Sifat-sifat Ibadah yang Benar

SIFAT-SIFAT IBADAH YANG BENAR

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Kemuliaan seorang hamba adalah dengan beribadah kepada Allȃh Azza wa Jalla semata, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun juga. Semakin seorang hamba menambah ketundukan dan peribadahan kepada Penciptanya, maka semakin bertambah pula kesempurnaannya dan derajatnya.

Kemudian bahwa hamba tidak mungkin mengetahui cara beribadah kepada Allȃh Azza wa Jalla dengan benar hanya dengan akal dan perasaannya. Oleh karena itu Allȃh Azza wa Jalla mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk memberikan petunjuk-Nya.

Allȃh Azza wa Jalla berfirman:

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ

Maka jika datang kepada kamu (manusia) petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. [Thaha/20:123]

Ibadah yang benar kepada Allȃh Azza wa Jalla harus dilakukan dengan dasar kecintaan, berharap rahmat dan pahala Allȃh Azza wa Jalla, takut siksa-Nya dan disertai ketundukan dan pengagungan kepada Allȃh Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika Allȃh Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi Zakaria sekeluarga, Dia berfirman:

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

Sesungguhnya mereka (Nabi Zakaria sekeluarga) adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. [Al-Anbiya’/21: 90]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Di antara Salaf mengatakan: Barangsiapa beribadah kepada Allȃh Azza wa Jalla hanya dengan kecintaan, maka dia seorang Zindiq (munafik).  Barangsiapa beribadah kepada Allȃh hanya dengan harapan, maka dia Murji’ah[1]. Barangsiapa beribadah kepada Allȃh hanya dengan rasa takut, maka dia seorang Haruri[2]. Dan barangsiapa beribadah kepada Allȃh dengan kecintaan, rasa takut, dan harapan, maka dia seorang yang beriman, bertauhid.”[3]

Kecintaan dan Ketundukan
Mencintai Allȃh Azza wa Jalla adalah pondasi ibadah yang paling utama. Oleh karena itu seorang hamba wajib mencintai Allȃh Azza wa Jalla, dan mencintai semua jenis ketaatan. Sehingga ketika dia beribadah dengan suatu jenis ketaatan, maka dia mencintai ketaatan tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ibadah menggabungkan kesempurnaan/puncak kecintaan dan kesempurnaan ketundukan. Orang yang beribadah adalah orang yang mencintai dan tunduk. Berbeda dengan orang yang mencintai orang yang dia tidak tunduk kepadanya, tetapi dia mencintainya karena menjadikannya perantara kepada perkara lain yang dia cintai. Dan berbeda dengan orang yang tunduk kepada orang yang dia tidak mencintainya, seperti seseorang tunduk kepada orang zhalim. Maka keduanya ini bukanlah ibadah yang murni”.[4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Ibadah, asal maknanya adalah kerendahan/ketundukan juga (seperti makna diin). Tetapi ibadah yang diperintahkan (oleh Allȃh Azza wa Jalla) mengandung makna kerendahan/ketundukan dan makna kecintaan. Sehingga ibadah yang diperintahkan (oleh Allȃh Azza wa Jalla) itu mengandung sifat puncak kerendahan/ketundukan kepada Allȃh Subhanahu wa Ta’ala disertai puncak kecintaan kepada-Nya.

Barangsiapa tunduk kepada seorang manusia disertai kebenciannya kepadanya, maka tidaklah dia menjadi orang yang beribadah kepadanya. Dan seandainya seseorang mencintai sesuatu dan dia tidak tunduk kepadanya, tidaklah dia menjadi orang yang beribadah kepadanya. Sebagaimana seseorang mencintai anaknya, dan kawannya.

Oleh karena inilah, di dalam beribadah kepada Allȃh Azza wa Jalla tidak cukup dengan salah satu dari kedua sifat itu saja, tetapi seorang hamba wajib menjadikan Allȃh Azza wa Jalla sebagai yang paling dicintai daripada segala sesuatu, dan menjadikan Allȃh Azza wa Jalla yang paling diagungkan daripada segala sesuatu. Bahkan tidak ada yang berhak mendapatkan kecintaan dan ketundukan yang sempurna kecuali Allȃh Azza wa Jalla. Maka apa saja yang dicintai bukan karena Allȃh Azza wa Jalla, kecintaannya itu adalah rusak, dan apa saja yang diagungkan bukan dengan perintah Allȃh Azza wa Jalla, pengagungannya itu batil.”[5]

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata di dalam sya’irnya menjelaskan tonggak ibadah, sebagai berikut: “Dan ibadah kepada (Allȃh Azza wa Jalla) Yang Maha Pemurah adalah puncak kecintaan kepada-Nya bersama kepatuhan dari orang yang beribadah kepada-Nya. Itulah dua kutub yang orbit ibadah beredar pada keduanya. Orbit itu tidak akan beredar sampai kedua kutubnya tegak. Dan beredarnya dengan perintah, yaitu perintah Rasul-Nya. Tidak dengan (perintah) hawa-nafsu, kemauan diri sendiri, dan syaithan”[6].

Demikian juga seorang hamba wajib membenci kemaksiatan-kemaksiatan yang juga dibenci oleh Allȃh Azza wa Jalla. Termasuk membenci orang-orang yang dibenci oleh Allȃh Azza wa Jalla, dari kalangan orang-orang kafir dan musyrik.

Baca Juga  Merealisasikan Makna Ibadah

Seorang hamba juga mencintai orang-orang yang dicintai oleh Allȃh Azza wa Jalla, yaitu orang-orang yang beriman. Yang pertama-tama adalah para Rasul. Termasuk mencintai Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kecintaannya daripada kepada anak, orang tua, dan seluruh manusia.

Keutamaan Khauf (Takut Kepada Alla Azza wa Jalla)
Allȃh Azza wa Jalla telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk takut kepada-Nya, dan Dia menjadikannya sebagai syarat keimanan. Allȃh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman. [Ali ‘Imrȃn/3: 175]

Dan Allȃh Azza wa Jalla memuji hamba-hamba-Nya yang takut kepada-Nya dengan firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ ﴿٥٧﴾ وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ ﴿٥٨﴾ وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ ﴿٥٩﴾ وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ ﴿٦٠﴾ أُولَٰئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut kepada (azab) Tuhan mereka,  dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Tuhan mereka,  dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun),  dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka,  mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. [Al-Mukminȗn/23: 57-61]

Dan Allȃh Azza wa Jalla telah menjelaskan balasan yang telah Dia siapkan di akhirat bagi hamba-hamba-Nya yang takut kepada-Nya, Dia berfirman:

وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ

Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga. [Ar-Rahmȃn/55: 46]

Demikian juga takut kepada Allȃh Azza wa Jalla dengan sebenar-benarnya merupakan salah satu sebab meraih keamanan di akhirat. Sebagaimana diriwayatkan di dalam hadits qudsi dari Syaddȃd bin Aus Radhiyallahu anhu bahwa Rasȗlullȃh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : وَعِزَّتِي وَجَلاَلِي لاَ أَجْمَعُ لِعَبْدِي أَمْنَيْنِ وَلاَ خَوْفَيْنِ إِنْ هُوَ أَمِنَنِي فِي الدُّنْيَا أَخَفْتُهُ يَوْمَ أَجْمَعُ فيه عِبَادِي وَإِنْ هُوَ خَافَنِي فِي الدُّنْيَا أَمَّنْتُهُ يَوْمَ أَجْمَعُ فيه عِبَادِي

Allȃh Subhanahu wa Ta’ala Dia berfirman: “Demi kemuliaan-Ku dan kebesaran-Ku, Aku tidak akan mengumpulkan dua keamanan dan dua ketakutan untuk hamba-Ku. Jika hamba-Ku merasa aman kepada-Ku di dunia, Aku pasti menjadikannya takut pada hari (kiamat) yang Aku akan mengumpulkan hamba-hamba-Ku.Sebaliknya jika dia merasa takut kepadaKu di dunia, Aku pasti menjadikannya aman pada hari (kiamat) yang Aku akan mengumpulkan hamba-hambaKu. [HR. Abu Nu’aim di dalam Al-Hilyah dengan sanad yang lemah, namun dikuatkan dengan jalur-jalur yang lain sehingga dihasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 742]

Oleh karena itu setiap hamba wajib beribadah kepada Allȃh Azza wa Jalla disertai dengan rasa takut kepada hukuman dan siksaan-Nya.

Barangsiapa Takut, Dia Bersegera
Rasa takut yang terpuji adalah yang dapat menghalangi dari hal-hal yang diharamkan Allȃh Azza wa Jalla. Sehingga orang yang benar-benar takut kepada Allȃh Azza wa Jalla akan bergegas meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan yang akan mengakibatkan siksaan dan bencana. Nabi n menjelaskan hal ini di dalam sabda beliau:

مَنْ خَافَ أَدْلَجَ وَمَنْ أَدْلَجَ بَلَغَ الْمَنْزِلَ أَلَا إِنَّ سِلْعَةَ اللَّهِ غَالِيَةٌ أَلَا إِنَّ سِلْعَةَ اللَّهِ الْجَنَّةُ

Barangsiapa takut, dia pasti pergi sebelum subuh (yakni bersegera pergi sebelum kedatangan musuh yang ditakuti-pen), dan barangsiapa pergi sebelum subuh, dia pasti sampai tempat (yang aman). Ketahuilah! Sesungguhnya barang dagangan Allȃh itu mahal. Ketahuilah! Sesungguhnya barang dagangan Allȃh itu adalah surga. [HR. Tirmidzi, no. 2450 dari Abu Hurairah; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]

Radja’, Berharap Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Radja` secara bahasa artinya berharap. Maksudnya yaitu: mengharapkan pahala Allȃh Azza wa Jalla , ampunan-Nya, dan rahmat-Nya.[7]

Radja’ (berharap) kepada rahmat Allȃh Azza wa Jalla harus disertai dengan amalan. Sebagaimana firman-Nya:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya. [Al-Kahfi/18: 110]

Baca Juga  Ibadah, Dirahasiakan Atau Ditampakkan?

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Orang-orang yang ‘arif (mengenal Allȃh dengan baik) telah sepakat bahwa radja’ tidak sah kecuali disertai dengan amalan”.

Kemudian beliau berkata:
Radja’ ada tiga jenis: dua jenis terpuji, dan satu jenis tercela.

Pertama: Berharapnya seseorang yang telah melakukan ketaatan kepada Allȃh Azza wa Jalla, di atas cahaya dari Allȃh Azza wa Jalla. Maka orang ini adalah orang yang mengharapkan pahala-Nya. (Ini adalah radja’ yang terpuji).

Kedua: Seseorang yang telah berbuat dosa-dosa, lalu dia bertaubat darinya. Maka orang ini adalah orang yang mengharapkan pahala-Nya. (Ini adalah radja’ yang terpuji). Mengharapkan ampunan Allȃh Azza wa Jalla, ampunan-Nya, kebaikan-Nya, kemurahan-Nya, kesabaran-Nya, dan kedermawan-Nya. (Ini juga radja’ yang terpuji)

Ketiga: Seseorang yang terus-menerus dalam melalaikan (kewajiban-kewajiban) terus-menerus di dalam dosa-dosa. Dia mengharapkan rahmat Allȃh tanpa disertai amalan. Ini adalah terpedaya, angan-angan kosong, dan radja` yang dusta. (Ini radja’ yang tercela)”.[8]

Maka seorang muslim wajib beribadah kepada Allȃh Azza wa Jalla dengan mengharapkan pahala-Nya, dan wajib bertaubat kepada Allȃh Azza wa Jalla ketika berbuat maksiat, dengan mengharapkan ampunan-Nya. Allȃh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allȃh) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allȃh amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. [Al-A’rȃf/7: 56]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allȃh memerintahkan beribadah kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, memohon dan merendahkan diri kepada-Nya, dengan berfirman, “berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan”, yaitu takut kepada pedihnya siksaan di sisi-Nya dan harapan kepada pahala yang banyak yang ada di sisi-Nya”.[9]

Kesimpulannya bahwa seorang muslim wajib beribadah kepada Allȃh Azza wa Jalla dengan kecintaan kepada-Nya, takut kepada siksa-Nya, dan mengharapkan pahala-Nya.

Tidak boleh rasa takut berlebihan sehingga berputus asa dari rahmat dan ampunan Allȃh Azza wa Jalla. Demikian juga radja’ tidak boleh berlebihan sehingga bergantung kepada rahmat dan ampunan Allȃh Azza wa Jalla dengan tidak meninggalkan maksiat yang sedang dilakukan. Namun ketika dalam keadaan sehat, hendaklah rasa takut lebih dominan, sehingga mendorongnya untuk melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Sedangkan ketika dalam keadaan sakit, hendaklah rasa radja’ kepada ampunan Allȃh Azza wa Jalla lebih dominan, sehingga ketika ajal menjemputnya, dia dalam keadaan husnu zhan (berprasangka baik) kepada Allȃh Azza wa Jalla, dan bergembira dengan pertemuannya kepada Allȃh Azza wa Jalla.

Ya Allȃh Azza wa Jalla, limpahkan kepada kami kecintaan kepada-Mu yang mendorong kami untuk melaksanakan peribadahan, radja’ kepada pahala-Mu yang menyemangati kami menjalankan ketaatan, takut kepada siksa-Mu yang akan menjauhkan dari kemaksiatan. Dan anugerahkan kepada kami, rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar Doa lagi Berkuasa Mengabulkannya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Firqah yang beranggapan bahwa amal tidak termasuk hakekat iman. Mereka juga beranggapan bahwa dengan adanya iman maka maksiat tidak membahayakan
[2] Yakni orang yang berfaham Khawârij. Mereka sangat takut kepada Allȃh Azza wa Jalla , sehingga rasa takut mereka itu melewati batas sampai mengkafirkan orang Islam yang melakukan dosa besar. Adapun Haruri adalah nisbat kepada Harura’, kampung di luar kota Kufah yang mereka berkumpul di sana sebelum memberontak kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu.
[3] Al-‘Ubûdiyah, hlm. 78-79, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, tahqiq dan ta’liq: Khalid Abdul Lathif Al-‘Alami, Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi
[4] Kitab Qȃidah fil Mahabbah, dalam Jȃmi’ur Rosȃil, juz 2, hlm; 284
[5] Al-‘Ubûdiyah, hlm. 23-24, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, tahqiq dan ta’liq: Khalid Abdul Lathif Al-‘Alami, Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi
[6] Fathul Majid, hlm. 28, karya: Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, penerbit: Dar Ibni Hazm
[7] Lihat Mukhtashar Minhȃjil Qȃshidin, hlm. 376; Majmû’ Fatâwâ, 15/21
[8] Madârijus Sâlikin, 2/37
[9] Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-A’rȃf ayat ke-56

  1. Home
  2. /
  3. A4. Makna dan Hakikat...
  4. /
  5. Sifat-sifat Ibadah yang Benar