Kaidah Ke-62 : Beramal Dengan Dugaan Kuat Dalam Ibadah Telah Mencukupi
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ke Enam Puluh Dua
الْعَمَلُ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ فِي الْعِبَادَاتِ كَافٍ فِي التَّعَبُّدِ
Beramal dengan dugaan kuat dalam ibadah telah mencukupi
MUQADDIMAH
Substansi kaidah ini merupakan bentuk kasih sayang Allâh Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya, sekaligus termasuk kemudahan yang diberikan kepada ummat ini. Karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala menghendaki kemudahan dan keringan, bukan kesulitan dan kesempitan bagi kita. Allâh Azza wa Jalla telah mengugurkan kesulitan dan beban berat yang dahulu dipikul oleh umat-umat sebelum kita. Maka sesungguhnya syariat ini adalah syariat yang lurus, lapang dan mudah. Bentuk-bentuk keringanan dan kemudahan dalam syariat ini sangat banyak. Di antaranya adalah apa yang terkandung dalam kaidah ini.
Sebelum masuk pada pembahasan lebih jauh, perlu kita fahami bahwa jenis-jenis pengetahuan itu bertingkat-tingkat. Yang paling tinggi dan paing mulia adalah tingkatan keyakinan, yaitu mengetahui sesuatu secara pasti. Tingkat ini merupakan syarat dalam permasalahan aqidah, seperti pengetahuan tentang adanya Allâh Azza wa Jalla , beriman kepada rubûbiyah dan ulûhiyah-Nya, Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, beriman kepada para malaikat, kitab-kitab suci, para rasul, hari akhir, taqdir, serta seluruh permasalahan aqidah yang yang disepakati oleh Ahlussunnah wal Jamâ’ah. Dalam perkara-perkara tersebut dituntut keyakinan yang sempurna tanpa tercampuri ragu. Sehingga tidak diperbolehkan ragu, bimbang dalam permasalahan aqidah, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu. [Al Hujurât/49:15]
Adapun dalam permasalahan fiqih maka di antaranya ada yang diketahui secara yakin, dan ada pula yang cukup dengan ghalabtu az-zhan (dugaan kuat). Sehingga dalam permasalahan ibadah, apabila seseorang telah memiliki dugaan kuat terhadap sesuatu maka cukuplah ia beramal dengannya. Karena dalam permasalahan ibadah tidak disyaratkan ilmu yakin dalam setiap kondisi. Banyak permasalahan fiqih yang dibangun di atas dugaan, sehingga banyak terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu. Akan tetapi itu, bukan dugaan atau persangkaan yang dibangun di atas hawa nafsu yang tercela. Dugaan dan persangkaan yang maksud adalah yang dibangun dengan melihat kepada dalil dan mencermati perkataan para ahli ilmu dan meneliti hujah-hujjah mereka.
MAKNA KAIDAH
Sebagaimana telah disebutkan dalam penjelasan di atas bahwa kaidah ini membahas tentang permasalahan ibadah, di mana seseorang cukup dalam mengerjakannya bersandarkan pada dugaan kuat. Karena pemasalahan ibadah berkaitan dengan hak Allâh Azza wa Jalla sehingga ada sisi keringanan di dalamnya. Berbeda dengan permasalahan muamalat yang berkaitan dengan hak sesama manusia, maka yang menjadi ukuran adalah realitas yang ada, tidak sekedar perkiraan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin t dalam Manzhûmah Ushûlil Fiqhi wa Qawâ’idihi :
وَالظَّـــنُّ فِــيْ الْعِـبَــادَةِ الْـمُـعْـتَــبَرُ
وَنَـفْـسَ اْلأَمْــرِ فِــيْ الْعُـقُـوْدِ اعْـتَـبَــرُوْا
Dugaan di dalam ibadah itu sesuatu yang dianggap
Dan realitas perkara itulah yang dianggap dalam akad-akad [1]
DALIL YANG MENDASARINYA
Banyak dalil yang menunjukkan kaidah ini. Di antaranya adalah hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang diriwayatkan al-Bukhâri dan Muslim tentang tata cara mandi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata:
حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Sehingga ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menduga bahwa air sudah membasahi kulit kepalanya maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiram kepalanya tiga kali [2]
Syaikh Khâlid bin ’Ali al-Musyaiqih mengatakan, “Hadits ini menjelaskan bahwa pelaksanan ibadah itu cukup dengan dugaan, sehingga apabila pakaian seseorang terkena najis maka kita katakana, ‘Pakaian itu cukup dicuci sampai muncul dugaan bahwa najisnya hilang’. Demikian pula jika seseorang dalam kondisi yang mewajibkan mandi, seperti janabah, haid, nifas, dan semisalnya, maka yang wajib baginya adalah menyiramkan air ke seluruh badannya sampai muncul dugaan bahwa seluruh badannya telah basah terkena air, jika ia telah menduga bahwa air telah sampai ke seluruh badannya maka itu sudah cukup.” [3]
Demikian pula, di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah hadits Asmâ’ binti Abi Bakr Radhiyallahu anhuma, ia berkata :
أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ غَيْمٍ ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ
Kami pernah berbuka puasa di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendung, kemudian tiba-tiba matahari muncul. [4]
Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa sebagian Shahabat berbuka puasa dengan dugaan kuat bahwa matahari telah terbenam. Setelah itu nampak bahwa ternyata matahari belum terbenam. Hal ini menunjukkan bolehnya beramal dengan dugaan kuat. Jika tidak diperbolehkan, tentu Rasûlullâh n memerintahkan mereka untuk mengqadha’ puasa.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan mereka mengqadha’ puasa. Seandainya mengqada’ dalam kondisi itu wajib tentulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya. Dan seandainya Beliau memerintahkan tentulah sudah dinukil untuk kita, karena jika Beliau n memerintahkan pastilah itu termasuk bagian syariat, sedangkan syariat Allâh Azza wa Jalla senantiasa terjaga.” [5]
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Berikut ini beberapa contoh kasus sebagai penjelasan aplikatif dari kaidah yang mulia ini :
- Apabila seseorang mencuci baju yang terkena najis sampai muncul dugaan kuat bahwa najis itu telah hilang, maka baju tersebut dihukumi suci, meskipun tanpa sepengetahuannya masih tersisa najis di baju tersebut.
- Seseorang yang melaksanakan sholat Zhuhur, ketika sudah sampai di tasyahhud akhir ia merasa ragu apakah ia telah shalat tiga rakaat ataukah empat rakaat, dan ia punya dugaan kuat bahwa shalatnya telah sempurna empat rakaat. Maka dalam hal ini yang ia lakukan adalah mengikuti dugaan kuatnya dan menganggap shalatnya sempurna empat rakaat, kemudian mengerjakan dua kali sujud sahwi setelah salam. Seandainya secara realitas shalatnya baru tiga rakaat, maka shalatnya tetap sah.
- Seseorang yang menyerahkan zakatnya kepada orang yang menurut dugaan kuatnya termasuk berhak menerima zakat, kemudian diketahui bahwa orang itu bukanlah orang yang berhak menerima zakat maka zakatnya sah dan telah gugur kewajibannya, karena ia telah melakukan pembayaran zakat itu sesuai dugaan kuatnya.
Hal ini sebagaimna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kisah seorang pembayar zakat :
قاَلَ رَجُلٌ لَأَتَصَدَّقَنَّ اللَّيْلَةَ بِصَدَقَةٍ، فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ زَانِيَةٍ فَأَصْبَحُوْا يَتَحَدَّثُوْنَ تُصُدِّقَ اللَّيْلَةَ عَلَى زَانِيَةٍ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى زَانِيَةٍ، لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ غَنِيٍّ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُوْنَ تُصُدِّقَ عَلَى غَنِيٍّ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى غَنِيٍّ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ سَارِقٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُوْنَ تُصُدِّقَ عَلَى سَارِقٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى زَانِيَةٍ وَعَلَى غَنِيٍّ وَعَلَى سَارِقٍ فَأُتِيَ فَقِيْلَ لَهُ : أَمَّا صَدَقَتُكَ فَقَدْ قُبِلَتْ أَمَّا الزَّانِيَةُ فَلَعَلَّهَا تَسْتَعِفُّ بِهَا عَنْ زِنَاهَا وَلَعَلَّ الْغَنِيُّ يَعْتَبِرُ فَيُنْفِقُ مِمَّا أَعْطَاهُ اللهُ وَلَعَلَّ السَّارِقَ يَسْتَعِفُّ بِهَا عَنْ سَرِقَتِهِ
Seseorang telah berkata, “Sungguh aku akan bersedekah malam ini.” Kemudian ia keluar untuk bersedekah maka ia menyedekahkannya ke tangan seorang pezina. Pada keesokan harinya, orang-orang membicarakan bahwa sedekah telah diberikan kepada pezina. Ia berkata, “Ya Allâh Azza wa Jalla , segala puji bagi-Mu, sedekahku ternyata jatuh pada pezina, sungguh aku akan bersedekah kembali”. Kemudian ia keluar untuk bersedekah maka ia menyedekahkannya kepada orang kaya. Pada keesokan harinya, orang-orang membicarakan bahwa sedekah telah diberikan kepada orang kaya. Ia berkata, “Ya Allâh Azza wa Jalla , segala puji bagi-Mu, sedekahku ternyata jatuh pada seorang kaya, sungguh aku akan bersedekah kembali”. Kemudian ia keluar untuk bersedekah maka ia menyedekahkannya kepada pencuri. Pada keesokan harinya, orang-orang membicarakan bahwa sedekah telah diberikan kepada pencuri. Ia berkata, “Ya Allâh Azza wa Jalla , segala puji bagi-Mu, sedekahku ternyata jatuh pada seorang pezina, orang kaya, dan seorang pencuri”. Maka ia didatangi (dalam mimpi) dan dikatakan padanya, “Adapun sedekahmu maka telah diterima. Adapun pezina mudah-mudahan dengan sebab sedekahmu ia mejaga diri dari perzinaan. Dan mudah-mudahan orang kaya tersebut mengambil pelajaran kemudian menginfakkan harta yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepadanya. Dan mudah-mudahan dengan sebab itu pencuri tersebut menjaga diri dari kebiasannya mencuri.”[6]
- Seseorang yang berbuka puasa karena menduga matahari telah tenggelam kemudian nampak bahwa ternyata matahari belum tenggelam maka puasanya sah. Akan tetapi wajib baginya untuk kembali berpuasa sejak ia mengetahui belum tenggelamnya matahari sampai matahari benar-benar terbenam.
- Apabila seseorang melaksanakan thawaf di Ka’bah dan ia ragu-ragu apakah thawafnya sudah enam putaran atau tujuh putaran, dan muncul dugaan kuat darinya bahwa ia telah thawaf sebanyak tujuh putaran, maka yang ia lakukan adalah mencukupkan dengan dugaan kuat tersebut dan menganggap thawafnya sempurnya tujuh putaran. Hal ini karena dalam permasalahan ibadah cukuplah seseorang bersandar dengan dugaan kuatnya.
Demikian pembahasan singkat dari kaidah ini semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan semakin membuka wawasan kita tentang kaidah-kaidah fiqih dalam agama kita yang mulia ini.[7]
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVIII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Syarh Manzhûmah Ushûl al-Fiqh wa Qawâ’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 147.
[2] HR. Al-Bukhâri no. 272 dan Muslim 316.
[3] al-‘Aqdu ats-Tsamîn fi Syarh Manzhûmah Syaikh Ibni ‘Utsaimin, Syaikh Khâlid bin ‘Ali al-Musyaiqih, Penjelasan bait ke-35.
[4] HR. Al-Bukhâri no. 1959.
[5] Syarh Manzhûmah Ushûl al-Fiqh wa Qawâ’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, hlm. 149.
[6] HR Muslim no. 1022.
[7] Diangkat dari Tahrîr al-Qawâ’id wa Majma’ al-Farâid, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah ke-32.
- Home
- /
- A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
- /
- Kaidah Ke-62 : Beramal...