Menghargai Pendapat Orang Lain

MENGHARGAI PENDAPAT ORANG LAIN

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan  Al-Fauzan

Al-hamdulillah, segala puji bagi Allah Azza wa Jalla , Dzat yang telah mengangkat kedudukan para ulama yang bertakwa. Shalawat dan salam kepada Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam penutup para nabi. Juga kepada keluarga, para sahabat dan yang mengikuti mereka sampai hari Kiamat. Amma` ba’du,

Slogan “menghargai pendapat orang lain”, berulang kali disampaikan melalui media audio maupun media cetak, dan ungkapan ini, seolah sudah menjadi sebuah peraturan mengikat. Padahal ungkapan ini tidak mutlak, tidak sepenuhnya benar. Karena masalah-masalah yang berkaitan dengan dîn (agama), pijakannya ialah Al-Qur`aan dan as-Sunnah, bukan berdasarkan pendapat. Sehingga siapapun yang salah dalam permasalahan dîn, maka pendapatnya tidak boleh dihargai dan tidak boleh didiamkan. Karena menghargai atau diam merupakan pengkhianatan terhadap Islam dan kaum muslimin; juga berarti menyembunyikan al-haq (kebenaran), padahal Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاِذْ اَخَذَ اللّٰهُ مِيْثَاقَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهٗ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُوْنَهٗۖ 

(Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kalian menyembunyikannya,…”). [Ali Imrân/3 : 187], meskipun yang keliru itu ialah orang terbaik atau orang yang paling tinggi martabatnya; (dia tetap tidak boleh didiamkan, red.), karena kedudukan al-haq lebih tinggi dari dirinya.

Lihatlah! ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu membantah pendapat Abu Bakr dan ‘Umar Radhiyallahu anhuma ketika mereka menyelisihi dalil tentang pembatalan haji ke umrah. Dan ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata: “Hampir saja ada batu yang jatuh dari langit menimpa kalian. Aku mengatakan ‘Rasulullah bersabda’, sedangkan kalian mengatakan ‘Abu Bakr dan Umar, mengatakan’.” Karena tidak boleh berijtihad, jika ada nash atau dalil.

Oleh karena itu, tidak boleh menghargai pendapat orang lain dengan mengorbankan agama. Membantah kesalahan, bukan berarti merendahkan atau menurunkan derajat orang yang dibantah. Kecuali jika yang dibantah itu bukan ahli ilmu, maka keadaan orang ini harus dijelaskan, supaya ia menyadari posisinya, dan supaya ia tidak dianggap sebagai ulama, karena ia bukan ulama. Para ulama tidak membolehkan umat mendiamkan kesalahan-kesalahan mereka (jika ada, red.), dan mereka juga tidak merasa berat menerima kebenaran dari orang yang membawakannya.

Contohlah Imam Abu Hanîfah rahimahullah, beliau berkata: “Jika ada hadits yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka kami taat sepenuhnya. Jika ada ucapan yang datang dari para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka kami taat sepenuhnya. Jika ada ucapan yang datang dari selain mereka, maka mereka adalah tokoh, dan kami juga tokoh“. Maksudnya, sama-sama ulama, selama itu merupakan masalah ijtihâdiy.

Masalah ijtihâdiy, yang belum jelas kebenarannya, tidak bisa diingkari apabila yang berpendapat itu seseorang yang berhak untuk berijtihad. Yaitu yang memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab ushul, bukan seorang yang merasa berilmu, padahal bodoh. Jadi, berijtihad bukan hak semua orang.

Imam Mâlik rahimahullah juga berkata: “Kita semua bisa membantah dan bisa dibantah, kecuali penghuni kubur ini“. Maksudnya, ialah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, tidak ada seorang pun yang tidak boleh dibantah jika salah, dan ia tidak boleh fanatik dengan pendapatnya.

Baca Juga  Konsekwensi Adanya Ijma Ulama

Imam asy-Syâfi’î rahimahullah berkata: “Jika ucapanku bertentangan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka benturkanlah pendapatku dengan tembok“. Maksud beliau, tinggalkan pendapatku.

Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku heran dengan sebagian manusia yang sudah mengetahui sanad dan keshahîhan sanad, namun mereka mengikuti pendapat Sufyân. Padahal Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ اَمْرِهٖٓ اَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ اَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

(Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih).[an-Nûr/24 :  63].

Kemudian, untuk diketahui, orang-orang yang mempropagandakan slogan “menghargai pendapat orang lain“, mereka ini hanya akan menghormati dan menghargai pendapat-pendapat yang sesuai dengan nafsu dan sejalan dengan ambisi mereka, meskipun pendapat itu bertentangan dengan Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka tidak akan menghargai pendapat yang sesuai dengan Al-Qur`ân dan as-Sunnah, jika pendapat ini berseberangan dengan nafsu dan ambisi mereka. Bahkan kemudian, mereka menyematkan gelar jumud, ekstrim, dangkal, dan berbagai gelar buruk lainnya terhadap pendapat yang sesuai dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah.

Juga dalam memberikan bantahan, tidak harus menyebutkan kebaikan orang yang dibantah, sebagaimana dikatakan para pengusung pendapat muwazanat (keseimbangan).[1] Karena tujuannya bukan mengoreksi orang itu, namun hanya menjelaskan kesalahan-kesalahannya supaya orang lain tidak terpedaya. Sekali lagi bukan meluruskan orang itu.

Membantah orang yang menyimpang dalam urusan dîn merupakan perkara wajib, supaya al-haq tidak bercampur dengan yang bathil. Allah Azza wa Jalla telah membantah perkataan orang-orang kafir dan orang-orang munafiq dalam kitab-Nya yang mulia.

Ketika Abu Sufyân mengatakan kepada kaum muslimin saat perang Uhud “kami memiliki ‘Uzzâ, sedangkan kalian tidak memiliki ‘Uzzâ,” maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat:

أَلَا تُجِيبُوا لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا نَقُولُ قَالَ قُولُوا اللَّهُ مَوْلَانَا وَلَا مَوْلَى لَكُمْ

“Tidakkah kalian membalasnya?” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, apa yang harus kami ucapkan?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah Azza wa Jalla adalah maulâ (pelindung) kami, sedangkan kalian tidak memiliki maulâ“.[2]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menyuruh Hassân bin Tsâbit z membantah kaum musyrikin dengan menggunakan syair-syairnya z . Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَجِبْ عَنِّي وَرُوحُ الْقُدُسِ مَعَكَ

Jawablah untukku, dan semoga Rûhul-Quds (Malaikat Jibril) bersamamu.[3]

Lalu Hassân membantah kaum musyrikin dengan bantahan yang lebih menyakitkan dari hujaman anak panah dan tombak. Dan para ulama terus melakukan bantahan terhadap orang-orang yang menyimpang. Kitab-kitab mereka, dalam masalah ini sudah ma’ruf (dikenal).

Hanya saja (yang perlu diperhatikan, red.), dalam membantah harus tetap dengan menggunakan adab-adab yang disyari’atkan. Dan tujuan melakukan bantahan ialah membela kebenaran, bukan membela diri dan menghabisi orang yang dibantah.

Hendaklah tidak menyinggung pribadi diri orang yang dibantah, (misalnya) dengan menjarh atau merendahkannya, kecuali jika orang yang dibantah itu sesat, atau ahli bid’ah, atau orang yang sok tahu dengan berbicara atas nama Allah dan Rasulullah tanpa dasar ilmu. Kalau keadaannya seperti ini, maka si pembantah wajib menjelaskan keadaan ilmu dan dîn seorang yang dibantahnya, sehingga ucapan orang yang dibantah itu tidak dipercaya, dan pendapat yang datang darinya tidak diambil; karena sarana yang bisa menyempurnakan suatu yang wajib, maka hukumnya wajib.

Allah Azza wa Jalla berfirman tentang ahli kitab yang mencela kaum muslimin, mengejek dan menyematkan gelar buruk pada mereka:

Baca Juga  Ikhtilaf Ulama Sebab dan Sikap Kita Terhadapnya

قُلْ هَلْ اُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِّنْ ذٰلِكَ مَثُوْبَةً عِنْدَ اللّٰهِ ۗمَنْ لَّعَنَهُ اللّٰهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيْرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوْتَۗ اُولٰۤىِٕكَ شَرٌّ مَّكَانًا وَّاَضَلُّ عَنْ سَوَاۤءِ السَّبِيْلِ

Katakanlah (wahai Muhammad): “Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik ) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi (dan orang yang) menyembah Taghut”. Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. [al-Mâidah/5:60].

Ringkasnya, dalam keadaan bagaimana pun, seorang ahli ilmu tidak boleh mendiamkan perkataan orang-orang yang menyimpang dan perkataan orang-orang sok tahu yang terus mengatakan sesuatu yang tidak mereka ketahui (hakikatnya, ed.). Seorang ahli ilmu, wajib menjelaskan al-haq dan membantah kebathilan, sebagai bentuk pembelaan terhadap Allah Azza wa Jalla , Rasul-Nya, Kitab-Nya, dan pembelaan terhadap seluruh kaum muslimin. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاللّٰهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ

…Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). [al-Ahzâb/33:4].

Dalam mukaddimah (pembukaan) bantahan terhadap Jahmiyah, Imam Ahmad rahimahullah mengatakan : “Segala puji milik Allah Azza wa Jalla yang telah menjadikan pada setiap masa, sekelompok ahli ilmu yang membersihkan penyimpangan orang-orang yang berbuat ghuluw terhadap Kitabullah, pengakuan orang-orang yang menolak sifat-sifat Allah, serta menghilangkan penakwilan-penakwilan orang jahil”.

Para ahli ilmu ini mendakwahi orang yang sesat menuju petunjuk. Mereka bersabar dari gangguan orang-orang yang sesat. Betapa orang-orang sesat itu telah mendapatkan petunjuk melalui dengan perantaraan para ahli ilmu. Dan betapa banyak manusia yang dimatikan (hatinya, red.) oleh iblis telah dihidupkan kembali melalui para ahli ilmu. Alangkah baiknya pengaruh mereka kepada manusia, dan alangkah buruk balasan manusia kepada mereka.

Demikian, kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar diberi ilmu yang bermanfaat dan amalan shâlih. Kita memohon kepada  Allah Azza wa Jalla agar memperbaiki para penguasa kita, dan para penguasa kaum muslimin dimanapun berada; agar Allah memenangkan din-Nya dan meninggikan kalimat-Nya, memberikan petunjuk kepada kaum muslimin yang tersesat.

Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar memperlihatkan al-haq itu sebagai kebenaran dan memberikan kekuatan kepada kita untuk mengikutinya; serta memperlihatkan kebathilan itu sebagai kebathilan dan memberikan kekuatan kepada kita untuk menjauhinya.

Kita memohon kepada Allah agar tidak menjadikan suatu kebathilan itu menjadi samar-samar, sehingga mengakibatkan kita tersesat.

وصلى الله على نبينا محمد وآله وسلم

Diterjemahkan dari: Al-Bayaan li Akhtâ`i Ba’dhil Kuttâb, 2/62-64.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Pendapat yang mengharuskan penyebutan kebaikan seseorang yang dinilai memiliki kekeliruan.
[2] HR al-Bukhâri.
[3] Dalam riwayat Imam al-Bukhâri, Kitab Bad’il Khalqi, Bab: Dzikril-Malâikah, juga dalam riwayat Imam Muslim, Kitab Fadhâ`ilish-Shahâbah, Bab: Fadhâ`il Hassân bin Tsâbit, no. 6334 dengan lafazh berikut: أَجِبْ عَنِّي اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ (Redaksi)

  1. Home
  2. /
  3. A5. Sikap Terhadap Perselisihan
  4. /
  5. Menghargai Pendapat Orang Lain