengan kuburan para Shahabat di Baqi’). Hanya saja Beliau khawatir akan dijadikan sebagai tempat ibadah.[14]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَللّٰهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنًا، لَعَنَ اللهُ قَوْمًا اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Ya Allâh! Janganlah Engkau menjadikan kuburanku sebagai berhala (yang disembah). Allâh melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat untuk ibadah.[15]
Kemudian –Qaddarallahu wa Maasyaa’a Fa’ala— terjadi sesudah mereka apa yang tidak diperkirakan sebelumnya, yaitu pada zaman al-Walid bin ‘Abdul Malik tahun 88 H. Ia memerintahkan untuk membongkar masjid Nabawi dan kamar-kamar istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk juga kamar ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma sehingga dengan demikian masuklah kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam Masjid Nabawi.[16]
Pada saat itu tidak ada seorang Shahabat pun di Madinah an-Nabawiyyah. Sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan muridnya al-‘Allamah al-Hâfizh Muhammad Ibnu Abdil Hadi rahimahullah, “Sesungguhnya dimasukkannya kamar Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam masjid pada masa khilafah al-Walid bin ‘Abdil Malik, sesudah wafatnya seluruh Shahabat Radhiyallahu anhum yang ada di Madinah. Dan yang terakhir wafat adalah Jâbir bin ‘Abdillah[17], yang wafat pada zaman ‘Abdul Malik pada tahun 78 H. Sedangkan al-Walid menjabat khalifah tahun 86 H dan wafat pada tahun 96 H. Maka dari itu, dibangunnya (renovasi) masjid dan masuknya kamar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi antara tahun 86-96 H.[18]
Perbuatan al-Walid bin ‘Abdil Malik ini salah -semoga Allâh mengampuninya-.[19]
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan dalam Fat-hul Bâri dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam al-Jawâbul Bâhir, “Bahwa kamar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala dimasukkan ke dalam masjid, ditutup pintunya, dibangun atasnya tembok lain untuk menjaga agar rumah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dijadikan tempat perayaan dan kuburnya tidak dijadikan berhala.”[20]
Larangan shalat di masjid yang ada kuburnya atau masjid yang dibangun di atas kubur mencakup semua masjid di seluruh dunia kecuali Masjid Nabawi. Hal tersebut karena Masjid Nabawi mempunyai keutamaan yang khusus yang tidak didapati di seluruh masjid di muka bumi kecuali Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هٰذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
Shalat di Masjidku ini lebih utama 1000 (seribu) kali daripada shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram.[21]
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هٰذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.
Shalat di Masjidku ini lebih utama 1000 (seribu) kali daripada shalat di masjid-masjid yang lain, kecuali Masjidil Haram.[22]
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هٰذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ، فَصَلاَةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ
Shalat di Masjidku ini lebih utama 1000 (seribu) kali daripada shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram, maka shalat di Masjidil Haram lebih utama 100.000 (seratus ribu) kali daripada shalat di masjid yang lainnya.[23]
مَا بَيْنَ بَيْتِيْ وَمِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمِنْبَرِيْ عَلَى حَوْضِي.
Antara rumahku dan mimbarku ada taman dari taman-taman Surga dan mimbarku di atas telagaku.[24]
Dan keutamaan-keutamaan yang lain yang tidak didapati di masjid lainnya. Kalau dikatakan tidak boleh shalat di masjid Beliau berarti menyamakan dengan masjid-masjid lainnya dan menghilangkan keutamaan-keutamaan ini dan hal ini jelas tidak boleh.[25]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata tentang syubhat tersebut:[26]
- Masjid Nabawi itu tidak didirikan di atas kuburan, tetapi masjid didirikan pada zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikuburkan di dalam masjid, namun dikubur di dalam rumah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Menggabungkan rumah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , termasuk pula rumah ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dengan masjid, bukan atas kesepakatan para Shahabat. Hal ini terjadi setelah sebagian besar Shahabat sudah meninggal dunia dan yang masih hidup saat itu tinggal sedikit, kira-kira pada tahun 94 H. Hal ini termasuk masalah yang tidak disepakati semua Shahabat yang masih ada. Yang pasti bahwa sebagian di antara mereka menentang rencana itu, termasuk pula Sa’id bin al-Musayyab,[27] dari kalangan Tabi’in.Dia tidak ridha atas hal itu.[28]
- Kuburan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berada di dalam masjid Nabawi, meskipun setelah itu masuk di dalamnya, karena kuburan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada dalam ruangan tersendiri yang terpisah dengan masjid, sehingga masjid tidak didirikan di atas kuburan. Karena itu tempat tersebut dijaga dan dilapisi tiga dinding. Dinding-dinding itu berbentuk segi tiga yang posisinya miring dengan arah Kiblat, sedangkan rukun (tiang) di sisi utara, sehingga orang yang shalat tidak mengarah ke sana, karena bentuknya agak miring.
Wallaahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Manhajul Imâm asy-Syâfi’i fii Itsbâtil ‘Aqîdah (I/259-264) karya DR. Muhammad bin Abdul Wahhab al-‘Aqil.
[2] HR. Al-Bukhâri (no. 427, 434, 1341) dan Muslim (no. 528) bab an-Nahyu ‘an Binâ-il Masâjid ‘alal Qubûri wa Ittikhâdzish Shuwari fîha wan Nahyu ‘an Ittikhâdzil Qubûri Masâjid (Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Memasang di Dalamnya Gambar-Gambar Serta Larangan Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid) dan Abu ‘Awanah (I/401).
[3] HR. Al-Bukhari (no. 435, 436, 3453, 3454, 4443, 4444, 5815, 5816) dan Muslim (no. 531 (22)) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[4] HR. Muslim (no. 532 (23)) bab: bab an-Nahyu ‘an Binâ-il Masâjid ‘alal Qubûri wa Ittikhâdzish Shuwari fîha wan Nahyu ‘an Ittikhâdzil Qubûri Masâjid (Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Membuat Patung-Patung serta Larangan Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid).
[5] Lihat Tahdzîrus Sâjid min Ittikhâdzil Qubûr Masâjid (hlm. 29-44) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. I/ Maktabah al-Ma’arif/ th. 1422 H.
[6] HR. Muslim (no. 972 (98)) dan lainnya dari Sahabat Abu Martsad al-Ghanawi Radhiyallahu anhu.
[7] Tahdzîrus Sâjid (hlm. 45-62).
[8] Fatâwâ Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Bâz (IV/337-338 dan VII/426-427), dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin Sa’ad asy-Syuwai’ir, cet. I, th. 1420 H.
[9] Lihat Fatâwâ Muhimmah Tata’allaqu bish Shalâh (hlm. 17-18, no. 12) oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz, cet. I, Daarul Fa-izin lin Nasyr – th. 1413 H.
[10] Lihat al-Qaulul Mufîd ‘ala Kitâbit Tauhîd (I/402) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin.
[11] Lihat Mausû’atul Manâhi asy-Syar’iyah (I/426).
[12] Zâdul Ma’âd fii Hadyi Khairil ‘Ibâd (III/572) tahqiq Syu’aib dan ‘Abdul Qadir al-Arnauth, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th.1412 H.
[13] Tentang harus dibongkarnya masjid yang dibangun di atas kubur itu tidak ada khilaf di antara para Ulama yang terkenal, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Iqthidhâ’us Shirâthil Mustaqîm (II/187) tahqiq dan ta’liq DR. Nashir bin Abdul Hakim al-‘Aql, cet. VI Darul ‘Ashimah.
[14] HR. Al-Bukhâri (no. 1330), Muslim (no. 529 (19)), Abu Awânah (I/399) dan Ahmad (VI/80, 121, 255). Perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ini menunjukkan dengan jelas tentang sebab mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikuburkan di rumahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup jalan supaya tidak dibangun di atasnya masjid (sebagai tempat ibadah). Maka, tidak boleh dijadikan alasan tentang bolehnya mengubur di rumah, karena hal ini menyalahi hukum asal. Menurut Sunnah menguburkan mayat di pekuburan kaum Muslimin. (Lihat Tahdzîrus Sâjid hlm. 14)
[15] HR. Ahmad (II/246), al-Humaidi dalam Musnadnya (no. 1025) dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Sanadnya shahih. Diriwayatkan juga oleh Imam Mâlik (I/156 no. 85), dari ‘Atha’ bin Yasar secara marfu’. Hadits ini mursal shahih. Lihat Tahdzîrus Sâjid (hlm. 25-26)
[16] Lihat Târîkhuth Thabari (V/222-223) dan Târîkh Ibni Katsir (IX/74-75).Dinukil dari Tahdzîrus Sâjid (hlm. 79).
[17] Beliau adalah seorang Shahabat yang mulia, Jâbir bin ‘Abdillah bin ‘Amr bin Haram bin Ka’ab al-Anshari as-Silmi Radhiyallahu anhuma . Seorang yang banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ikut dalam bai’at ‘Aqabah dan ikut bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak peperangan. Setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, beliau Radhiyallahu anhu membuat halaqah (kajian) di Masjid Nabawi untuk ditimba ilmunya.Lihat al-Ishâbah (I/213 no. 1026).
[18] Lihat al-Jawâbul Bâhir fii Zuwwâril Maqâbir (hlm. 175)tahqiq DR. Ibrahim bin Khalid bin ‘Isa al-Mukhlif, Majmû’ Fatâwâ (XXVII/419) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, juga Tahdzîrus Sâjid (hlm. 79-80) oleh Syaikh al-Albani.
[19] Tahdzîrus Sâjid (hlm. 86) oleh Syaikh al-Albani.
[20] Al-Jawâbul Bâhir fii Zuwwâril Maqâbir (hlm. 184).
[21] HR. Muslim (no. 1395) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[22] HR. Al-Bukhâri (no. 1190), Muslim (no. 1394), at-Tirmidzi (no. 325), Ibnu Majah (no. 1404), ad-Darimi (I/330), al-Baihaqi (V/246), Ahmad (II/256, 386, 468), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 971).
[23] Ahmad (III/343, 397), Ibnu Majah (no. 1406) dari Shahabat Jâbir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu.
[24] HR. Al-Bukhâri (no. 1196, 1888), Muslim (no. 1391), Ibnu Hibban (no. 3750/at-Ta’lîqâtul Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibbân (no. 3742)), al-Baihaqi (V/246), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[25] Lihat Tahdzîrus Sâjid hlm. 178-182.
[26] Lihat al-Qaulul Mufîd ‘alâ Kitâbit Tauhîd (I/398-399).
[27] Nama lengkapnya Sa’id bin al-Musayyab bin Hazan bin Abi Wahhab al-Makhzumi al-Qurasyi. Dia adalah seorang ahli Fiqih di Madinah. Dia menguasai ilmu hadits, fiqih, zuhud, wara’. Dia orang yang paling hafal hukum-hukum ‘Umar bin Khaththab dan keputusan-keputusannya, wafat di Madinah th. 94 H. Lihat Taqrîbut Tahdzîb (I/364 no. 2403) dan Siyar A’lâmin Nubalâ’ (IV/217-246, no. 88).
[28] Majmû’ Fatâwâ (XXVII/420) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
- Home
- /
- B1. Topik Bahasan3 Ibadah...
- /
- Larangan Mendirikan Masjid Di...