Balasan Kesombongan Dan Pengerusakan Di Muka Bumi

BALASAN KESOMBONGAN DAN PENGERUSAKAN DI MUKA BUMI

Oleh
Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc MA

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.[Al-Qashash/28:83]

TAFSIR RINGKAS
Ketika Allâh Azza wa Jalla menyebutkan kisah Qârûn dan rezeki yang telah diberikan kepadanya serta bagaimana akhir kehidupannya, Allâh Azza wa Jalla memberikan motivasi untuk meraih negeri akhirat dan juga memberitahukan cara meraihnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, Negeri akhirat itu,” yaitu negeri yang Allâh Azza wa Jalla kabarkan dalam Kitab-kitab-Nya dan juga yang dikabarkan oleh para rasul-Nya. Negeri yang berisi seluruh kenikmatan dan melenyapkan semua kesedihan dan kesusahan. Kami jadikan (dia) sebagai negeri dan tempat menetap untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi, yaitu orang orang yang tidak memiliki keinginan (untuk berbuat sombong). Lalu, bagaimana jika sampai pada tahapan melakukan sesuatu yang menunjukkan kesombongan di muka bumi terhadap para hamba Allâh dan merasa lebih tinggi daripada mereka serta merasa berada di atas kebenaran?

Firman Allâh, dan yang tidak ingin berbuat kerusakan (di muka bumi),” (kata ‘kerusakan-red) ini mencakup seluruh maksiat.

Apabila mereka tidak memiliki keinginan untuk berlaku sombong di bumi dan tidak ada keinginan untuk berbuat kerusakan, ini berarti keinginan mereka hanya diarahkan kepada Allâh dan niat mereka hanyalah untuk meraih negeri akhirat. Mereka selalu dalam keadaan tawâdhu’ (rendah hati), tunduk kepada kebenaran dan beramal shalih. Merekalah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan akhir yang baik.

Firman Allâh Azza wa Jalla , Kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa,” maksudnya, keberuntungan dan keselamatan yang tetap dan terus-menerus itu untuk orang-orang yang bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla  …

Dan dari pembatasan (pengkhususan) di dalam ayat ini diketahui bahwa orang yang menginginkan ketinggian di muka bumi dan menginginkan kerusakan, maka mereka tidak mendapatkan bagian apapun di akhirat.[1]

PENJABARAN AYAT
Firman Allâh Azza wa Jalla :

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ

Negeri akhirat itu

Allâh Azza wa Jalla menyebutkan negeri akhirat di dalam surat al-Qashash ini setelah menyebutkan kisah Qârûn yang memiliki banyak harta, sampai-sampai Allâh Azza wa Jalla mengabadikan penyebutan Qârûn di dalam al-Qur’an. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَىٰ فَبَغَىٰ عَلَيْهِمْ ۖ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ

Sesungguhnya Qârûn adalah termasuk kaum Musa, maka dia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah kamu terlalu senang atau bangga! Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.” [Al-Qashash/28:76]

Meskipun Qârûn adalah manusia yang sangat kaya, namun kekayaannya itu tidak menyebabkannya selamat di akhirat nanti. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla memperingatkan kita untuk selalu mengharapkan akhirat-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allâh kepadamu (yaitu kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allâh telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. [Al-Qashash/28:77]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan yang tidak kekal dan dia hanyalah kesenangan yang bersifat sementara. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. [Al-‘Ankabût/29:64]

Dengan kabar yang Allâh sampaikan ini sudah sepantasnya manusia tidak terlena dengan kesibukannya mengejar dunia dan lalai akan akhiratnya.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ

Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan ‘uluwwan (ketinggian) di bumi

Para Ulama ahli tafsir menyebutkan beberapa makna dalam menafsirkan “tidak ingin ‘ulluwwan (ketinggian)” di dalam ayat ini. Di antara makna-makna yang disebutkan adalah sebagai berikut[2]:

  1. Tidak ingin istikbâr ‘anil îman (yaitu sombong dari beriman). Ini adalah pendapat al-Kalbi dan Muqâtil rahimahullah .
  2. Tidak ingin istithâlah ‘alan nâs (merasa lebih dari manusia) dan tidak ingin tahâwun bihim (meremehkan mereka). Ini adalah pendapat ‘Athâ’ rahimahullah.
  3. Tidak ingin asy-syaraf wal-‘izz (kehormatan dan kemuliaan) di hadapan orang yang memiliki kekuasaan. Ini adalah pendapat al-Hasan rahimahullah.
  4. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemuliaan nasab dan kemampuan namun tetap rendah hati (tawâdhu’). Ini adalah pendapat ‘Ali Radhiyallahu anhu.
  5. Tidak menginginkan kesombongan (takabbur) dengan cara yang tidak benar. Ini adalah pendapat Muslim al-Bathin rahimahullah.
  6. Tidak menginginkan kesombongan atau tidak merasa lebih tinggi daripada makhluk-makhluk Allâh. Ini adalah pendapat ‘Ikrimah, Ibnu Juraij, Ibnu Katsir rahimahumullah.
  7. Tidak menginginkan al-baghy (mengganggu yang melampau batas). Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu
Baca Juga  Pengumuman Nabi Ibrahim Untuk Berhaji

 Allâhu a’lam bishshawaab. Keenam makna yang disebutkan pada pendapat pertama hingga keenam

memiliki makna yang berdekatan, yang menunjukkan bahwa negeri akhirat tidak diperuntukkan bagi orang yang menginginkan ‘uluwwan (ketinggian). Artinya, tidak diperuntukkan untuk orang-orang yang sombong sehingga tidak mau beriman, tidak pula untuk orang-orang yang meremehkan orang lain dan tidak memiliki sifat rendah hati; Dan tidak diperuntukkan untuk orang-orang yang mengejar kesombongan.

Adapun pendapat Sa’id bin Jubair yang mengatakan bahwa mereka adalah orang yang tidak menginginkan al-baghy (melampaui batas). Ini bisa saja dibawa pengertiannya kepada makna bahwa orang yang sombong akan meremehkan orang lain sehingga ia berpeluang untuk berbuat zhalim kepada orang lain tersebut dengan melampaui batas.

Allâhu a’lam, seluruh makna di atas, maknanya bermuara kepada al-kibr (sombong). Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n mencela sifat ini.Dalam banyak dalil, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan berbagai macam keutamaan orang yang bersifat tawâdhu’ (rendah hati). Oleh karena itu, Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menyebutkan sebuah atsar dalam Tafsirnya[3] dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُعْجِبُهُ مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ أَنْ يَكُوْنَ أَجْوَدَ مِنْ شِرَاكِ صَاحِبِهِ، فَيَدْخُلُ فِيْ قَوْلِهِ: تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ  .

Sesungguhnya seseorang yang merasa kagum dengan tali sepatunya dan dia merasa bahwa talinya lebih bagus daripada tali sahabatnya ini tersebut termasuk di dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” [Al-Qashash/28:83]

Dengan jelas kita pahami bahwa yang dimaksud oleh ‘Ali bin Abi Thalib z adalah bentuk kesombongan yang kita pahami, yaitu seorang merasa memiliki sesuatu yang lebih baik daripada yang lainnya. Jika kesombongan jenis ini terlarang bagaimana dengan kesombongan yang mengakibatkan seseorang menolak kebenaran, merasa berada di atas kebenaran padahal dia berada di dalam kebatilan dan menolak untuk memeluk Islam dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

BAHAYA BERBUAT SOMBONG
Ada banyak dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan sombong, di antaranya yang disabdakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُوَرِ الرِّجَالِ يَغْشَاهُمُ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ ، فَيُسَاقُونَ إِلَى سِجْنٍ فِي جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُولَسَ تَعْلُوهُمْ نَارُ الأَنْيَارِ يُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِينَةِ الخَبَالِ.

Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan di hari kiamat seperti semut kecil dalam bentuk laki-laki. Mereka dilingkupi dengan kehinaan dari segala tempat. Kemudian mereka diiring ke penjara di dalam Jahannam yang bernama Buulas. Di atas mereka ada api yang paling panas dan mereka diberi minum dari perasan kotoran penduduk neraka, yaitu nanah mereka.[4]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

الْعِزُّ إِزَارُهُ وَالْكِبْرِيَاءُ رِدَاؤُهُ فَمَنْ يُنَازِعُنِى عَذَّبْتُهُ

Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. ‘Barangsiapa yang mengambilnya dariku maka Aku akan mengadzabnya.[5]

Hadits di atas menunjukkan bahwa kesombongan hanyalah milik Allâh Azza wa Jalla dan tidak sepantasnya makhluk bersifat dengan sifat tersebut.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: (( لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ )). قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ: (( إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاس.))

Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat dzarrah (semut terkecil/benda terkecil) dari kesombongan.” Seseorang berkata, “Sesungguhnya seseorang suka jika bajunya bagus dan sandalnya bagus.” Beliau berkata, “Sesungguhnya Allâh itu indah dan mencintai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.[6]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ – قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ – وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ

Ada tiga orang yang Allâh tidak akan berbicara kepada mereka di hari kiamat, tidak juga mensucikan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka serta bagi mereka adzab yang sangat pedih: orang tua yang berzina, raja yang suka berdusta dan orang miskin yang sombong.[7]

KEUTAMAAN ORANG YANG RENDAH HATI
Kebalikan dari sombong adalah rendah hati. Dalam banyak dalil, Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya memuji dan menyebutkan keutaamaan orang yang bersifat rendah hati. Di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. [Asy-Syu’ara’/26:215]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. [Al-Isrâ’/17: 37]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“ … Dan sesungguhnya Allâh telah mewahyukan kepadaku agar kalian bersifat rendah hati, sehingga seorang tidak merasa bangga terhadap yang lain dan seorang tidak menginginkan lebih di atas yang lain.[8]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

Baca Juga  Jin Mukmin Juga Masuk Surga

Sedekah tidak akan mengurangi harta. Tidaklah Allâh membekali seorang hamba dengan sifat pemaaf kecuali itu adalah kemuliaannya. Dan tidaklah seorang hamba bersifat rendah hati karena Allâh kecuali Allâh akan mengangkat derajatnya.[9]

Diriwayatkan dari Anas bin Malik z bahwa dia berkata:

إِنْ كَانَتِ الْأَمَةُ مِنْ إِمَاءِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَتَأْخُذُ بِيَدِ رَسُولِ اللهِ n فَتَنْطَلِقُ بِهِ حَيْثُ شَاءَتْ

Apabila seorang budak wanita dari budak-budak wanita di Madinah mengambil tangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk meminta tolong), maka budak tersebut bisa membawanya kemana pun dia inginkan.[10]

Dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu di atas kita ketahui bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merasa malu untuk diminta oleh seorang yang secara status sosial dia adalah orang yang rendahan, yaitu seorang budak wanita. Ini menunjukkan ketawadhu’an Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Beliau tidak sombong karena kedudukan tinggi yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepadanya.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا فَسَادًا

Dan berbuat kerusakan (di muka bumi)

Para Ulama berselisih pendapat dalam menafsirkan kata “berbuat kerusakan” pada ayat ini. Di antara pendapat-pendapat yang disebutkan adalah sebagai berikut[11]:

  1. Mengajak beribadah kepada selain Allâh. Ini adalah pendapat yang disebutkan oleh al-Kalbi rahimahullah.
  2. Mengambil harta manusia dengan cara yang tidak dibenarkan. Ini adalah pendapat ‘Ikrimah rahimahullah.
  3. Membunuh para nabi dan orang-orang yang beriman. Ini adalah pendapat Yahya bin Salam rahimahullah.
  4. Mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat. Ini adalah pendapat Ibnu Juraij, Muqâtil, ath-Thabari, al-Qurthubi dan Ibnu Katsir rahimahumullah.

 Allâhu a’lam pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang keempat karena. Penafsiran ini lebih umum dan dipilih oleh banyak ahli tafsir.  Sebagaimana yang difirmankan oleh Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allâh memperbaikinya. [Al-A’râf/7:56]

Imam al-Baghawi rahimahullah menafsirkan, “Maksudnya adalah janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi dengan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat dan mengajak orang lain untuk tidak melakukan ketaatan kepada Allâh, setelah Allâh memperbaikinya dengan mengutus rasul-rasul, menjelaskan syariat dan mengajak kepada ketaatan kepada Allâh.”[12]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa

Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Artinya adalah ‘Dan surga bagi orang-orang yang bertakwa’. Mereka adalah orang yang menahan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat dan mengerjakan kewajiban-kewajiban Allâh.”

Para Ulama mengartikan takwa dengan ibarat yang bermacam-macam. Di antara arti yang terbaik dari takwa adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Thalq bin Habib rahimahullah.

Ketika terjadi fitnah di zaman Tabi’in. Datanglah segerombolan penasihat kepada Thalq bin Habib rahimahullah. Mereka berkata, “Telah terjadi fitnah. Bagaimana agar kita terbentengi darinya?” Beliau rahimahullah menjawab, “Bentengilah diri dengan bertakwa.” Mereka bertanya, “Jelaskanlah kepada kami tentang ketakwaan itu!” Beliau rahimahullah berkata:

التَّقْوَى عَمَلٌ بِطَاعَةِ اللهِ رَجَاءَ رَحْمَةِ اللهِ عَلَى نُورٍ مِنَ الله,  وَالتَّقْوَى تَرْكُ مَعْصِيَةِ اللهِ مَخَافَةَ اللهِ عَلَى نُورٍ مِنَ اللهِ

Bertakwa adalah melakukan ketaatan kepada Allâh karena mengharapkan rahmat Allâh, dengan cahaya dari Allâh, serta bertakwa itu juga adalah meninggalkan maksiat kepada-Nya karena takut kepada Allâh dengan cahaya dari Allâh.[13]

Inilah pengertian dari ketakwaan dan Allâh akan membalas orang-orang yang bertakwa dengan surga-Nya kelak di negeri akhirat.

KESIMPULAN

  1. Kehidupan yang kekal adalah kehidupan akhirat, sehingga janganlah kita terlena dengan kehidupan dunia.
  2. Surga tidak diperuntukkan untuk orang yang memiliki sifat sombong dengan segala jenisnya.
  3. Surga tidak diperuntukkan untuk orang-orang yang berbuat kerusakan atau maksiat di dunia.
  4. Surga diperuntukkan untuk orang-orang yang bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla .

DAFTAR PUSTAKA

  1. Aisarut Tafâsîr li Kalâm ‘Aliyil Kabîr wa bihâmisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafâsî Jaabir bin Musa Al-Jazaairi. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm Wal-Hikam.
  2. Al-Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’ân. Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi. Kairo: Daar al-Kutub al-Mishriyah.
  3. Jâmi’ul Bayaan fi Ta’wîlil Qur’ân. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
  4. Ma’âlimut Tanzîl. Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
  5. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhî Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr. 1420 H/1999 M. Riyadh: Dar Ath-Thaibah.
  6. Taisîr al-Karîmir Rahmân Fi Tafsiir Kalâmil Mannân. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risalah.
  7. Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat. Tafsîr as-Sa’di, hlm. 624
[2] Lihat Tafsîr al-Thabari XIX/637; Tafsîr al-Baghawi VI/226; Tafsîr al-Qurthubi XIII/320 dan Tafsîr Ibni Katsiir VI/258.
[3] Tafsîr ath-Thabari XIX/637.
[4] HR Ahmad no. 6677 dan at-Tirmidzi no. 2492. Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan oleh Syaikh al-Albani di dalam Shahih at-Tirmidzi.
[5] HR. Muslim, no. 2620.
[6] HR. Muslim, no. 91
[7] HR. Muslim, no. 107
[8] HR. Muslim, no. 2865
[9] HR. Muslim, no. 2588
[10] HR. Al-Bukhâri, no. 6072
[11] Lihat Tafsîr al-Thabari XIX/637; Tafsîr al-Baghawi VI/226; Tafsîr al-Qurthubi XIII/320 dan Tafsîr Ibni Katsiir VI/258-259
[12] Tafsîr al-Baghawi III/238
[13] HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Îmân, no. 99

  1. Home
  2. /
  3. A8. Qur'an Hadits3 Tafsir...
  4. /
  5. Balasan Kesombongan Dan Pengerusakan...