Dhaman Atau Kafalah

DHAMÂN ATAU KAFÂLAH

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc

Syariat Islam yang mulia ini senantiasa menjaga semua yang menjadi kemaslahatan manusia di dunia dan di akheratnya. Syariat menjaga hal-hal yang darurat, hajat dan pelengkapnya, sehingga semua yang dapat menjaga hal-hal tersebut termasuk dalam maqâshid syariat[1].

Ketika orang-orang membutuhkan interaksi dengan jaminan dan kafalah, maka Islam membenarkan adanya jaminan. Apalagi dizaman sekarang ini, sangat sulit bila tidak diberlakukan adanya penjamin dalam banyak mu’amalat, seperti hutang dan lain-lainnya. Salah satu bentuk jaminan tersebut adalah adh-dhamân atau al-kafâlah.

A. Pengertian al-Kafâlah atau adh-Dhamân
Menurut Bahasa
Al-kafâlah menurut bahasa berarti al-dhamân (jaminan), hamâlah (beban) dan za’âmah (tanggungan). Oleh karena itu Ibnul Arabi menyatakan bahwa kata (كَفِيْل),(كَافِل), (ضَمِيْنُ) dan (ضَامِن) memiliki pengertian dan makna yang sama.

Sedangkan al-Mâziri dalam Syarh al-Talqîn menyatakan: kata (الْحَمَالَةُ) dalam bahasa Arab dan kata (الْكَفَالَةُ), (الضَمَانُ) dan (الزَّعَامَةُ) semuanya satu maknanya. Namun ini diselisihi oleh al-Mâwardi yang menyatakan: Kebiasaan (praktek dalam masyarakat-red) telah mengkhususkan kata dhamîn (ضَمِيْنُ) untuk harta, hamîl (الْحَمِيْل) untuk diyat (yaitu tebusan akibat membunuh atau melukai) dan za’îm (الزَّعِيْمُ) untuk harta yang banyak sekali serta (الْكَفِيْلُ) untuk jiwa. kata (الصَّبِيْرُ) mencakup semua itu, demikian juga kata (الْقَبِيْلُ). [2]

Menurut Syara’
Para Ulama memberikan definisi yang beragam tentang pengertian kafâlah atau Dhamân ini, namun yang paling lengkap adalah:

ضَمُّ ذِمَةِ الضَّامِنِ إِلَى ذِمَةِ الْمَضْمُوْنِ عَنْهُ فِيْ إِلْتِزَامِ الْحَقِ الْوَاجِبِ حَالاً وَ مُسْتَقْبَلاَ

Menyatukan tanggung jawab penjamin kepada tanggung jawab orang yang dijamin dalam komitmen untuk menunaikan hak wajib, baik diwaktu itu atau dimasa yang akan datang. [3]

B. Rukun
Rukun adh-dhamân atau al-kafâlah ada lima, yaitu

  1. Ad-Dhamîn atau al-kafîl (orang yang menjamin atau penjamin)
  2. Al-Madhmûn lahu atau al-makfûl lahu (orang yang diberikan jaminan. Misalnya, dalam kasus jaminan hutang, al-madhmûn lahu adalah pemiliki piutang)
  3. Al-Madhmûn ‘anhu atau al-makfûl ‘Anhu (orang yang dijamin)
  4. Al-Madhmûn atau al-makfûl (objek jaminan) berupa hutang, uang, barang atau orang
  5. Sighah (akad/ijab)

C. Syarat

  • Ad-Dhamîn atau al-kafîl yaitu orang yang memberikan jaminan. Orang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: baligh, berakal, merdeka (bebas) dalam mengelola harta bendanya (tidak dilarang membelanjakan hartanya (mahjûr) dan ini dilakukan dengan kehendaknya sendiri, bukan terpaksa. Dengan demikian, berarti anak-anak dan orang gila tidak bisa menjadi penjamin.
  • Al-Madhmûn lahu atau al-makfûl lahu yaitu orang yang diberikan jaminan. Syaratnya, orang yang diberikan jaminan harus diketahui oleh orang yang memberikan jaminan karena manusia itu tidak sama dalam cara menuntut jaminan yang dijanjikan, ada yang keras dan ada yang lunak. Syarat ini ditetapkan demi kemudahan dan kedisiplinan terutama dimaksudkan untuk menghindari kekecewaan di belakang hari bagi penjamin, bila orang yang dijamin membuat ulah.
  • Al-Madhmûn ‘anhu atau al-makfûl ‘anhu adalah orang yang dijamin. Pada orang ini, tidak disyaratkan rela terhadap penjamin, namun lebih baik jika dia rela atau ridha. Artinya, kerelaan orang yang dijamin terhadap pemberi jaminan bukan syarat sah akad pemberian jaminan.
  • Al-Madhmûn atau al-Makfûl adalah utang, barang atau orang. Disebut juga al-madhmûn bihi atau al-makfûl bihi. Pada al-madhmûn atau al-makfûl ada syarat yang harus terpenuhi yaitu dapat diketahui dan sudah ditetapkan.

Oleh karena itu tidak sah dhamân (pemberian jaminan), jika objek jaminan, tidak diketahui dan belum ditetapkan karena ada kemungkinan hal ini ada gharar (tipuan atau ketidakjelasan)

  • Sighat atau lafazh adalah pernyataan yang diucapkan oleh penjamin. Sighat atau lafazh ini harus mengandung makna menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.

Umpamanya “Saya menjamin hutangmu kepada si A” dan sebagainya yang mengandung ungkapan jaminan.

Lafadz-lafadz yang menunjukkan al-kafâlah menurut para Ulama adalah seperti lafadz : Tahammaltu, takaffaltu, dhammintu, ana kafil laka, ana za’im, huwa laka ‘indi, atau huwa laka ‘alaya.

Shighat ini hanya diperlukan dari pihak penjamin. Dengan demikian, kafâlah atau dhamân hanya pernyataan sepihak saja.

Hendaknya diingat bahwa jaminan berlaku hanya menyangkut harta dengan sesama manusia saja, tidak dengan Allâh Azza wa Jalla.

Contohnya : menjamin hukuman qishash bagi pembunuh dan potong tangan bagi pencuri. Hukuman tersebut harus dijalani langsung oleh pelakunya dan tidak boleh dialihkan kepada orang lain.

D. Dasar Hukum Syariat
Dasar pensyariatan adh-dhamân atau kafâlah ini adalah dalil al-Qur`an, as-Sunnah dan Ijma’ .

1. Dalil Al-Qur’an, diantaranya firman Allâh Azza wa Jalla :

قَالَ لَنْ أُرْسِلَهُ مَعَكُمْ حَتَّىٰ تُؤْتُونِ مَوْثِقًا مِنَ اللَّهِ لَتَأْتُنَّنِي بِهِ إِلَّا أَنْ يُحَاطَ بِكُمْ ۖ فَلَمَّا آتَوْهُ مَوْثِقَهُمْ قَالَ اللَّهُ عَلَىٰ مَا نَقُولُ وَكِيلٌ

Ya’qûb berkata, “Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allâh, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh”. Tatkala mereka memberikan janji mereka, maka Ya’qûb berkata, “Allâh adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)”. [Yûsuf/12 : 66]

Ayat yang mulia ini menunjukkan adanya syari’at pemberian jaminan. Dalam ayat ini, jaminan dilakukan dengan badan, karena mereka menjamin dan bertanggung jawab kepada Nabi Ya’qûb dengan badan mereka. Ini syariat orang sebelum kita yang juga menjadi syariat bagi kita selama tidak ada syariat kita yang menyelisihi syari’at orang sebelum kita itu. [4]

Demikian juga firman Allâh Azza wa Jalla :

قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ

Penyeru-penyeru itu berkata, “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya. [Yûsuf/12 : 72]

Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu menyatakan bahwa kata (ﭲ) di sini bermakna penjamin (الْكَفِيلُ). Sehingga ini menunjukkan bolehnya kafâlah. oleh karena itu Ibnu Katsîr t berkata bahwa ini termasuk dalam ad-dhamân dan al-kafâlah. [5]

2. Dalil As-Sunnah.
Ada beberapa hadits Nabi n yang menunjukkan bolehnya ad-dhamân atau al-kafâlah, diantaranya:

Baca Juga  Apa Hukum Perkataan Fulan Syahid ?

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ؟»، قَالُوا: لاَ، قَالَ: «فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟»، قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ؟» قِيلَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟»، قَالُوا: ثَلاَثَةَ دَنَانِيرَ، فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ أُتِيَ بِالثَّالِثَةِ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: «هَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟»، قَالُوا: لاَ، قَالَ: «فَهَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ؟»، قَالُوا: ثَلاَثَةُ دَنَانِيرَ، قَالَ: «صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ»، قَالَ أَبُو قَتَادَةَ صَلِّ عَلَيْهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَلَيَّ دَيْنُهُ، فَصَلَّى عَلَيْهِ

Dari Salamah bin al-Akwa’ Radhiyallahu anhu beliau berkata, “Kami duduk-duduk disisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba dibawakan jenazah seraya mereka berkata kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Shalatkanlah mayat ini!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi was allam bertanya, ‘Apakah ia memiliki tanggungan hutang?’ Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanya lagi, ‘Apakah dia meninggalkan harta?’ Mereka menjawab, “Tidak.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyhalati jenazah tersebut.

Lalu didatangkan kembali jenazah yang lain dan mereka berkata, ‘Ya Rasûlullâh! Shalatkanlah mayat ini!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah ia memiliki tanggungan hutang?’ Mereka menjawab, “Ya” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, ‘Apakah dia meninggalkan harta?’ Jawab mereka, ‘Ya. Dia meninggalkan harta 3 dinar.’

Lalu didatangkan kembali jenazah yang ketiga dan mereka berkata, ‘Ya Rasûlullâh! Shalatkanlah mayat ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Adakah dia meninggalkan harta?’ Mereka menjawab, ‘Tidak’.  Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah ia memiliki tanggungan hutang?’ Mereka menjawab, ‘Ya, hutang 3 dinar.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shalatkanlah teman kalian itu.” Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu berkata, “Shalatilah dia! Wahai Rasûlullâh! Saya yang menanggung utangnya!’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyhalatinya”. [HR. Al-Bukhâri, an-Nasâ’i dan Ahmad]

3. Ijma’ Ulama membolehkan (mubah) dhamân dalam muamalah karena dhamân sangat diperlukan dalam waktu tertentu.
Adakalanya orang memerlukan modal dalam usaha dan untuk mendapatkan modal itu biasanya harus ada jaminan dari seseorang yang dapat dipercaya, apalagi bisnisnya besar. Demikian juga kita dapati muamalah orang yang menjamin orang lain sejak abad-abad permulaan hingga kini tanpa ada yang mengingkari sama sekali. Ijma’ ini telah dinukilkan dalam kitab Hasyiyah Ibnu Abidin, 5/285.[6]

E. Macam-Macam Kafalah
Secara umum kafâlah dibagi menjadi 2 bagian :

Kafâlah an-nafsi (kafâlah jiwa dengan jiwa)
Kafâlah an-Nafsi adalah Menyatukan tanggung jawab penjamin kepada tanggung jawab orang yang dijamin dalam komitmen untuk menunaikan hak wajib menghadirkan orang yang dijamin pada waktunya.[7]

Dalam jenis ini ada keharusan bagi pihak penjamin (al-kafîl/al-dhamîn) untuk menghadirkan orang yang ia jamin kepada orang yang dia berikan jaminan (al-makfûl lahu). Penjaminan yang menyangkut masalah manusia, hukumnya mubah (boleh), menurut pendapat jumhur Ulama dari mazhab Mâlikiyah, Syâfi’iyah, Hanafiyah dan Hanâbilah dengan dasar firman Allâh Azza wa Jalla :

قَالُوا يَا أَيُّهَا الْعَزِيزُ إِنَّ لَهُ أَبًا شَيْخًا كَبِيرًا فَخُذْ أَحَدَنَا مَكَانَهُ ۖ إِنَّا نَرَاكَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Mereka berkata, “Wahai al-Aziz, Sesungguhnya ia mempunyai ayah yang sudah lanjut usianya, lantaran itu ambillah salah seorang diantara kami sebagai gantinya, Sesungguhnya kami melihat kamu termasuk oranng-orang yang berbuat baik”. [Yûsuf/12: 78].

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa maksudnya; ambillah salah seorang dari kami sebagai gantinya sehingga saudaranya tersebut bisa pulang bersama mereka. [8] Ini juga didukung oleh sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الزَّعِيمُ غَارِمٌ، وَالدَّيْنُ مَقْضِيٌّ

Penjamin itu menanggung hutangnya dan hutang harus ditunaikan. [HR. Ibnu Mâjah no. 2405 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah].

Dengan demikian orang yang ditanggung tidak mesti mengetahui permasalahan karena kafâlah menyangkut badan bukan harta.

Contohnya : A menjamin akan menghadirkan B yang sedang dalam perkara mahkamah (pengadilan) pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Dengan ini, maka si A wajib berusaha maksimal untuk menghadirkan si B dalam sidang yang telah ditentukan tersebut.

Penjaminan ini hanya berlaku pada hak-hak manusia, bukan berhubungan dengan hak Allâh seperti hukuman (had) minum al-khamr dan had menuduh zina dan yang lainnya.

Jenis kafâlah ini merupakan akad memberikan jaminan atas diri. Sebagai contoh dalam praktik perbankan untuk kafâlah ini yaitu seorang nasabah yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apapun tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.

Kafâlah bil mal (kafâlah dengan harta) yaitu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamîn/kafîl dengan pembayaran (pemenuhan) harta. Kafâlah harta ada 3 macam :

  1. Kafâlah bid dain adalah kewajiban membayar utang yang menjadi beban orang lain. Contoh : A menjamin utang B kepada C.
  2. Kafâlah dengan penyerahan benda (Kafâlah at-taslîm) adalah kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti mengembalikan barang yang dighasab dan menyerahkan barang jualan kepada pembeli, disyaratkan materi tersebut yang dijamin untuk ashil (pihak yang berhutang) seperti dalam kasus ghasab. Namun bila bukan berbentuk jaminan, kafâlah batal. Contoh : A menjamin mengembalikan barang yang dipinjam oleh B kepada C. Apabila B tidak mengembalikan barang itu kepada C maka A wajib mengembalikannya kepada C.
  3. Kafâlah dengan ‘aib adalah bahwa barang yang didapati berupa harta terjual dan didapati ada bahaya (cacat) karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lainnya maka ia (pembawa barang) sebagai jaminan untuk hak pembeli pada penjual, seperti jika terbukti barang yang dijual adalah milik orang lain atau barang tersebut adalah barang gadai.

F. Pelaksanaan Kafâlah
Akad kafâlah atau dhamân ini adalah akad permanen (lâzim atau mengikat) dari pihak al-kafîl atau adh-dhamîn (penjamin) dan dia dengan komitmen tersebut harus menunaikan hutang orang yang berhutang (jika yang dijamin itu hutang) atau menghadirkan orang yang dijaminnya. Dan penjamin tidak bisa membatalkan  akad kafâlah tanpa persetujuan dan keridhaan dari al-makfûl lahu.

Kafâlah dapat dilaksanakan dalam 3 bentuk yaitu :

  1. Munjaz (tanjiz) adalah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seseorang berkata, “Saya tanggung si Fulan dan saya jamin si Fulan sekarang.”
Baca Juga  Penjualan Kredit Dengan Tambah Harga

Apabila akad penanggungan (kafâlah) ini terjadi, maka penanggungan atau jaminan itu mengikuti akad utang. Maksudnya, apakah harus dibayar ketika itu, ditangguhkan atau dicicil sesuai dengan akad ketika orang yang dijamin itu berhutang, kecuali disyaratkan pada saat akad penanggungan.

Kafâlah al-munjazah ini adalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka dan untuk kepentingan atau tujuan tertentu.

Salah satu bentuk kafâlah al-munjazah adalah pemberian jaminan dalam bentuk performance Bonds (jaminan prestasi), suatu hal yang lazim dikalangan perbankan dan hal ini sesuai dengan bentuk akad ini.

  1. Mu’allaq (ta’liq) adalah menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu, seperti seseorang berkata, “Jika kamu memberikan hutang kepada anakku maka aku yang akan membayarnya” atau “Jika kamu ditagih A maka aku yang akan membayarnya”.
  2. Mu’aqqat (tauqit) adalah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu waktu, seperti ucapan seseorang “Bila ditagih pada bulan Ramadhan maka aku yang menanggung pembayaran utangmu”. Menurut madzhab Hanafi penangguhan seperti ini sah tetapi menurut madzhab Syafi’i batal.

Apabila akad telah berlangsung maka madmûn lahu (orang yang diberi jaminan) boleh menagih kepada kafîl atau kepada madhmûn ‘anhu, hal ini dijelaskan oleh jumhur Ulama.

G. Hal-Hal Yang Muncul Dari Akad Kafâlah atau Dhamân
Akad kafâlah atau dhamân memiliki konsekuensi, diantaranya:

  1. adh-Dhamân adalah menyatukan tanggung jawab penjamin kepada tanggung jawab orang yang dijamin (al-ashîl) sehingga perkara yang dijamin menjadi tanggung jawab berdua. Dan dengan pembayaran atau pelunasan dari salah satu dari keduanya, maka akad dhamân ini telah berakhir. Inilah pendapat mayoritas Ulama. [9]
  2. Pemilik piutang memiliki hak memilih untuk menagih orang yang berhutang kepadanya atau menagih orang yang memberikan jaminan. Karena kafâlah adalah penyatuan tanggung jawab dan sudah jelas tanggung jawabnya dipikul oleh mereka berdua sehingga diperbolehkan menagih kepada salah satu darinya.

Namun karena ini adalah amal kebaikan si penjamin dan perbuatan membantu orang lain, maka sebaiknya bila menagih pertama kali kepada yang berhutang, apabila ia tidak melunasinya maka dipenjara sampai jelas ia tidak mampu kemudian menagih penjamin untuk melunasinya. Inilah pendapat mazhab Mâlikiyah dan dirajihkan oleh Ibnu Qayyim.

  1. Apabila orang yang menjamin (dhamîn) memenuhi kewajibannya dengan membayar utang orang yang ia jamin, ia boleh meminta kembali uang dibayarkannya itu kepada al-madhmûn ‘anhu (orang yang dijaminnya), jika pembayaran itu atas perintah atau izinnya serta dia berniat menagih ulang. Ini menurut kesepakatan empat mazhab.

Namun mereka berbeda pendapat, apabila penjamin membayar atau menunaikan beban orang yang ia jamin tanpa izin atau permintaan orang yang dijamin.

Menurut mazhab Syâfi’i dan Hanafi bahwa membayar utang orang yang dijamin tanpa izin darinya adalah sunnah dan dhâmin (penjamin) tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada al-madhmûn ‘anhu.

Menurut madzhab Mâliki, dhamîn berhak menagih kembali kepada al-madhmûn ‘anhu.

Menurut Ibnu Hazm, dhamîn tidak berhak menagih kembali kepada al-madhmûn ‘anhu atas apa yang telah ia bayarkan baik dengan izin al-madhmûn ‘anhu maupun tidak. Kafîl berkewajiban menjamin dan tidak dapat mengelak dari tuntutan kecuali membayar atau al-madhmûn lahu (orang yang diberikan jaminan) membebaskan utang untuk kafîl atau mem-fasakh-kan (menghapus) akad kafâlah, sekalipun al-madhmûn ‘anhu dan kafîl tidak rela.

Masa Berakhirnya
Akad kafâlah atau dhamân ini akan berakhir dengan hal-hal berikut:

  1. Hutang atau hak wajib terlunasi, baik dari yang berhutang (al-madhmûn ‘anhu) atau penjamin (dhâmin) atau orang lain.
  2. Pemaafan dari pemilik piutang atas hutang orang yang dijamin dan dari penjaminnya.
  3. Apabila penjamin (kafîl) berdamai dengan pemilik hak wajib (makfûl lahu) dari hutang dengan kompensasi tertentu.
  4. Pengalihan hutang dari Kafîl kepada orang lain dengan benar atau pengalihan hutang oleh pemilik hutang kepada orang lain dengan benar, karena pengalihan hutang seperti serah terima.
  5. Apabila ada penggagalan hutang yang dijamin atau gugur. Dengan sebab hilangnya tanggung jawab pemilik hutang, maka tanggung jawab penjamin juga hilang. Dengan ini berarti akad kafâlah telah selesai.
  6. Hilangnya harta tertentu yang dikafâlah atau barang yang dijadikan jaminan hancur bukan karena perbuatan manusia. Apabila akibat perbuatan manusia maka dhamân tidak selesai dan wajib bagi yang merusak atau menghilangkannya untuk menggantinya.
  7. Pemilik piutang wafat dan seluruh harta warisnya menjadi hak orang yang berhutang, maka kafîl lepas dari kafâlahnya.
  8. Apabila kafîl melunasi hutang dan pemilik hutang memiliki piutang pada kafîl dengan nominal yang sama dengan hutangnya, sehingga selesailah kafâlah dengan hal itu. Seakan-akan ada barter antara hutangnya dengan piutangnya yang ada pada kafîl.
  9. Kafâlah an-nafsi berakhir apabila kafîl telah menyerahkan yang dijamin kepada yang menuntutnya di tempat yang mampu digapai oleh penuntut untuk menghadirkannya di persidangan.
  10. Kematian kafîl mengakhiri akad kafâlah apabila tidak ada kecerobohan atau sikap tidak benar. Apabila ada indikasi kecorobohan semasa hidupnya maka kafâlah tetap berjalan dan diambilkan dari harta warisannya dalam rangka menjaga hak pemilik piutang.
  11. Dalam kafâlah an-nafsi, kematian orang yang dijamin menghilangkan kafâlahnya, karena kafîl hanya diharuskan menghadirkan yang dijamin dan itu tidak mungkin dengan kematiannya.[10]

Demikianlah sebagian dari pembahasan seputar dhamaan atau kafalah semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Tujuan-tujuan ditetapkannya syari’at
[2] Lihat al-Qâmûs al-Muhîth, 4/243 dan al Mu’jam al-Wasîth, 1/546)
[3] Al-Fiqhu al-muyassar, 6/106
[4] Min Fiqhil Mu’âmalât, hlm. 230
[5] Tafsir Ibnu Katsîr,  3/523
[6] Lihat, al-Fiqhu al-Muyassar qismi al-Muamalat, 6/123
[7] al-Fiqhu al-muyassar,  6/125
[8] Tafsîr al-Qurthubi, 9/240
[9] Al-Fiqhu al-Muyassar, 6/129-130
[10] Lihat al-Fiqhu al-Muyassar dengan perubahan 6/131-133.