Seorang Suami Tidak Boleh Berjima’ dengan Seorang Isteri di Luar Waktu Gilirannya

BAB III
POLIGAMI

Pasal 6
Seorang Suami Tidak Boleh Keluar dari Rumah Salah Seorang Isterinya pada Malam Hari Menuju ke Rumah Isterinya yang Lain, kecuali karena Suatu Keperluan
Imam Muslim rahimahullah berkata, Harun bin Sa’id al-Ailiyyu memberitahuku, ia berkata, ‘Abdullah bin Wahab memberitahu kami, ia berkata, Ibnu Juraij memberitahu kami dari ‘Abdullah bin Katsir bin al-Muthallib bahwasanya dia pernah mendengar Muhammad bin Qais berkata, “Aku pernah mendengar ‘Aisyah menyampaikan hadits seraya berucap, ‘Maukah kalian aku beritahu tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga tentang diriku sendiri?’ ‘Mau,’ jawab kami.”

Imam Muslim berkata dalam riwayatnya yang lain:
Orang yang mendengar Hajjaj, yang buta sebelah matanya -dan lafazh ini miliknya- memberitahuku, dia berkata, Hajjaj bin Muhammad memberitahu kami, ia berkata, Ibnu Juraij memberitahu kami, ia berkata, Hamba Allah -seseorang dari kaum Quraisy- memberitahuku dari Muhammad bin Qais bin Makhramah bin al-Muthallib bahwasanya beliau berkata pada suatu hari, “Maukah kalian aku beritahu tentang diriku dan tentang ibuku?”

Seorang berkata, “Lalu kami mengira bahwa yang beliau maksudkan adalah ibunya yang telah melahirkan beliau.”

Muhammad bin Qais mengatakan, “Lalu ‘Aisyah berkata, ‘Maukah kalian aku beritahu tentang diriku dan tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ ‘Mau,’ jawab kami.”

Muhammad bin Qais berkata, “‘Aisyah berkata, ‘Ketika malam giliranku, dimana Nabi ada bersamaku, pulang kembali. Lalu beliau meletakkan rida’nya (selendangnya) dan melepas kedua sandalnya serta meletakkannya di dekat kakinya, lalu beliau menggelar ujung kainnya di atas tempat tidurnya, kemudian berbaring, dan tidak beberapa lama, kecuali selama beliau mengira bahwa aku telah tidur.

Setelah itu beliau mengambil rida’nya pelan-pelan dan memakai sandalnya secara perlahan pula serta membuka pintu untuk kemudian keluar dan menutupnya secara perlahan pula. Lalu aku meletakkan baju di kepalaku, lalu memakai kerudung dan menutupkan kainku untuk kemudian pergi mengikuti jejak beliau.

Kemudian beliau mendatangi al-Baqi’ dan berdiri di sana cukup lama. Selanjutnya, beliau mengangkat kedua tangannya tiga kali, lalu beliau berbalik dan aku pun berbalik. Selanjutnya, beliau berjalan cepat yang aku susul dengan cepat pula. Beliau lari kecil, maka aku pun berlari kecil pula, beliau tiba maka aku pun tiba. Kemudian aku mendahului beliau dan tidak ada yang aku lakukan, kecuali berbaring.

Lalu beliau masuk seraya bertanya, ‘Apa yang terjadi padamu, wahai ‘Aisyah, terlihat bimbang dan ragu?’
‘Aisyah berkata, ‘Lalu aku katakan, ‘Tidak ada apa-apa.’
Beliau berkata, ‘Engkau harus beritahu aku atau Rabb Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui Yang akan memberitahuku.’
‘Aisyah berkata, ‘Lalu aku katakan, ‘Wahai Rasulullah, demi ayahku, dirimu, dan ibuku.’
Kemudian ‘Aisyah memberitahu beliau. Maka beliau bertanya, ‘Apakah engkau bayangan hitam yang kulihat di hadapanku?’
‘Ya,’ jawabku.

Maka beliau menepuk dadaku sekali tepukan yang terasa sakit. Kemudian beliau bersabda, ‘Apakah engkau mengira Allah dan Rasul-Nya akan menzhalimi dirimu?’[1]

Baca Juga  Tahnik, Memberi Nama dan Aqiqah

‘Aisyah menjawab, ‘Bagaimana umat manusia menyembunyikan, pasti akan diketahui oleh Allah Azza wa Jalla.’

Beliau bersabda, ‘Benar.’

Lebih lanjut, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Jibril mendatangiku ketika aku melihat, lalu Jibril memanggilku, maka aku menyembunyikannya darimu. Lalu aku menjawabnya dengan menyembunyikannya darimu. Dan dia tidak masuk menemuimu, karena engkau telah melepas bajumu. Sementara aku mengira engkau sudah tidur, sehingga aku tidak ingin membangunkanmu dan khawatir akan membuatmu tidak berkenan. Lalu Jibril berkta, ‘Sesungguhnya Rabb-mu telah menyuruhmu untuk mendatangi penghuni kuburan Baqi’ dan memohonkan ampunan bagi mereka.’

‘Aisyah berkata, kutanyakan, “Lalu bagaimana aku katakan kepada mereka, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Ucapkanlah:

اَلسَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ.

Semoga keselamatan terlimpahkan kepada penghuni kuburan ini dari kalangan orang-orang mukmin dan kaum muslimin. Dan semoga Allah mengasihi orang-orang yang terdahulu di antara kita maupun yang akan datang kelak. Dan sesungguhnya kami insya Allah akan berjumpa dengan kalian.’”

Ibnu Qudamah rahimahullah di dalam kitab al-Mughni (VIII/146) mengatakan, “Adapun mendatangi madunya ketika waktu bermalamnya pada isteri yang mendapat giliran, jika mendatanginya pada malam hari, maka tidak diperbolehkan, kecuali keadaan darurat, misalnya, mampir sejenak di tempatnya dengan maksud untuk menjenguknya atau memberi pesan kepadanya atau untuk suatu urusan yang harus disampaikan. Jika dia melakukan hal tersebut, lalu dia keluar, maka dia tidak perlu mengganti. Dan jika dia menetap dan wanita itu telah sembuh dari sakitnya, maka dia harus mengganti bagi isteri yang lain sesuai dengan malam-malam dimana dia menginap.”

Pasal 7
Seorang Suami Tidak Boleh Berjima’ dengan Seorang Isteri di Luar Waktu Gilirannya, kecuali dengan Seizin Isteri yang Mendapat Giliran
Dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dia berkata, ‘Aisyah berkata, “Wahai keponakanku, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan sebagian kami atas sebagian lainnya dalam pembagian menginap di rumah kami. Dan sering sekali beliau mengelilingi kami semua, lalu beliau mendekati setiap isteri tanpa sentuhan, sehingga sampai pada isteri yang memang mendapat giliran, lalu beliau menginap di rumahnya. Dan Saudah binti Zam’ah berkata ketika sudah tua dan merasa akan ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Hari giliranku untuk ‘Aisyah.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hal tersebut darinya.” ‘Aisyah berkata, “Kami katakan, ‘Berkenaan dengan hal tersebut Allah Ta’ala menurunkan ayat, Dia berfirman:-

وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۗوَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗوَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[2] [HR. Abu Dawud dengan sanad hasan].[3]

Baca Juga  Nafkah dan Tempat Tinggal bagi Wanita yang Ditalak Raj'i

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Seorang suami dibolehkan mendatangi semua isterinya dalam sehari yang menjadi giliran salah seorang dari mereka, tetapi dia tidak boleh mencampuri isteri yang tidak mendapatkan giliran.”[4]

Pembahasan Firman Allah Azza wa Jalla:

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian terlalu cenderung (kepada yang kalian cintai), sehingga kalian biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kalian mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [An-Nisaa’/4: 129]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Artinya, wahai manusia kalian tidak akan sanggup bersikap sama di antara isteri-isteri kalian dari berbagai segi, karena sekalipun pembagian malam demi malam dapat terjadi, akan tetapi tetap saja ada tingkatan dalam rasa cinta dan keinginan jima’.”

Dan mengenai firman Allah Ta’ala: (فَلاَ تَمِيْلُ كُلَّ الْمَيْل )Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung (kepada yang kalian cintai),” Ibnu Katsir mengatakan, “Jika kalian cenderung kepada salah satu di antara mereka, maka janganlah berlebih-lebihan dalam kecenderungan kepada sebagian secara keseluruhannya. (فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ) ‘Sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung,’ yaitu membiarkan sebagian dalam kehidupan yang tergantung tidak menentu. Dan dinukil perkataan dari sebagian ulama sesungguhnya maknanya adalah wanita yang seakan-akan tidak memiliki suami dan tidak pula wanita yang diceraikan.

Dan firman-Nya:
(وَإِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا )Jika kalian mengadakan perbaikan dan memelihara diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,’ yaitu jika kalian berdamai dalam perkara-perkara kalian dan kalian gilir dengan adil sesuai kemampuan kalian serta kalian bertakwa kepada Allah dalam seluruh kondisi, niscaya Allah akan mengampuni kalian terhadap kecenderungan kalian kepada sebagian isteri-isteri kalian.”[5]

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
______
Footnote
[1]  Syaikh Musthafa al-‘Adawi mengatakan, “Ucapan Rasulullah, ‘Apakah engkau mengira Allah dan Rasul-Nya akan menzhalimi dirimu?’ menunjukkan bahwa keluarnya seorang  suami dari rumah salah seorang isterinya ke rumah isterinya yang lain termasuk perbuatan zhalim.” Fiqh Ta’addud az-Zaujaat, hal. 65
[2]  QS. An-Nisaa’/4: 128.
[3]  Hadits ini terdapat di dalam kitab ash-Shahiih al-Musnad mimmaa Laisa fish-Shahiihain (II/493).
[4]  Zaadul Ma’aad (V/152).
[5] Tafsiir Ibnu Katsir (I/563).

  1. Home
  2. /
  3. A9. Wanita dan Keluarga...
  4. /
  5. Seorang Suami Tidak Boleh...