Kaidah Ke-41 : Apabila Dua Ibadah Sejenis Berkumpul Maka Pelaksanaannya Digabung

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Keempat Puluh Satu

إِذَا اجْتَمَعَتْ عِبَادَتَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ تَدَاخَلَتْ أَفْعَالُهُمَا وَاكْتَفَى عَنْهُمَا بِفِعْلٍ وَاحِدٍ إِذَا كَانَ مَقْصُوْدُهُمَا وَاحِدًا

Apabila dua ibadah sejenis berkumpul maka pelaksanaannya digabung dan cukup dengan melaksanakan salah satunya jika keduanya mempunyai maksud yang sama

MAKNA KAIDAH 
Kaidah ini merupakan implementasi dari prinsip taisir (kemudahan) dalam agama yang mulia ini. Syaikh Abdurrahman bin Nashir Assa’di mengatakan, “Ini merupakan nikmat dan kemudahan dari Allâh, di mana satu amalan bisa mewakili beberapa amalan sekaligus.”[1]

Kaidah ini menjelaskan tentang dua ibadah atau lebih yang berkumpul dalam satu waktu. Timbul pertanyaan, apakah seseorang diperbolehkan hanya melaksanakan salah satunya, dengan tetap terhitung mengerjakan semuanya ? Bisakah ia meraih pahala semua ibadah itu hanya dengan melaksanakan salah satunya ?  Para Ulama menjelaskan bahwa hal itu bisa apabila terpenuhi empat syarat[2] :

  1. Kedua ibadah tersebut jenisnya sama. Yaitu shalat dengan shalat, thawaf dengan thawaf dan semisalnya. Jika jenisnya berbeda,  seperti shalat dengan puasa, maka tidak bisa digabungkan.
  2. Kedua ibadah itu berkumpul dalam satu waktu. Seperti thawaf ifâdhah (yang ditunda pelaksanaannya sampai menjelang pulang ke kampung halaman) dan thawaf wada’.
  3. Salah satu dari kedua ibadah tersebut tidak dilakukan dalam rangka mengqadha’ ibadah wajib yang pernah ditinggalkan. Jika salah satunya dilakukan dalam rangka qadha’ maka kedua ibadah tidak bisa digabungkan. Oleh karena itu, seseorang yang tertinggal shalat Zhuhur karena tertidur sampai datang waktu ashar, maka tidak boleh baginya mengerjakan hanya empat rakaat shalat  dengan niat shalat Zhuhur dan Ashar. Dia wajib melaksanakan shalat zhuhur kemudian shalat Ashar.[3]  
  4. Salah satu ibadah tersebut bukan pengikut atau pengiring ibadah lainnya.[4] Jika salah satunya pengikut bagi yang lain, maka tidak bisa digabungkan. Oleh karena itu, shalat sunat qabliyah Shubuh yang merupakan salah satu sunat rawatib misalnya tidak bisa digabung dengan shalat Shubuh, karena shalat sunat rawatib mengikuti shalat wajibnya.[5] Demikian pula, orang yang punya hutang puasa Ramadhan dan mengqadha’nya di bulan Syawal dengan niat qadha’ sekaligus puasa sunnah enam hari Syawal tidaklah mendapatkan kecuali puasa qadha’ saja. Karena puasa sunnah Syawal tidak bisa dikerjakan kecuali jika ia telah menyempurnakan kewajiban puasa Ramadhan.

Sebagian Ulama’ yang lain menyebutkan dua syarat tambahan[6] :

  • Hendaknya salah satu ibadah yang digabung itu lebih besar dari yang lainnya. Seperti thawaf ifâdhah dengan thawaf wada’,yang mana thawaf ifâdhah lebih wajib daripada thawaf wada’; Mandi janâbah dengan mandi Jum’at, di mana mandi janabah lebih wajib dari mandi Jum’at.
  • Ketika mengerjakan ibadah itu, si pelaku meniatkan kedua ibadah itu atau meniatkan ibadah yang lebih besar. Jika ia meniatkan ibadah yang lebih kecil maka hanya itulah yang ia raih.

Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi dalam dua ibadah atau lebih, maka ibadah-ibadah itu bisa digabungkan dan cukup mengerjakan satu ibadah saja dan mendapatkan pahala semua ibadah itu. Namun jika dipisah pelaksanaan masing-masing ibadah tersebut, artinya masing-masing dilaksanakan, maka tidak diragukan lagi bahwa itu lebih sempurna. Pembolehan ini sebagai bentuk kemudahan dan keringanan bagi mukallaf.

Baca Juga  Kaidah Ke-67 : Mengejar Ibadah Yang Jika Terlewat Tidak Ada Badalnya

DALIL YANG MENDASARINYA
Kaidah yang mulia ini masuk dalam keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ, وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dari Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya.[7]

CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Di antara contoh permasalahan yang masuk dalam implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut :

  1. Apabila di pagi hari Jum’at seorang laki-laki dalam keadaan janâbah, maka ketika itu terkumpul padanya dua tuntutan, yaitu kewajiban mandi janâbah dan sunnah mandi Jum’at. Dalam hal ini, jika ia hanya mandi sekali saja dengan niat mandi janâbah dan mandi Jum’at, atau dengan niat mandi janâbah saja, maka itu sudah cukup, dan ia mendapatkan pahala dua ibadah tersebut.[8]
  2. Jika seseorang berwudhu kemudian masuk masjid setelah adzan Zhuhur, maka ketika itu disyariatkan baginya melaksanakan tiga shalat sunnah, yaitu shalat sunnah wudhu, shalat tahiyyatul masjid, dan shalat sunnah qabliyah. Dalam keadaan ini, cukup baginya melaksanakan shalat dua rakaat dengan niat ketiga shalat dan mendapatkan pahala ketiga shalat tersebut.[9]
  3. Barangsiapa melaksanakan puasa sunnah enam hari bulan Syawal pada hari-hari yang disunnahkan berpuasa, seperti puasa hari-hari bidh[10], maka ia mendapatkan pahala dua puasa sunnah tersebut, yaitu puasa sunnah Syawal dan puasa hari-hari bidh.[11]
  4. Jika seseorang menyimak bacaan al-Qur’ân dari dua orang, dan keduanya sama-sama membaca ayat sajdah, maka cukup baginya melakukan sekali sujud tilawah saja.[12]
  5. Apabila seseorang bangun dari tidur malam dan ingin berwudhu, maka ketika itu terkumpul padanya dua tuntutan ibadah. Yaitu  kewajiban mencuci kedua tangan tiga kali sebelum memasukkannya ke bejana[13], dan sunnah mencuci tangan tiga kali ketika awal wudhu. Dalam hal ini cukup baginya mencuci kedua tangan tiga kali dengan niat mencuci yang wajib dan tercakup di dalamnya yang sunnah, karena ibadah yang kecil tercakup dalam ibadah yang besar.
  6. Jika seseorang masuk masjid dan mendapatkan jama’ah sedang melaksanakan shalat zhuhur maka terkumpul pada haknya ketika itu dua ibadah, shalat fardhu dan shalat tahiyyatul masjid. Jika ia masuk mengikuti shalat Zhuhur maka telah tercakup shalat tahiyyatul masjid sebagai pengikut.[14]
  7. Dalam ibadah haji, jika seseorang mengakhirkan pelaksanaan thawaf ifâdhah menjelang kembalinya ke kampung halaman, maka ketika itu wajib baginya melaksakan dua thawaf, thawaf ifâdhah dan thawaf wada’. Dalam hal ini, cukup baginya melaksanakan satu kali thawaf dengan niat keduanya atau dengan niat thawaf ifâdhah saja dan telah tercakup di dalamnya thawaf wada’ sebagai pengikut. Adapun jika niatnya hanya thawaf wada’ saja maka ia tidak mendapatkan kecuali apa yang ia niatkan itu, yaitu thawaf wada’.[15]
Baca Juga  Kaidah Ke. 15 : Tidak Boleh Melakukan Sesuatu yang Membahayakan

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1] al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furuq wat Taqâsîmul Badî’atun Nâfi’ah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Cet. II. 1422 H/2001 M, Dar al-Wathan li an-Nasyr, Riyadh, hlm. 93
[2] Lihat syarat-syarat ini dalam Talqîhul Afhâmil ‘Aliyyah bi Syarh al-Qawâ’idil Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah ke-18.
[3] Lihat Tuhfatu Ahli at-Thalab fi Tahrîr Ushûl Qawâ’id Ibni Rajab, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Cet. II, Tahun 1423 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam,  Hlm. 18.
[4] Lihat pembahasan tentang syarat-syarat ini dalam at-Ta’lîq ‘ala al-Qawâ’id wal Ushûlil Jâmi’ah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Cet. I, 1430 H, Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin al-Khairiyyah, Unaizah, hlm. 216.
[5] Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Cet. II, Tahun 1432 H/2011 M, Pustaka Al Furqon, Gresik, Hlm. 208.
[6] Talqîhul Afhâmil ‘Aliyyah bi Syarh al-Qawâ’idil Fiqhiyyah, kaidah ke-18.
[7] HR. al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907.
[8] Lihat Talqîhul Afhâmil ‘Aliyyah bi Syarh al-Qawâ’idil Fiqhiyyah, kaidah ke-18.
[9] Dalam masalah ini Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t menjelaskan bahwa jika seseorang meniatkan ketiga shalat tersebut maka ia mendapatkan ketiganya. Jika ia meniatkan salah satunya saja maka jika yang diniatkan adalah shalat sunnah qabliyah, maka ia juga mendapat ketiganya. Jika yang diniatkan adalah shalat sunnah wudhu saja maka ia hanya mendapatkan shalat sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid. (at-Ta’lîq ‘ala al-Qawâ’id wal Ushûlil Jâmi’ah, hlm. 217)
[10] Hari-hari bidh adalah tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan. Disunnahkan berpuasa pada hari hari tersebut berdasarkan hadits Abu Dzar z riwayat at-Tirmidzi no. 761, an-Nasâ-i no. 2422 dan selainnya. Dihasankan Syaikh al-Albani dalam Irwâ-ul Ghalîl no. 9947 dan as-Shahîhah no. 1567.
[11] Talqîhul Afhâmil ‘Aliyyah bi Syarh al-Qawâ’idil Fiqhiyyah, kaidah ke-18.
[12] Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, hlm. 211.
[13] Sebagaimana disebutkan dalam HR. al-Bukhâri no. 162 dan Muslim no. 278 dari Abu Hurairah z .
[14] Talqîhul Afhâmil ‘Aliyyah bi Syarh al-Qawâ’idil Fiqhiyyah, kaidah ke-18.
[15] Lihat Taqrîrul Qawâ’id wa Tahrîrul Fawâid, al-Imam al-Hafizh Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hambali, Ta’liq Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, Cet. I, Tahun 1419 H/1998 M, Dar Ibni Affan li an-Nasyri wa at-Tauzi, Khubar, Jilid 1 Hlm. 149-150.

  1. Home
  2. /
  3. A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
  4. /
  5. Kaidah Ke-41 : Apabila...