Makruh Hukumnya Sholat di Masjid yang Dibangun Diatas Kubur
MAKRUH HUKUMNYA SHALAT DI MASJID YANG DIBANGUN DIATAS KUBUR
Setelah menjawab semua syubhat yang telah lewat maka jelas sudah bagi para pembaca yang budiman bahwa pengharaman membangun masjid di atas kuburan itu merupakan suatu hal yang langgeng dan tetap ada sampai hari kiamat, kami juga sudah menjelaskan hikmah dari bentuk pengharaman tersebut. Selanjutnya, akan lebih baik lagi bagi kita untuk pindah ke masalah yang lainnya, yaitu konsekwensi hukum tersebut, yang tidak lain adalah hukum sholat di dalam masjid yang dibangun di atas makam.
Sebelumnya kami telah menyebutkan bahwa larangan membangun masjid di atas kuburan mempunyai konsekwensi di larangnya sholat di dalamnya, yang masuk di dalam kaidah bahwa larangan terhadap perantara, secara lebih pantas dan lebih utama berkonsekwensi terhadap dilarangnya tujuan yang hendak dicapainya melalui perantara tersebut, sehingga dari hal itu muncul kesimpulan bahwa sholat di masjid tersebut adalah dilarang, dan larangan seperti itu mengharuskan tidak sahnya sholat di masjid tersebut, sebagaimana yang sudah di kenal dikalangan para ulama. Di antara ulama yang mengatakan tidak sah sholat didalam masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan adalah Imam Ahmad dan rekan-rekan beliau, akan tetapi kami berpendapat bahwa masalah ini perlu dirinci, seperti sebagai berikut:
Bila sengaja mengerjakan sholat di dalam masjid-masjid tersebut maka dapat membatalkan sholat itu dengan sendirinya, karena orang yang sholat di dalam masjid tersebut mempunyai dua keadaan:
Pertama: Dia memang sengaja mengerjakan sholat di dalam masjid tersebut karena memang pembangunan masjid di atas makam tersebut adalah bertujuan mencari berkah melalui makam tersebut, seperti yang banyak di lakukan oleh orang-orang awam, dan tidak sedikit juga dari orang-orang yang terpelajar.
Kedua: Dia mengerjakan sholat di situ karena kebetulan, dan bukan karena disengaja karena adanya makam di sana.
Pada keadaan yang pertama, maka tidak perlu diragukan lagi bahwa sholat di dalam masjid yang seperti itu adalah haram, bahkan sholatnya bisa jadi batal dan tidak sah, karena ketika Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang mendirikan masjid di atas kuburan serta melaknat orang yang melakukanya, maka larangan mengerjakan sholat dengan sengaja di dalamnya sudah pasti lebih pantas untuk dilarang. Dan larangan di sini menuntut pembatalan terhadap sholat tersebut, sebagaimana yang baru saja kami sebutkan.
1. Dimakruhkan Shalat di Dalam Masjid seperti ini, Meskipun Tidak Meniatkan Karena Adanya Kuburan.
Adapun pada keadaan yang kedua, maka saya berpendapat tidak ada yang membatalkan sholat di masjid tersebut, akan tetapi hanya sekedar dimakruhkan saja. Sebab, pendapat yang mengatakan batal sholatnya, dalam keadaan seperti ini harus di sertai dengan dalil khusus, dan dalil yang kami pergunakan untuk membatalkan sholat pada keadaan yang pertama tidak mungkin di pergunakan untuk keadaan yang kedua ini. Hal itu karena penilaian batal terhadap sholat pada keadaan pertama itu memang benar karena di dasari pada larangan untuk membangun masjid di atas kuburan. Dan larangan ini tidak memberikan gambaran melainkan dengan adanya tujuan mendirikan masjid, sehingga benar pendapat yang mengatakan bahwa orang yang sengaja mengerjakan sholat di dalam masjid seperti ini sholatnya bisa jadi batal dan tidak sah. Adapun pendapat yang menyatakan batal sholat seseorang yang di kerjakan di dalam masjid seperti itu, maka dalam masalah ini, tidak ada larangan khusus yang bisa dijadikan sebagai pedoman. Begitu juga tidak bisa dianalogikan melalui qiyas yang baik dan benar.
Barangkali alasan inilah yang menjadikan jumhur Ulama berpendapat hanya sekedar makruh dan tidak memabatalkannya. Saya sampaikan hal tersebut sambil mengakui bahwa masalah ini masih memerlukan banyak penelitian lagi. Adapun pendapat yang menyatakan batal sholat di masjid tersebut bisa mengandung kemungkinan benar. Dan barangsiapa yang mempunyai ilmu lebih tentang masalah ini, maka dipersilahkan untuk menjelaskannya disertai dengan dalil. Dan baginya kami ucapkan beribu terima kasih.
Sedangkan pendapat yang memakruhkan sholat di dalam masjid yang dibangun diatas kuburan, maka, setidaknya inilah yang pada nantinya mesti akan dikatakan oleh seorang peneliti, yaitu dikarenakan dua hal:
Pertama: Sholat di masjid seperti itu menyerupai perbuatan orang-orang Yahudi dan Nashrani yang dari zaman dahulu sampai sekarang masih terus beribadah di tempat ibadah yang dibangun diatas makam.
Kedua: Shalat di masjid seperti itu merupakan suatu sarana yang bisa mengantarkan untuk mengagung-agungkan makam yang ada didalamnya, sebuah pengagungan yang berlebihan diluar batas yang diperbolehkan oleh syari’at. Oleh karena itu, syari’at melarangnya sebagai upaya kehati-hatian dan menutup jalan timbulnya kesesatan, apalagi dampak buruk yang muncul akibat tempat ibadah yang di bangun di atas makam tampak demikian jelas oleh mata, sebagaimana yang telah disampaikan berulang kali.
Para ulama telah menegaskan masing-masing dari dua alasan tersebut, dimana al-Allamah Ibnu Malik, beliau adalah salah seorang ulama dari penganut madzhab Hanafi, beliau mengatakan: “Sebenarnya, diharamkannya mendirikan masjid di atas makam itu karena sholat di dalamnya merupakan bentuk sikap mengekor pada kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi”. Hal itu sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh al-Qori di dalam kitabnya al-Mirqaat 1/470, dan dia mengakuinya. Demikian juga seperti yang dikemukakan oleh sebagian ulama belakangan dari penganut madzhab Hanafi dan juga yang lainnya, sebagaimana yang akan di sampaikan lebih lanjut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan di dalam kitabnya al-Qaaidah al-Jalilah hal: 22: “Dijadikannya suatu tempat sebagai tempat ibadah apabila tempat tersebut dimaksudkan untuk mengerjakan sholat lima waktu dan yang lainnya. Sebagaimana masjid juga didirikan untuk maksud tersebut, dan tempat yang dijadikan sebagai masjid karena dimaksudkan untuk beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, berdo’a kepada -Nya dan tidak berdo’a kepada makhluk. Oleh karena itu, Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang dijadikan makam sebagai tempat ibadah yang dimaksudkan sebagai tempat sholat, sebagaimana masjid juga didirikan untuk tujuan sholat, meskipun orang yang datang kemasjid itu berniat untuk beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla semata. Sebab, yang demikian bisa menjadi perantara bagi mereka untuk mendatangi masjid karena penghuni makam, meminta suatu permohonan kepadanya, berdo’a kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla melalui perantara dia, dan berdo’a di dekatnya. Karena itu, Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang tempat seperti itu untuk dijadikan sebagai tempat untuk beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla semata, agar tidak dijadikan sebagai jalan untuk berbuat syirik kepada -Nya.
Dan suatu perbuatan apabila mengarah kepada perkara yang merusak dan tidak membawa kemaslahatan yang benar-benar bisa diharapakan, maka perbuatan tersebut dilarang untuk dikerjakan, sebagaimana halnya tidak diperbolehkan untuk mengerjakan sholat pada tiga waktu, karena di dalamnya mengandung kerusakan yang sangat kuat kemungkinannya, yaitu menyerupai orang-orang musyrik. Dan tujuan sholat pada tiga waktu tersebut tidak membawa kemaslahatan yang berarti, karena adanya kemungkinan untuk mengerjakan sholat sunah pada waktu-waktu yang lainnya. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat mengenai sholat yang di kerjakan karena ada suatu sebab (dzawatul asbaab). Sehingga banyak dari mereka yang membolehkan untuk mengerjakan sholat tersebut pada waktu-waktu yang dilarang tadi. Itulah pendapat ulama yang paling jelas, karena suatu larangan jika di maksudkan untuk menutup jalan, bisa diperbolehkan demi kemaslahatan yang lebih memungkinkan. Dan sholat yang dikerjakan karena suatu alasan tertentu membutuhkan waktu-waktu yang terlarang itu, dan seseorang akan kehilangan sholat itu jika dia tidak mengerjakannya pada waktu-waktu tersebut, sehingga dia tidak dapat menunaikan kemaslahatan tersebut, sehingga, sholat tersebut boleh dikerjakan karena di dalamnya terdapat kemaslahatan. Berbeda dengan sholat yang tidak dikerjakan karena adanya suatu alasan, di mana dirinya bisa mengerjakanya di waktu lain, sehingga dia tidak kehilangan kesempatan dengan adanya larangan tersebut dan adanya kerusakan yang mengharuskan dikeluarkannya larangan itu.
Jika larangan Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengerjakan sholat pada waktu-waktu tersebut karena mempunyai maksud untuk menutup jalan kesyirikan, supaya hal itu tidak menyeret pelakunya untuk sujud kepada matahari dan berdo’a kepadanya, serta meminta kepadanya, sebagaimana yang dilakukan oleh para penyembah matahari, bulan, dan bintang yang mana mereka biasa berdo’a dan juga memohon kepadanya, sebagaimana di ketahui bahwa berdo’a kepada matahari dan sujud kepadanya itu jelas diharamkan, dan larangan tersebut lebih ditekankan pada sholat yang dilarang untuk dikerjakan pada waktu itu dengan tujuan agar tidak menyeret pelakunya untuk berdo’a kepada bintang, demikian juga tatkala Rasulallah Shalalllahu ‘alaihi wa sallam melarang dijadikannya makam para Nabi dan orang-orang sholeh sebagai masjid, maka beliau melarang mendatangi tempat tersebut untuk sholat di sana, dengan tujuan agar mereka tidak berdo’a kepada penghuni kubur tersebut, sedangkan berdo’a dan sujud kepadanya merupakan larangan yang lebih keras daripada dijadikannya makam mereka sebagai masjid”.
Ketahuilah bahwa dimakruhkannya sholat didalam masjid-masjid tersebut merupakan suatu hal yang sudah menjadi kesepakatan di kalangan para ulama, sebagaimana yang telah dijelaskan sebebelumnya. Yang menjadi perbedaan di antara mereka adalah mengenai batal atau tidaknya sholat di masjid-masjid itu. Adapun yang nampak dari madzhab Hanbali yaitu tidak sah sholatnya. Yang mana pendapat ini menjadi pegangan al-Muhaqiq Ibnul Qoyyim, sebagaimana yang telah disebutkan. Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam kitabnya Iqtidahaa-ush Shiraathil Mustaqim hal: 159: “Masjid-masjid yang dibangun diatas kubur para Nabi dan orang-orang sholeh, demikian juga para raja serta yang lainnya wajib dimusnahkan dengan cara dihancurkan, atau dengan cara yang lain. Dalam hal ini, saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama yang terkenal. Begitu juga mengenai dimakruhkannya sholat disana, juga tidak ada perbedaan pendapat. Sedangkan menurut madzhab kami, tidak sah sholat dikuburan karena adanya larangan dan laknat berdasarkan hadits-hadits yang menyebutkan masalah ini. Dan tidak ada perselisihan dalam masalah ini meskipun yang dikubur itu hanya satu orang saja. Adapun yang menjadi perselisihan dalam madzhab kami adalah kedudukan makam yang terpisah dari masjid, apakah yang menjadi batasan tiga makam atau satu makam dan tidak ada makam lain lagi disana? Dalam masalah ini ada dua pendapat”.
Saya katakan bahwa pendapat yang kedualah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah seperti yang tertuang di dalam kitabnya al-Ikhtiyaaraat al-Ilmiyyah hal: 25, di mana beliau mengatakan: “Dalam nash yang ada pada Imam Ahmad serta para sahabatnya secara umum tidak ada perbedaan pendapat, bahkan di dalam memberikan alasan dan penggunaan dalil yang mereka pakai secara umum mereka mewajibkan larangan sholat walaupun hanya satu makam. Dan inilah pendapat yang benar. Yang di namakan pemakaman adalah apa yang dimakamkan di tempat tersebut, bukannya kumpulan dari makam-makam yang ada, para sahabat kami mengatakan: ‘Setiap yang masuk dalam kategori kuburan, maka daerah yang ada disekitarnya tidak boleh dijadikan sebagai tempat sholat’. Dan prinsip ini memastikan bahwa larangan tersebut mencakup pengharaman sholat di kuburan yang terpisah sendirian dan termasuk juga pelatarannya. Al-Amidi dan juga ulama yang lainnya menyebutkan, tidak boleh mengerjakan sholat di dalamnya (yakni, masjid yang kiblatnya menghadap makam), sehingga antara dinding masjid dan makam tersebut terdapat dinding lain. Dan sebagian yang lainnya menyebutkan bahwa yang demikian itu merupakan nash dari Imam Ahmad”.
Abu Bakar al-Atsram menceritakan, aku pernah mendengar Abu Abdillah, yakni Ahmad, ditanya tentang sholat disuatu makam. Maka, beliau memakruhkannya. Ditanyakan kepada beliau,”Bagaimana jika masjid yang terletak diantara pemakaman, apakah boleh sholat disana? Maka beliau menjawab dengan memakruhkannya. Lebih lanjut lagi, beliau ditanya lagi: “Antara masjid tersebut dengan kuburan itu terdapat pemisah? Dia memakruhkan sholat wajib dikerjakan di masjid tersebut dan memberikan keringanan untuk sholat jenazah disana.
Imam Ahmad juga mengatakan: “Tidak boleh mengerjakan sholat di masjid yang terdapat diantara kuburan, kecuali sholat jenazah, karena sholat jenazah memang hukumnya sunah”.
Didalam kitab al-Fath, Ibnu Rajab mengatakan: “Menunjuk kepada apa yang telah di kerjakan oleh para Sahabat, Ibnul Mundzir mengatakan bahwa Nafi maula Ibnu Umar mengatakan: “Kami mensholati Aisyah dan Umu Salamah ditengah-tengah pemakamam Baqi’. Dan yang menjadi imam pada saat itu adalah Abu Hurairah dan dihadiri oleh Ibnu Umar”. Lihat kitab al-Kawaakibud Darari 65/81/1 dan 2.
Barangkali pembatasan yang dikatakan oleh Imam Ahmad dalam riwayat pertama, dengan hanya menyebutkan sholat fardhu saja, tidak menunjukan bahwa sholat-sholat sunah itu boleh dikerjakan disana. Sebagaimana telah diketahui bahwa sholat-sholat sunah itu lebih baik bila dikerjakan dirumah. Oleh karena itu, Imam Ahmad tidak menyebutkannya berbarengan dengan sholat fardhu. Dan hal itu diperkuat lagi oleh keumuman ucapan beliau yang ada dalam riwayat kedua: “Tidak boleh mengerjakan sholat di dalam masjid yang terletak di antara kuburan, kecuali sholat jenazah”. Hal ini merupakan nash bagi apa yang kami nyatakan diatas. Apa yang di katakan oleh Imam Ahmad diperkuat oleh apa yang telah disebutkan dari Anas: “Dimakruhkan membangun masjid antara makam-makam”. Maka ini sangat jelas memberikan arti bahwa dinding masjid saja tidak cukup sebagai pemisah antara masjid dengan kubur, bahkan bisa jadi pendapat ini menafikan dibolehkannya mendirikan masjid diantara makam-makam secara mutlak. Dan inilah yang paling dekat, karena ini lebih menjamin terkikisnya bibit-bibit kesyirikan.
Masih dalam kitab al-Iqtidhaa’ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Dahulu, bangunan yang ada diatas makam Ibrahim dalam keadaan tertutup, sampai tidak bisa dimasuki selama lebih dari empat ratus tahun. Ada yang mengatakan bahwa sebagian wanita yang mempunyai hubungan dengan para khalifah bermimpi mengenai hal itu, sehingga, kemudian makam itu digali karenanya. Ada juga yang menyebutkan, ketika orang-orang Nashrani menguasai daerah ini, mereka menggali tempat itu dan kemudian mereka membiarkannya sebagai tempat ibadah setelah pembebasan terakhir. Orang-orang yang mulia dari para syaikh kami tidak mau mengerjakan sholat ditempat kumpulan bangunan tersebut serta melarang para sahabat-sahabatnya untuk mengerjakan sholat didalamnya sebagai langkah mengikuti perintah Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan upaya untuk menghindari pelanggaran terhadap perintah beliau, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya”.
Begitulah keadaan syaikh-syaikh mereka, sedangkan para syaikh-syaikh kami sekarang ini berada dalam keadaan lengah terhadap hukum syari’at ini. Banyak di kalangan mereka yang sengaja menunaikan sholat di dalam masjid-masjid seperti itu. Saya pernah pergi bersama sebagian mereka –pada waktu itu saya masih kecil dan belum banyak memahami sunah– kemakam Syaikh Ibnu Arabi untuk menunaikan sholat bersamanya di sana. Setelah mengetahui hukumnya, yaitu haram, maka saya sering membahas masalah tersebut dengan syaikh yang saya maksudkan diatas, sehingga Allah Shubhanahu wa ta’alla memberikan hidayah kepadanya. Akhirnya, beliau melarang sholat ditempat tersebut, dan beliau mengakui sendiri hal itu kepada saya. Beliau berterima kasih kepada saya karena saya sudah menjadi sebab mendapatkan hidayah dari Allah Ta’ala. Mudah-mudahan Allah Ta’ala mengasihi serta mengampuninya. Segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla yang telah memberikan petunjuk kepada kami untuk melakukan ini. Dan kami tidak akan memperoleh petunjuk kecuali jika Allah Shubhanahu wa ta’alla memberikannya kepada kami.
2. Makruh Hukumnya Shalat di Dalam Masjid yang Dibangun Diatas Kubur, Meskipun Tidak Menghadap ke Arahnya.
Ketahuilah bahwa dimakruhkannya sholat di dalam masjid yang dibangun diatas kubur itu sangat ditekankan sekali pada setiap keadaan, baik makam itu berada didepan maupun dibelakang masjid, disebelah kanan maupun sebelah kiri masjid. Sehingga, kesimpulannya sholat di dalamnya dimakruhkan pada setiap keadaan. Hanya saja, hukum makruh sholat itu sangat ditegaskan jika sholat tersebut menghadap ke arah makam. Sebab pada saat itu, orang yang sedang sholat itu telah melakukan dua pelanggaran. Pertama, sholat di dalam masjid tersebut. Kedua, sholat dengan menghadap ke arah makam, di mana hal itu di larang secara mutlak, baik di dalam masjid mau pun diluarnya, hal itu berdasarkan nash yang shahih dari Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah di sampaikan sebelumnya.
Pendapat Para Ulama Dalam Masalah ini.
Makna tersebut telah diisyaratkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab shahihnya ketika beliau mengatakan: “Bab dimakruhkannya membangun masjid di atas kubur”. Ketika al-Hasan bin al-Hasan bin Ali meninggal dunia, isterinya membangun kubah di atas makamnya selama satu tahun, lalu kubah tersebut di hilangkan. Kemudian, orang-orang mendengar ada seseorang yang berteriak seraya bertanya: “Ketahuliah, apakah mereka menemukan apa yang telah hilang? Lalu ada yang menjawab: “Bahkan mereka mulai berputus asa, (setelah tidak mendapatkannya) sehingga mereka kembali”. Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa hadits yang terdahulu.
Al-Hafizh Ibnu Hajar, beliau adalah seorang Syafi’iyyah di dalam syarahnya mengatakan: “Kesesuaian atsar diatas dengan bab ini adalah bahwa orang yang bermukim di dalam tenda (yang di buat tersebut) tidak mungkin tidak mengerjakan sholat disana, dan sudah barang tentu dia mendirikan masjid sebagai tempat ibadah di sisi makam tersebut. Dan terkadang, makam itu berada di arah kiblat sehingga kemakruhannya semakin kuat”. Hal senada juga di sebutkan oleh al-Aini al-Hanafi dalam kitabnya Umdatul Qaari 4/149.
Di dalam kitab al-Kawakibud Daraari ‘alaa Jaami’it Tirmidzi, karya Syaikh al-Muhaqiq Muhammad Yahya al-Kandahlawi al-Hanafi, beliau mengatakan pada hal: 153: “Adapun mengenai pembangunan masjid di atas kubur, selain karena hal tersebut sebagai perbuatan yang menyerupai orang-orang Yahudi yang mana mereka mendirikan tempat ibadahnya di atas makamnya para Nabi dan para pembesar mereka, juga karena di dalamnya mengandung pengagungan kepada mayit dan penyerupaan dengan para penyembah patung. Hukum makruh, berkaitan dengan masjid yang makamnya berada di arah kiblat itu lebih di tekankan dari pada hukum makruh tentang masjid yang posisi makamnya berada di sebelah kiri atau kanannya. Jika keberadaan makamnya di belakang orang yang sedang sholat, maka semacam itu lebih ringan dari pada hukum yang lainnya, akan tetapi tetap tidak terlepas dari hukum makruh”.
Di nukil dari kitab Syir’atul Islam yang mana merupakan salah satu buku rujukan dari madzhab Hanafi hal: 569, di sebutkan : “Dimakruhkan membangun masjid diatas kubur untuk sholat di dalamnya”.
Secara mutlak, hal tersebut di dukung oleh beberapa pendapat ulama sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya. Hal senada juga di sampaikan oleh Imam Muhamad hal: 55.
Dan dalam nukilan berikut ini, terdapat apa yang memperkuat pendapat kami tentang makruhnya sholat di dalam masjid yang di dirikan di atas kubur secara mutlak, baik sholat tersebut menghadap ke arah makam atau tidak. Oleh karena itu, ada keharusan yang membedakan antara masalah ini dengan sholat menghadap makam yang di atasnya tidak terdapat masjid. Pada gambaran tersebut terlihat hukum makruh saat menghadap ke arah makam, sebagian ulama juga tidak mensyaratkan menghadap makam dalam gambaran di atas, sehingga mereka mengeluarkan pendapatnya tentang larangan sholat di sekitar makam secara mutlak, sebagaimana yang baru saja kami sampaikan dari para ulama penganut madzhab Hanbali. Hal senada juga di sebutkan di dalam kitab Hasyiyah ath-Thahawi ‘alaa Maraaqil Falah, salah satu kitab pegangan para penganut madzhab Hanafi hal: 208: “Inilah yang di namakan sesuai dengan masalah mencegah terjadinya hal-hal yang di larang, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِيْ الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ)) (رواه البخاري ومسلم).
“Barangsiapa yang menjauhi perkara syubhat, berarti dia telah berlepas diri dari yang di haramkan pada agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang masuk ke dalam perkara syubhat, berarti dirinya telah terjatuh kedalam perkara yang haram, seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar wilayah yang terlarang yang ditakutkan ternaknya akan masuk ke dalamnya”. HR Bukhari dan Muslim.
[Disalin dari تحذير الساجد من اتخاذ القبور مساجد (Peringatan Keras Untuk Para Penyembah Kubur) Penulis : Syaikh Al-Alamah Muhammad Nashirudin Al-Albani , Penerjemah Abu Umamah Arif Hidayatullah. Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2013 – 1434]
- Home
- /
- B1. Topik Bahasan3 Ibadah...
- /
- Makruh Hukumnya Sholat di...