Kaidah Ke-59 : Keutamaan Niat
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kelima Puluh Sembilan
نِيَّةُ الْمَرْءِ أَبْلَغُ مِنْ عَمَلِهِ
Niat lebih utama daripada amalan
MAKNA KAIDAH
Kaidah ini menjelaskan keberkahan dan nilai pahala yang besar dalam niat. Karena niat semata sudah termasuk kategori ibadah yang diberi pahala oleh Allâh Azza wa Jalla .
Di antara yang menyebabkan timbangan amal kebaikan seseorang bertambah dan derajatnya naik di akhirat adalah niat yang shalih. Barangsiapa berniat baik maka ia akan mendapatkan pahala meskipun dia belum mampu merealisasikannya dengan amalan. Apabila niat baik itu disertai dengan amalan maka ia meraih dua pahala, yaitu pahala niat dan pahala amalan.
Oleh karena itu, niat lebih mendalam dan lebih utama daripada amalan. Apabila kedua terpadu, maka itu cahaya di atas cahaya. Imam Ibnul Qayyim t berkata, “Adapun niat maka ia adalah pokok dan tiang seluruh perkara. Niat juga adalah asas dan pondasi yang terbangun di atasnya segala perkara. Sesungguhnya niat adalah ruh amalan, pemimpin dan pengendalinya, sedangkan amalan sekedar mengikuti. Amalan menjadi sah sesuai keabsahan niat dan menjadi rusak dengan rusaknya niat. Dengan niat tersebut akan didapatkan taufiq, adapun ketiadaan niat akan mendatangkan kehinaaan. Dengan niat pula bertingkat-tingklatlah derajat manusia di dunia dan akhirat.”[1]
DALIL YANG MENDASARINYA
Banyak dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini. Di antaranya, hadits Jâbir bin Abdullah Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Kami pernah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu peperangan, kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بِالْمَدِيْنَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيْراً ، وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِياً ، إِلاَّ كَانُوْا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ. وَفِي رِوَايَةٍ : إِلاَّ شَرَكُوْكُمْ فِي اْلأَجْرِ.
Sesungguhnya di Madinah ada beberapa laki-laki yang mana tidaklah kalian menempuh perjalanan, tidak pula melewati lembah melainkan mereka bersama kalian, sakit telah menghalangi mereka.
Dalam riwayat yang lain “Melainkan mereka berserikat dengan kalian dalam pahala”[2]
Juga hadits Abu Kabsyah al Anmâri Radhiyallahu anhu yang pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَعِلْمًا، فَهُوَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ. وَعَبْدٍ رَزَقهُ اللهُ عِلْمًا، وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ، يَقُولُ: لَوْ أنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ، فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ. وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا، وَلَمَ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيرِ عِلْمٍ، لاَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ، وَلاَ يَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ، وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهَذَا بأَخْبَثِ المَنَازِلِ. وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلاَ عِلْمًا، فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بعَمَلِ فُلاَنٍ، فَهُوَ بنِيَّتِهِ، فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang : (pertama) Seorang hamba yang Allâh l berikan rezeki berupa harta dan ilmu, kemudian dia bertakwa kepada Rabbnya pada rezeki itu. Dia berbuat baik kepada kerabatnya, dan ia mengetahui hak Allâh padanya. Hamba ini berada pada kedudukan terbaik. (Kedua) Seorang hamba yang Allâh beri ilmu namun tidak diberi harta. Orang ini memiliki niat yang baik, dan mengatakan, “Seandainya aku memiliki harta, aku akan berbuat seperti perbuatan si Fulan”. Dengan niatnya yang baik itu maka pahala keduanya sama. (ketiga) Seorang hamba yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala beri harta namun tidak diberi ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya tanpa ilmu. Dia tidak bertakwa kepada Rabbnya dalam masalah harta itu, tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan tidak mengetahui hak Allâh pada harta itu. Hamba ini berada pada kedudukan yang terburuk. (Keempat) Dan seorang hamba yang Allâh tidak memberinya harta maupun ilmu, kemudian dia mengatakan, “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si Fulan (orang ketiga)”. Maka dengan niatnya itu maka keduanya mendapatkan dosa yang sama.”[3]
Sisi pendalilan dari hadits ini, yaitu berkaitan dengan orang kedua yang diberi ilmu namun tidak diberi harta. Ia mendapatkan pahala sebagaimana orang pertama, karena ia memiliki niat jujur dan tekad kuat untuk melakukan amalan orang pertama, apabila ia diberi harta. Ini menunjukkan bahwa niat itu lebih penting daripada sekedar amalan.
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Di antara contoh penerapan kaidah yang mulia ini adalah sebagai berikut :
- Seseorang yang ingin memberikan zakat kepada orang fakir, dan ia telah berusaha untuk mencarinya. Kemudian ia mendapatkan seseorang yang menurut perkiraan kuatnya dia adalah orang fakir, lalu ia memberikan zakat kepadanya. Ternyata orang tersebut adalah orang kaya maka menurut pendapat yang shahih adalah bahwa kewajiban zakatnya telah gugur, karena perkiran kuat itu telah cukup dalam mengerjakan amalan. Bahkan ia mendapatkan pahala semisal orang yang menyerahkan zakat kepada yang berhak menerimanya meskipun realitanya ia memberikan kepada orang kaya. Hal tersebut dikarenakan niatnya yang shalih. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Muslim no. 1022 tentang kisah seorang pembayar zakat.
- Seorang wanita yang di malam hari berniat untuk melaksanakan puasa Arafah atau puasa Asyûra’ esok harinya, ternyata kemudian terhalangi karena haid, maka insya Allâh dicatat baginya pahala melaksanakan puasa tersebut.
- Seseorang yang berniat untuk melaksanakan shalat malam dan telah mempersiapkan segala yang bisa membantunya bangun malam, namun ternyata ia tidak terbangun, maka dengan niat yang shalih tersebut insya Allâh ia dicatat melaksanakan shalat malam.
- Seseorang yang berniat untuk mengeluarkan zakat dan telah mempersiapkan hal-hal yang berkaitan untuk bisa melaksanakannya akan tetapi kemudian harta yang akan dizakati itu terbakar, bukan karena keteledorannya, maka sesungguhnya telah gugur kewajiban zakat darinya. Bahkan diharapkan ia mendapat pahala mengeluarkan zakat karena ia telah berniat dan bertekat untuk menunaikannnnya, hanya saja muncul perkara yang mengahalangi, sehingga tidak bisa mewujudkan niatnya itu. Sedangkan niat lebih utama dari sekedar amalan.
Demikian sebagian contoh penerapan kaidah yang mulia ini, sekaligus menggambarkan betapa pentingnya niat dan betapa besar pahala yang bisa didapatkan dengan niat yang baik. Maka sudah seharusnya bagi kita untuk senantiasa memperhatikan perkara niat dan hendaklah kita berusaha meniatkan kebaikan di setiap ucapan dan perbiuatan yang kita lakukan.[4]
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVIII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] I’lâm al-Muwaqqi’in, 6/105.
[2] HR al-Bukhâri no. 4423 dan Muslim no. 1911.
[3] HR. at-Tirmidzi no. 2325 dan Ibnu Majah no. 4228. Dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Mâjah no. 3406.
[4] Diangkat dari Risâlah fi Tahqîq Qawâ’id an-Niyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Keenam.
- Home
- /
- A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
- /
- Kaidah Ke-59 : ...