Kaidah Ke-66 : Niat Dalam Sumpah Membuat Lafadz Yang Umum Menjadi Khusus
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ke Enam Puluh Enam
النِّيَّةُ فِي الْيَمِيْنِ تُخَصِّصُ اللَّفْظَ الْعَامَّ وَتُعَمِّمُ اللَّفْظَ الْخَاصَّ
Niat dalam sumpah membuat lafadz yang umum menjadi khusus dan lafadz khusus menjadi umum
MAKNA LAFDZIYAH
Kaidah ini terdiri atas beberapa kata yang perlu kita fahami maknanya. Kata yamîn maknanya sumpah. Dinamakan demikian karena kebiasaan yang ada, ketika seseorang besumpah maka akan disertai dengan saling berjabat tangan dengan tangan kanan. Sedangkan makna secara syar’i adalah suatu akad yang berfungsi menguatkan kesungguhan dalam mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan. Oleh karena itu, sumpah dalam pembahasan ini tidaklah terbatas dalam sumpah dengan nama Allâh Azza wa Jalla semata, akan tetapi juga mencakup permasalahan thalaq (perceraian), ‘ithq (pembebasan budak), ila’[1] dan semisalnya.
Kata al-‘âm maksudnya adalah lafadz yang mencakup seluruh satuannya tanpa ada pembatasan.[2] Sebaliknya, kata al-khâsh maksudnya adalah lafadz yang menunjukkan kepada satu perkara baik bersifat satuan atau jenis. Sedangkan kata at-takhshîsh maksudnya membatasi lafadz umum pada sebagian anggotanya.[3]
MAKNA KAIDAH SECARA UMUM
Kaidah ini menjelaskan bahwa niat memiliki pengaruh dan peran dalam sumpah. Apabila seseorang bersumpah dengan lafadz yang umum dan ia meniatkannya dengan sesuatu yang khusus, maka niatnya itu menjadkan lafazh yang umum tersebut bermakna khusus, dan sumpah yang diucapkan dihukumi sesuai apa yang ia niatkan. Demikian pula sebaliknya, apabila ia mengucapkan lafadz khusus dan ia meniatkan sesuatu yang bersifat umum maka niat itu menjadikan lafadz khusus tersebut bermakna umum, dan yang danggap dan diterapkan adalah apa yang ia niatkan itu.[4]
Secara umum kaidah ini terdiri atas dua bagian.[5]
- Peran niat dalam mengkususkan sesuatu yang bersifat umum. Ini adalah perkara yang disepakati oleh para Ulama’
- Peran niat dalam menjadikan sesuatu yang khusus menjadi umum. Ini adalah perkara yang diperselisihkan oleh para Ulama’. Ulama’ Mâlikiyah, Hanabilah, dan sebagain Hanafiyah menetapkannya. Mereka berpendapat bahwa niat berperan dalam menjadikan lafadz khusus menjadi umum, sebagaimana niat juga menjadikan lafadz umum menjadi khusus. Adapun Ulama’ Syâfi’iyah dan sebagian Hanafiyah menolak hal tersebut sehingga lafadz kaidah ini menurut mereka adalah (النِّيَّةُ فِي الْيَمِيْنِ تُخَصِّصُ اللَّفْظَ الْعَامَّ وَلاَ تُعَمِّمُ الْخَاصَّ).
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Di antara contoh aplikatif penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut :
- Apabila seseorang mengucapkan sumpah untuk tidak mengajak bicara seorang pun. Ketika bersumpah, niatnya adalah tidak mau berbicara dengan Zaid saja. Jika kemudian ia mengajak bicara kepada seseorang selain Zaid maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya. Dalam hal ini, meskipun sumpahnya bersifat umum namun telah dikhususkan dengan niatnya.[6]
- Apabila seseorang bersumpah untuk tidak makan daging. Dan ketika bersumpah niatnya adalah tidak makan daging onta saja. Jika kemudian ia makan selain daging onta, seperti daging ayam atau kambing maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya. Dalam kasus ini, meskipun sumpahnya bersifat umum namun telah dikhususkan dengan niatnya.
- Apabila seorang laki-laki mempunyai beberapa istri, dan ia berkata, “Seluruh istriku aku ceraikan.” Ketika mengucapkan lafadz tersebut, dalam hatinya ia mengecualikan salah satu istrinya. Berdasarkan kaidah ini maka istri yang dikecualikan tersebut tidak dihukumi diceraikan. Meskipun lafadz yang ia ucapkan itu bersifat umum, namun telah dikuhususkan dengan niat yang ada dalam hatinya.[7]
- Apabila seseorang bersumpah untuk tidak meminum air milik si fulan. Ketika bersumpah niatnya adalah tidak memanfaatkan air tersebut untuk keperluan apapun. Jika kemudian ia memanfaatkan air tersebut selain meminumnya, seperti menggunakannya untuk mandi, mencuci pakaian dan semisalnya, maka berdasarkan kaidah ini ia dihukumi telah melanggar sumpahnya. Meskipun lafadz sumpahnya bersifat khusus, yaitu hanya berkaitan dengan minum saja, namun telah menjadi umum dengan niatnya. Di mana niat berpengaruh untuk menjadikan lafadz khusus menjadi bermakna umum. Hal ini sesuai dengan yang dianut dalam madzhab Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian Hanafiyah.
Adapun menurut ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah, orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpah kecuali apabila minum dari air itu. Dan tidak dihukumi melanggar sumpahnya jika ia memanfaatkan untuk keperluan lain seperti mandi, mencuci pakaian, memasak makanan, dan semisalnya. Karena menurut pendapat kedua ini, niat tidak berperan dalam menjadikan lafadz khusus manjadi umum di dalam sumpah.[8]
- Apabila seseorang bersumpah untuk tidak menemui beberapa orang di rumah mereka. Ketika bersumpah ia berniat untuk menjauhi orang-orang tersebut dan tidak menemui mereka di mana saja. Jika kemudian ia menemui orang-orang tersebut di suatu tempat selain rumah mereka, maka berdasarkan kaidah ini ia telah melanggar sumpahnya. Meskipun lafadz sumpah tersebut bersifat khusus namun telah menjadi umum dengan niatnya. Inilah yang ditetapkan dalam madzhab Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian Hanafiyah.
Adapun menurut madzhab Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah, orang tersebut tidaklah melanggar sumpahnya kecuali jika menemui orang-orang tersebut di rumah mereka secara khusus, dan tidak dihukumi melanggar sumpahnya kalau ia menemui mereka di tempat lain karena niat tidak berperan dalam menjadikan lafadz khusus menjadi umum di dalam sumpah.[9]
Demikian pembahasan singkat kaidah ini semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan semakin membuka wawasan kita tentang kaidah-kaidah fiqih dalam agama kita yang mulia ini.[10]
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVIII/1436H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Yang dimaksud dengan ilâ’ adalah apabila seorang suami bersumpah dengan nama Allâh Azza wa Jalla atau dengan salah satu sifat-Nya untuk tidak menggauli istrinya diqubulnya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan, sedangkan si suami mampu untuk menggaulinya. (Lihat Kitab al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitâb wa as-Sunnah, Nukhbah min al-‘Ulama’, 1424 H, Majma’ al-Malik Fahd li Taba’at al-Mus-haf as-Syarif, al-Madinah al-Munawwarah, hlm. 318).
[2] Al-Ushûl min ‘Ilmi al-Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Cetakan Pertama, Tahun 1424 H, Dar Ibn al-Jauzi, Damam, hlm. 34.
[3] Lihat al-Mufasshal fi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdul Wahhab al-Bahisin, Cet. II, Tahun 1432 H/2011 M, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh,Hlm. 184.
[4] Lihat pembahasan kaidah ini dalam Qawânîn al-Ahkâm as-Syar’iyyah, hlm. 156. Al-Asybah wa an-Nazha-ir, karya Ibnu as-Subki, 1/69-72. Taqrîr al-Qawâ’id wa Tahrîr al-Fawâ-id, hlm. 279-283. Al-Asybah wa an-Nazhâ-ir, karya as-Suyuthi, hlm. 105. Al-Asybah wa an-Nazhâ-ir, karya Ibnu an-Nujaim, hlm. 56. Al-Wajîz fi Îdhâh Qawâ’id al-Fiqh al-Kulliyyah, hlm. 152-155.
[5] Lihat juga pembahasan tentang hal ini dalam Al-Wajîz fi Îdhâh Qawâ’id al-Fiqh al-Kulliyyah, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al Burnu, Cetakan Keempat, Tahun 1416 H/1996 M, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, hlm. 152-153.
[6] Lihat Al-Wajîz fi Îdhâh Qawâ’id al-Fiqh al-Kulliyyah, hlm. 153.
[7] Lihat al-Mufasshal fi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdul Wahhab al-Bahisin, Cet. II, Tahun 1432 H/2011 M, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh,Hlm. 187.
[8] Lihat Al-Wajîz fi Îdhâh Qawâ’id al-Fiqh al-Kulliyyah, hlm. 153.
[9] Lihat al-Mufasshal fi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, hlm. 187.
[10] Diangkat dari kitab al-Mumti’ fi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid ad-Dausriy, Cetakan Pertama, Tahun 1428 H/2007 M, Dar Zidni, Riyadh, Hlm. 91-94.
- Home
- /
- A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
- /
- Kaidah Ke-66 : Niat...