Kewajiban Menyamaratakan Semua Isteri dalam Hal Pemberian Nafkah
BAB III
POLIGAMI
Pasal 9
Kewajiban Menyamaratakan (Secara Adil) Semua Isteri dalam Hal Pemberian Nafkah (Lahir/Materi).
Di dalam kitab al-Fataawaa (XXXII/270), Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun keadilan dalam masalah nafkah dan sandang, maka yang disunnahkan adalah mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau sangat adil dalam memberikan nafkah di antara isteri-isterinya, sebagaimana beliau juga adil dalam membagi giliran. Dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan umat manusia (maksud beliau adalah ulama.-ed) mengenai pembagian ini, apakah yang demikian itu merupakan suatu hal yang wajib baginya ataukah sunnah? Dan mereka berselisih juga soal sikap adil dalam hal pemberian nafkah, apakah yang demikian itu wajib atau sunnah? Dan hukum wajibnya lebih kuat dengan didukung oleh al-Qur-an dan as-Sunnah.”
Syakih Musthafa al-‘Adawi berkata, “Dan yang tampak secara lahiriah -wallahu a’lam- adalah bahwa pendapat yang mewajibkan itu lebih kuat dengan didukung oleh al-Qur-an dan as-Sunnah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Dan pengetahuan mengenai hal itu hanya ada di sisi Allah Azza wa Jalla.”[1]
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa Ummu Sulaim pernah mengutusnya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa sebuah kain yang di atasnya terdapat kurma ruthab (yang belum kering). Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggenggamnya kemudian mengirimkannya kepada beberapa orang isterinya. Dan setelah itu beliau pun mengambil lagi sebagian kurma tersebut dan memberikannya kepada sebagian isterinya yang lain. Kemudian beliau duduk dan memakan sisanya, seperti makannya seseorang yang mengetahui bahwa dia sangat berselera padanya. [HR. Ahmad].[2]
Pasal 10
Sekelumit Tentang Sikap Adil Para Ulama Salaf
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah di dalam kitab al-Mushannaf (IV/387) mengatakan, Abu Dawud ath-Thayalisi mengabarkan kepada kami dari Harun bin Ibrahim, dia berkata, Aku pernah mendengar Muhammad berkata tentang seorang laki-laki yang memiliki dua orang isteri, “Dimakruhkan baginya untuk berwudhu’ di rumah salah seorang dari keduanya dan tidak di rumah yang lainnya.” Ini adalah atsar yang shahih.
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah mengatakan di dalam kitab al-Mushannaf (IV/387), “Jarir memberitahu kami dari Mughirah dari Abu Ma’syar dari Ibrahim mengenai seorang laki-laki yang menghimpun antara dua madunya, lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya dia menyamaratakan di antara mereka semua sehingga tersisa kelebihan tepung dan makanan yang telah ditakar, lalu dia membaginya segenggam demi segenggam, hingga masih juga tersisa tetapi tidak bisa ditakar lagi.’ Atsar ini shahih. Dan Abu Ma’syar adalah Ziyad bin Kulaib, yang dia berstatus tsiqah (dapat dipercaya).
Pasal 11
Mengadakan Undian untuk Menentukan Siapa yang Akan Ikut dalam Suatu Perjalanan
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ وَكَانَ يَقْسِمُ لِكُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا غَيْرَ أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا لِعَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْتَغِي بِذَلِكَ رِضَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata : Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak melakukan suatu perjalanan, maka beliau mengadakan undian di antara isteri-isteri beliau. Siapa di antara mereka yang mendapatkan undian itu maka beliau akan keluar bersamanya. Dan beliau biasa membagi untuk setiap orang dari isteri-isteri beliau hari dan malamnya, hanya saja Saudah binti Zam’ah telah memberikan hari dan malamnya kepada ‘Aisyah, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harapan mendapatkan keridhaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [HR. Al-Bukhari].
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَطَارَتْ الْقُرْعَةُ عَلَى عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ فَخَرَجَتَا مَعَهُ جَمِيعًا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ بِاللَّيْلِ سَارَ مَعَ عَائِشَةَ يَتَحَدَّثُ مَعَهَا فَقَالَتْ حَفْصَةُ لِعَائِشَةَ أَلَا تَرْكَبِينَ اللَّيْلَةَ بَعِيرِي وَأَرْكَبُ بَعِيرَكِ فَتَنْظُرِينَ وَأَنْظُرُ قَالَتْ بَلَى فَرَكِبَتْ عَائِشَةُ عَلَى بَعِيرِ حَفْصَةَ وَرَكِبَتْ حَفْصَةُ عَلَى بَعِيرِ عَائِشَةَ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جَمَلِ عَائِشَةَ وَعَلَيْهِ حَفْصَةُ فَسَلَّمَ ثُمَّ سَارَ مَعَهَا حَتَّى نَزَلُوا فَافْتَقَدَتْهُ عَائِشَةُ فَغَارَتْ فَلَمَّا نَزَلُوا جَعَلَتْ تَجْعَلُ رِجْلَهَا بَيْنَ الْإِذْخِرِ وَتَقُولُ يَا رَبِّ سَلِّطْ عَلَيَّ عَقْرَبًا أَوْ حَيَّةً تَلْدَغُنِي رَسُولُكَ وَلَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقُولَ لَهُ شَيْئًا
Dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa, jika akan melakukan suatu perjalanan, maka beliau mengadakan undian di antara isteri-isterinya. Maka jatuhlah undian itu pada ‘Aisyah dan Hafshah. Dan jika malam hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan bersama ‘Aisyah sambil berbincang-bincang. Maka Hafshah berkata, “Tidakkah malam ini engkau (‘Aisyah) menaiki untaku dan aku akan menaiki untamu dengan sama-sama saling melihat?” Maka dia menjawab, “Ya.” Maka dia pun naik. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi unta ‘Aisyah yang di atasnya terdapat Hafshah, lalu beliau mengucapkan salam kepadanya, kemudian beliau berjalan sampai akhirnya mereka singgah. Dan ‘Aisyah kehilangan beliau. Dan ketika mereka singgah, kedua kaki ‘Aisyah berada di antara tumbuhan Idzkhir dan berkata, “Ya Rabb-ku, kirimkanlah kepadaku kalajengking atau ular yang akan menyengatku, dan aku tidak dapat berkata apa-apa.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Di dalam kitab al-Mughni (VII/40), Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Secara global dapat dikatakan bahwa seorang suami jika hendak melakukan perjalanan, lalu dia ingin membawa isterinya semua atau meninggalkannya, maka dia tidak perlu lagi melakukan undian, karena undian itu hanya diperlukan untuk menentukan pilihan di antara mereka yang akan ikut dalam perjalanan. Dan di sini berarti dia telah memperlakukan sama. Dan jika dia hendak melakukan perjalanan bersama sebagian dari mereka, maka dia tidak boleh melakukan perjalanan dengannya, kecuali setelah melakukan undian. Dan inilah yang menjadi pendapat sebagian besar ulama. Dan dikatakan dari Malik bahwa menurutnya suami tersebut tidak perlu mengadakan undian, tetapi pendapat tersebut tidak shahih, karena ‘Aisyah Radhiyallahu anha telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika akan mengadakan perjalanan, maka beliau selalu mengadakan undian di antara isteri-isterinya. Siapa pun dari isteri-isteri beliau yang mendapatkan undian itu, maka beliau akan pergi bersamanya. [Muttafaq ‘alaih].
Dan karena perjalanan dengan salah seorang isteri tanpa melalui undian akan berarti sebagai pilih kasih sehingga tidak boleh dilakukan tanpa undian, sebagaimana dalam menentukan awal giliran.
Dan jika seorang suami ingin melakukan perjalanan dengan lebih dari satu orang isteri, maka dia juga harus melakukan undian. ‘Aisyah telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana jika beliau akan pergi, maka beliau melakukan undian di antara isteri-isterinya sehingga undian itu jatuh pada ‘Aisyah dan Hafshah. [HR. Al-Bukhari].
Dan kapan pun beliau akan melakukan perjalanan dengan lebih dari satu orang isteri, maka beliau menyamakan di antara mereka, sebagaimana beliau memperlakukan sama saat tidak bepergian.”
[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
______
Footnote
[1] Fiqhu Ta’addudi az-Zaujaat, hal. 111.
[2] Hadits ini terdapat di dalam kitab ash-Shahiih al-Musnad mimmaa Laisa fii ash-Shahiihain (I/52).
- Home
- /
- A9. Wanita dan Keluarga...
- /
- Kewajiban Menyamaratakan Semua Isteri...