Kaidah Ke-46 : Didahulukan Bagian Kanan Dalam Perkara-perkara yang Mulia Maupun Berhias
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Keempat Puluh Enam
تُقَدَّمُ الْيَمِيْنُ فِي كُلِّ مَا كَانَ مِنْ بَابِ التَّكْرِيْمِ وَالتَّزَيُّنِ وَالْيُسْرَى فِيْمَا عَدَاهُ
Didahulukan bagian kanan dalam perkara-perkara yang mulia maupun berhias dan didahulukan bagian kiri dalam perkara selainnya
MAKNA KAIDAH
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menciptakan para makhluk-Nya dan Dia telah memilih darinya sesuai kehendaki-Nya. Diantara yang dipilih-Nya adalah sisi sebelah kanan yang ditakdirkan memiliki keutamaan dan kemuliaan yang lebih dibandingkan sisi sebelah kiri. Jika kita mencermati dalil-dalil syar’i, maka kita dapati bahwa suatu perkara atau perbuatan jika termasuk dalam hal yang mulia, yang indah, dan ibadah, maka disyariatkan untuk dimulai dari yang kanan terlebih dahulu. Namun jika suatu perkara bukan termasuk dalam kategori tersebut, yaitu berupa hal-hal yang kurang utama, seperti menghilangkan atau mencuci najis, atau mengambil benda-benda yang kotor, maka yang lebih didahulukan adalah anggota badan yang kiri. Inilah makna dan kandungan kaidah ini secara umum.[1]
DALIL YANG MENDASARINYA
Diantara dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini adalah hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai memulai dari sebelah kanan saat mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam semua urusannya.[2]
Demikian pula disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا تَوَضَّأْتُمْ فَابْدَأُوْا بِمَيَامِنِكُمْ
Apabila kalian berwudhu maka mulailah dari anggota badan sebelah kanan.[3]
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam berkata, “Disunnahkan mendahulukan tangan kanan dan kaki kanan ketika berwudhu. Yaitu dengan membasuh tangan kanan terlebih dahulu kemudian tangan kiri, serta membasuh kaki kanan terlebih dahulu baru kemudian kaki kiri.”[4]
Disebutkan pula dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu tentang mendahulukan kaki ketika masuk masjid, ia berkata :
مِنَ السُّنَّةِ إِذَا دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ أَنْ تَبْدَأَ بِرِجْلِكَ الْيُمْنَى وَإِذَا خَرَجْتَ أَنْ تَبْدَأَ بِرِجْلِكَ الْيُسْرَى
Termasuk dalam perkara sunnah adalah jika engkau masuk masjid maka engkau mendahulukan kaki kanan, dan jika engkau keluar masjid maka engkau dahulukan kaki kiri.[5]
Hadits ini menjelaskan bahwa apabila seseorang berpindah dari tempat yang kurang mulia ke tempat yang mulia hendaknya ia mendahulukan kaki kanannya terlebih dahulu barulah kemudian kaki kirinya.
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Kaidah yang mulia ini mempunyai implementasi dan contoh penerapan yang cukup banyak. Berikut ini sekedar beberapa contoh darinya :
- Yang lebih utama ketika menulis adalah menggunakan tangan kanan. Karena menulis termasuk hal mulia dan di antara karunia Allâh Azza wa Jalla[6]. Hal ini telah diisyaratkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ ۖ إِذًا لَارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu. [al-‘Ankabût/29:48]
- Ketika seseorang masuk rumahnya, yang lebih utama adalah mendahulukan kaki kanannya. Karena rumah adalah tempat yang mulia sedangkan jalanan adalah tempat yang kurang mulia. Sehingga tatkala berpindah ke tempat yang lebih mulia maka ia mendahulukan kaki kanannya. Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla jelaskan bahwa keberadaann rumah adalah kemuliaan bagi manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ سَكَنًا
Dan Allâh menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal. [an-Nahl/16:80]
- Ketika memakai alas kaki disunnahkan untuk mendahulukan yang kanan, tapi ketika melepasnya yang disunnahkan mendahulukan yang kiri. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيُمْنَى، وَإِذَا خَلَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالْيُسْرَى
Apabila kalian memakai sandal, mulailah dengan kaki kanan, dan jika melepas, mulailah dengan kaki kiri.[7]
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa memakai alas kaki dimulai dengan yang kanan, karena memakai alas kaki termasuk kemuliaan dan perhiasan. Adapun melepasnya maka dimulai dari yang kiri karena hal itu bermakna melepas perhiasan tersebut.
- Dalam shalat berjama’ah, shaf yang lebih utama adalah yang berada di sebelah kanan imam. Maka berdiri di sebelah kanan shaf lebih utama daripada berdiri di sebelah kirinya, berdasarkan hadits al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu:
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُوْلِ الله ِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُوْنَ عَنْ يَمِيْنِهِ يُقْبِلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ
Jika kami shalat di belakang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kami senang berada di sebelah kanan beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menghadapkan wajahnya kepada kami.[8]
Namun jika berdiri di shaf sebelah kanan menyebabkan seseorang jauh dari imam, maka yang lebih utama adalah ia lebih dekat kepada imam meskipun berada di shaf sebelah kiri. Karena ada dalil-dalil shahih tentang keutamaan berdiri dekat imam.[9]
- Ketika makan dan minum disyariatkan menggunakan tangan kanan, karena keduanya adalah suatu yang mulia, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِيْنِهِ، وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِيْنِهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ
Jika salah seorang dari kalian makan maka hendaklah makan dengan tangan kanannya, dan jika minum maka minumlah dengan tangan kanannya, sesungguhnya syaitan makan dan minum dengan tangan kirinya.[10]
Adapun sebalikannya seperti buang air dan semisalnya maka yang disyariatkan adalah menggunakan tangan kiri. Berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
كَانَتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْيُمْنَى لِطُهُوْرِهِ وَطَعَامِهِ، وَكَانَتِ الْيُسْرَى لِخَلاَئِهِ وَمَا كَانَ مِنْ أَذًى
Tangan kanan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam digunakan untuk bersuci dan makan, sedangkan tangan kiri beliau dipergunakan untuk buang air dan dan segala hal yang kotor.[11]
- Ketika memotong rambut dalam rangkaian ibadah haji atau umrah disunnahkan untuk memulai dari bagian kanan. Karena itu termasuk dalam kategori ibadah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu, bahwasa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Mina dan melempar jumrah, kemudian beliau menuju ke penginapannya di Mina dan menyembelih kurban, kemudian beliau bersabda kepada tukang cukur: “Cukurlah ini”, sambil menunjuk ke kepala sebelah kanan, lalu sebelah kiri, kemudian membagi-bagikan rambutnya kepada para shahabat.[12]
Dan diqiyaskan dalam hal ini ketika seseorang mencabut bulu ketiak, memotong kumis, dan mencukur bulu kemaluan. Maka yang didahulukan adalah bagian kanan daripada bagian kiri.
Wallahu a’lam.[13]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Imam an-Nawawi menyebutkan kaidah ini dalam kitab Riyâdhus Shâlihin pada bab ke-99 dengan mengatakan, “Bab disunnahkan mendahulukan bagian kanan dalam setiap perkara yang berkaitan dengan kemuliaan. (Lihat Bahjatun Nâzhirin Syarh Riyâdhus Shâlihîn, Syaikh Abu Usâmah Salim bin ‘Id al-Hilali, Cet. ke-1, 1430 H, Dar Ibn al-Jauzi, Damam, II/41)
[2] HR. al-Bukhari no. 5926 dan Muslim 268 dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[3] HR. Abu Dawud no. 4141, Ibnu Majah no. 302. Dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud no. 4141.
[4] Taudhîhul Ahkâm min Bulûghil Maram, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Cet. ke-5, 1423 H/2003 M, Maktabah al-Asadiy, Makkah al-Mukarramah, I/232.
[5] HR. al-Hakim dan dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts as-Shahihah no. 2478.
[6] Sebagaimana firman Allâh k dalam QS. Al-Qalam/68:1, dan firman-Nya dalam QS. Ali ‘Imrân/3:48.
[7] HR. al-Bukhari no. 5856 dan Muslim no. 2097 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[8] HR. Muslim no. 709 dari Al Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu
[9] Di antaranya HR. Muslim no. 437 dari Abu Sa’id Al Khudri.
[10] HR. Muslim no. 2020 dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
[11] HR. Abu Dawud no. 33 dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud no. 26.
[12] HR. al-Bukhari no. 171 dan Muslim no. 1305 dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
[13] Diangkat dari Talqîh al-Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ke-58 dengan beberapa penyesuaian.
- Home
- /
- A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
- /
- Kaidah Ke-46 : Didahulukan...