Keutamaan dan Tata Cara Umrah
KEUTAMAAN DAN TATA CARA UMRAH
Segala puji hanya untuk Allah Ta’ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba’du.
Sungguh ada begitu banyak hadits-hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan akan keutamaan ibadah umrah, disebutkan, salah satu diantara keutamaan tersebut ialah sebagai penghapus dosa. Akan tetapi, apakah ibadah umrah ini wajib atau sunah, maka dalam hal ini terjadi silang pendapat di kalangan para ulama kita. Diantara dalil yang mewajibankannya ialah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad didalam musnadnya, serta Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Aku pernah bertanya: ‘Ya Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam apakah bagi perempuan ada kewajiban untuk berjihad? Beliau menjawab:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « نَعَمْ عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لَا قِتَالَ فِيهِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ » [أخرجه أحمد]
“Ya, bagi kalian kewajiban jihad, namun tidak perlu berperang yaitu dalam ibadah haji dan umrah“. HR Ahmad 42/198 no: 25322.
Ibnu Khuzaimah menjelaskan sabda Nabi diatas yang mengatakan: “Ya, bagi kalian kewajiban jihad, namun, tidak perlu berperang yaitu dalam ibadah haji dan umrah“. Ini sebagai dalil yang jelas kalau umrah hukumnya wajib seperti halnya ibadah haji. Karena yang nampak jelas dalam sabdanya: “Bagi kalian”. Menunjukan hal tersebut wajib, karena tidak mungkin dibolehkan untuk mengatakan: “Bagi seseorang ada perkara sunah yang tidak wajib”.[1]
Yang senada dalam hal ini juga, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Umar bin al-Khatab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjawab tentang pertanyaan Jibril akan Islam. Maka beliau menjawab:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الإِسْلامُ , أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ , وَأَنْ تُقِيمَ الصَّلاةَ , وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ , وَتَحُجَّ وَتَعْتَمِرَ وَتَغْتَسِلَ مِنَ الْجَنَابَةِ , وَتَتِمَّ الْوُضُوءَ , وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ : فَإِنْ فَعَلْتُ هَذَا فَأَنَا مُسْلِمٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ قَالَ : صَدَقْتَ » [أخرجه ابن خزيمة و الدارقطني]
“Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Engkau mengerjakan sholat, mengeluarkan zakat, melakukan ibadah haji dan umrah, mandi ketika tertimpa janabah, menyempurnakan wudhu dan engkau berpuasa Ramadhan”. Lantas Jibril bertanya kembali: “Apakah jika aku melaksanakan semua itu aku menjadi seorang muslim? Beliau menjawab: “Ya”. Engkau telah berkata benar, tukas Jibril“. HR Ibnu Khuzaimah 4/356 no: 3065. Daruquthni dalam sunannya 2/283 no: 207. Beliau menyatakan sanadnya tsabit shahih.
Diantara hadits yang menunjukkan akan keutamaan umrah ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ » [أخرجه البخاري و مسلم]
“Ibadah umrah dengan ibadah umrah lainnya adalah sebagai penghapus dosa antara keduanya. Sedangkan (ganjaran) bagi haji mabrur maka tidak ada balasan untuknya melainkan surga“. HR Bukhari no: 1773. Muslim no: 1349.
Demikian juga dijelaskan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: “Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ » [أخرجه النسائي]
“Iringilah ibadah haji dan umrah dengan ibadah haji dan umrah lainnya, karena sesungguhnya kedua ibadah tersebut bisa mengikis kefakiran dan dosa, sebagaimana halnya tukang pandai besi mengikis karat yang ada dalam besi“. HR Nasa’i no: 2630. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan an-Nasa’i 2/558 no: 2467.
Tata Cara Umrah
Hendaknya seorang yang ingin melakukan ibadah umrah untuk memakai pakaian ihram mulai dari miqat, dan ini wajib untuk dilakukan, baik dia lewat jalur transportasi laut, udara maupun jalur darat. Sedangkan bagi seseorang yang sudah berada di area dalam miqat, maka dia memakai ihram dan berniat dari tempat tinggalnya, seperti kota Jedah atau Bahrah atau yang lainnya. Dan apabila dia lewat jalur udara, naik pesawat dan merasa takut akan terlewat miqatnya, maka hendaknya dia berniat ihram sebelum melewati miqatnya yaitu ketika sudah mendekati miqat, supaya dia merasa yakin kalau dirinya telah berihram tepat diatas miqat atau sebelumnya.
Dianjurkan baginya supaya mandi sebagaimana ia mandi untuk janabah (mandi besar), kemudian memakai minyak wangi, kalau ada yang paling harum, dirambut dan jenggotnya. Selanjutnya ia mengenakan izar dan rida’ (pakaian ihram) yang berwarna putih. Adapun bagi perempuan maka dirinya boleh berpakain sesuai yang ia inginkan dengan catatan menutup aurat dan tidak bersolek dengan perhiasan. Kemudian dirinya mengerjakan sholat wajib jika pas bertepatan dengan waktu shalat, supaya dia bisa berniat masuk ihram setelah shalat, namun, apabila tidak bertepatan dengan waktu shalat wajib, akan tetapi, ada waktu untuk shalat sunah maka tidak mengapa dia mengerjakan shalat sunah lantas niat ihram setelahnya. Selanjutnya setelah usai mengerjakan shalat sunah, dirinya kemudian berniat untuk masuk ibadah umrah dengan mengatakan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ. (لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ عمرة)» [أخرجه البخاري و مسلم]
“Aku sambut panggilan –Mu, aku sambut panggilan –Mu, aku sambut panggilan –Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kerajaan adalah milik –Mu, tiada sekutu bagi –Mu. (Aku sambut panggilan –Mu untuk menunaikan ibadah umrah)”. HR Bukhari no: 1549. Muslim no: 1184.
Bagi kaum pria maka dianjurkan dengan mengangkat suara adapun perempuan cukup hanya dirinya yang mendengar. Berdasarkan sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَتَانِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام أَنْ آمُرَ أَصْحَابِي و مَنْ مَعِي أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّلْبِيَةِ » [أخرجه أبو داود]
“Jibril telah datang padaku dan menyuruh supaya memerintahka para sahabat yang bersamaku agar mereka mengangkat suaranya ketika bertalbiyah“. HR Abu Dawud no: 1814. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Abi Dawud 1/341 no: 1599.
Dalam sebuah riwayat disebutkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘annhu, beliau mengkisahkan: “Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ibadah haji dengan naik kendaraan dan memakai kain beludru, yang semuanya senilai dengan empat dirham atau tidak sampai, kemudian beliau berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللَّهُمَّ حَجَّةٌ لَا رِيَاءَ فِيهَا وَلَا سُمْعَةَ » [أخرجه ابن ماجة]
“Ya Allah aku menunaikan ibadah haji, tidak ada riya’ dan sombong didalamnya“. HR Ibnu Majah no: 2890. dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no: 2617.
Kemudian dia terus mengucapkan talbiyah tersebut hingga kalimat itu sebagai syi’arnya, sampai terputus ketika akan memulai thawaf di Ka’bah. Selanjutnya dia memutus talbiyah ini, supaya dirinya bisa menyibukan dengan dzikir ketika thawaf, sa’i dan lainnya. Dan jika mungkin bagi dirinya, maka sebelum masuk ke tanah suci Makkah, mandi terlebih dahulu, karena perkara tersebut dianjurkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Nafi’ dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dikisahkan: “Bahwa Ibnu Umar apabila masuk batas kota Makkah beliau berhenti membaca talbiyah, kemudian menginap di Dzi Thuwa, lalu keesokan harinya beliau sholat shubuh dan mandi. Dan beliau mengatakan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal tersebut“. HR Bukhari no: 1573. Muslim no: 1259.
Dia boleh masuk ke kota Makah dari jalan mana saja yang mudah baginya. Berdasarkan sabdanya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « كُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ طَرِيقٌ وَمَنْحَرٌ » [أخرجه ابن ماجة]
“Semua jalan dilembah Makah adalah jalan dan tempat untuk menyembelih“. HR Ibnu Majah no: 3048. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Ibni Majah 2/180 no: 2473.
Dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam masuk kota Makah dari dataran yang tinggi dikarenakan itu merupakan jalan yang ada dihadapannya. Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan: “Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang ke kota Makah, beliau masuk dari arah dataran yang tinggi lalu keluar dari dataran yang rendah”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Bagi seseorang yang masuk ke kota Makah, maka boleh baginya untuk masuk dari arah manapun, akan tetapi, yang lebih utama yaitu datang dari arah Ka’bah dalam rangka mencontoh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau masuk dari arah tersebut yaitu dari sisi yang lebih tinggi yang sekarang menjadi pintu al-Ma’lah”.[2]
Disunahkan baginya ketika akan masuk masjidil Haram untuk mendahulukan kaki kanan sambil berdo’a:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « بسم الله..اللهم صل على محمد…اللَّهُمَّ افْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ » [أخرجه مسلم]
“Dengan menyebut nama Allah, semoga shalawat tercurah kepada Nabi Muhammad. Ya Allah bukakan untukmu pintu-pintu rahmat–Mu“. HR Muslim no: 713.
Atau menambahkan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَعُوذُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ » [أخرجه أبو داود]
“Aku berlindung kepada Allah yang Maha Agung, dan dengan wajah–Nya yang Mulia, serta kekuasaan –Nya yang abadi dari setan yang terkutuk“. HR Abu Dawud no: 466. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Abi Dawud 1/93 no: 441.
Do’a ini juga dibaca ketika masuk ke dalam masjid-masjid yang lain. Dan tidak ada riwayat yang shahih dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang bacaan khusus manakala pertama kali melihat Ka’bah. Maka dia boleh membaca do’a sesuai keinginan yang dia hafal, dan kalau sekiranya dia berdo’a seperti do’anya Amirul mukminin Umar radhiyallahu ‘anhu maka itu juga baik, karena telah shahih kabar tentang itu dari beliau, yang berdo’a:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ فحينا ربنا بالسلام » [أخرجه البيهقي]
“Ya Allah, Engkau adalah Salam dan dari –Mu keselamatan maka hidupkan kami dengan keselamatan“. HR al-Baihaqi 5/72. Dinilai hasan oleh al-Albani dalam manasikul Hajj wal Umrah hal: 20.
Setelah itu, dia segera menuju tempat Hajar Aswad lalu menciumnya jika memungkinkah hal tersebut, bila tidak maka cukup dengan mengusap dengan tangan atau tongkat, kemudian mencium bekas untuk mengusapnya tadi. Apabila sulit untuknya maka cukup hanya menghadap ke arah Hajar Aswad lalu mengisyaratkan dengan tangan ke arahnya sambil mengucapkan: “Allahu Akbar“. Dan telah tetap atsar dari Ibnu Umar secara mauquf bahwa beliau biasa membaca bismillah lalu bertakbir.[3] Jika dirinya tidak memungkinkan untuk mencium maka jangan ikut berdesak-desakan. Dan disunahkan untuk mengusap dengan tangan kanannya, jika tidak mungkin untuk mengusap maka dia terus berlalu. Tidak perlu mengisyaratkan lagi demikian pula tidak perlu bertakbir kembali disebabkan tidak ada tuntunan dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam akan hal tersebut.
Dan tidak boleh menciumi bangunan Ka’bah, demikian pula, tidak boleh untuk mencium serta mengusap rukun-rukun selain Hajar Aswad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Para ulama telah bersepakat bahwa orang yang berziarah ke kubur Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam atau kubur lainnya dari kalangan para Nabi dan orang-orang sholeh –para sahabat, ahli bait atau selain mereka- untuk mengusap-usap atau menciumnya. Bahkan tidak ada dimuka bumi ini dari benda-benda mati yang disyari’atkan supaya dicium kecuali Hajar Aswad. Sebagaimana telah shahih dalam riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu pernah menyatakan secara tegas:
قال عمر: « إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ » [أخرجه البخاري و مسلم]
“Demi Allah, sungguh aku mengetahui bahwa engkau hanya sebongkah batu, yang tidak mampu memberi mara bahaya tidak pula memberi manfaat. Kalaulah sekiranya aku tidak melihat Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menciummu tentu aku tidak akan menciummu“. HR Bukhari no: 1610. Muslim no: 1270.
Beliau melanjutkan: “Oleh karena itu, tidak pernah di anjurkan menurut kesepakatan para Imam seseorang mencium atau mengusap dua rukun Ka’bah yang berada setelah rukun Hajar Aswad demikian pula tembok Ka’bah. Mereka juga bersepakat tidak boleh melakukan hal tersebut terhadap Maqam Ibrahim, kubah emas dimasjid Quds, tidak pula makam seorang pun dari kalangan para Nabi dan orang-orang sholeh”. [4] Dan telah shahih dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kalau beliau biasa membaca do’a antara dua rukun, Yamani dan Hajar Aswad dengan do’a:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ » [أخرجه أبو داود]
“Wahai Rabb kami berilah kami kebaikan didunia dan diakhirat serta jagalah kami dari siksa api neraka“. HR Abu Dawud no: 1892. Dinilai hasan oleh al-Albani dalam shahih sunan Abi Dawud 1/354 no: 1666.
Setelah itu, dirinya mulai melakukan thowaf di sekeliling Ka’bah dengan menjadikan posisi Ka’bah disebelah kirinya. Dan melakukannya dibelakang bangunan Hijr Ismail, sebanyak tujuh putaran dimulai dari Hajar Aswad sampai ke Hajar Aswad terhitung satu putaran. Dan ketika berthawaf hendaknya ia menjadikan kain ihramnya dibawah ketiak tangan kanan dan diselendangkan dipundak kiri sehingga tangan kiri tertutup. Begitu pula disunahkan untuk berjalan cepat pada tiga putaran pertama, dimulai dari Hajar Aswad sampai ke Hajar Aswad, kemudian dia berjalan seperti biasa pada sisa putaran berikutnya.[5] Tidak ada dalam rangkaian thawaf ini dzikir khusus, sehingga boleh bagi dirinya membaca al-Qur’an atau dzikir-dzikir yang ia hafal dan inginkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Tidak ada dzikir khusus dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, baik perintah dengan ucapan maupun pembelajaran, akan tetapi dibolehkan baginya untuk berdo’a, dalam thawaf dengan do’a-do’a yang telah disyari’atkan”. [6]
Setelah selesai thawaf dirinya lalu menuju ke arah Maqam Ibrahim sambil membaca firman Allah ta’ala:
وَٱتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبۡرَٰهِۧمَ مُصَلّٗىۖ [ البقرة: 125]
“Dan Jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat”. (al-Baqarah/2: 125).
Kemudian dia mengerjakan shalat dua raka’at di belakang maqam tersebut dan disunahkan untuk membaca surat al-Kafirun setelah al-Fatihah pada raka’at pertama kemudian membaca al-Ikhlas pada raka’at kedua. Seusai shalat dirinya lalu menuju ke tempat air Zam-zam kemudian minum darinya serta menuangkan ke atas kepala. Dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan tentang air Zam-zam dalam sabdanya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ وَإِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ وشفاء سُقمٍ » [أخرجه البيهقي]
“Sesungguhnya Zam-zam adalah air barokah, dia adalah makanan yang mengenyangkan serta obat dari penyakit“. HR al-Baihaqi dalam sunanul Kubra 5/147 no: 9939. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no: 1056.
Kemudian kembali lagi menuju Hajar Aswad, bertakbir lalu mengusapnya, sesuai dengan urutan sebelum thawaf tadi. Berdasarkan haditsnya Jabir radhiyallahu ‘anhu, yang mensifati hajinya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengkisahkan: “Kemudian beliau mendatangi Maqam Ibrahim lantas menjadikan maqam berada ditengah-tengah, antara beliau dan Ka’bah. Selanjutnya beliau shalat, lalu membaca pada dua raka’at tersebut surat al-Ikhlas dan al-Kafirun, seusai sholat, kemudian beliau mendatangi Hajar Aswad lantas mengusapnya“. HR Muslim no: 1218.
Selanjutnya dia menuju tempat sa’i untuk mengerjakan sa’i antara Shofa dan Marwah, dan apabila sudah naik ke bukit Shofa hendaknya membaca firman Allah ta’ala:
إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَاۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ [ البقرة: 158]
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui”. (al-Baqarah/2: 158).
Dan diteruskan membaca: “Kami memulai dengan apa yang Allah telah memulainya“. Kemudian dia naik ke bukit Shafa, menghadap ke Ka’bah, lalu mengucapkan tahlil dan bertakbir dan berdo’a:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللّه أكبَر, الله أكبر, الله أكبر (ثلاثا). لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كَلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ أَنْجَزَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ » [أخرجه البخاري و مسلم]
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar (tiga kali). Tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah semata yang tidak ada sekutu bagi–Nya. Yang memiliki kekuasaan dan segala puji bagi–Nya. Maha yang menghidupkan serta mematikan, dan Maha Mampu atas segala sesuatu. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi–Nya. Yang akan memenuhi janji–Nya, menolong hamba–Nya, dan yang akan menghancurkan sendiri seluruh golongan-golongan musuh“. HR Muslim no: 1218. Dia membaca tiga kali lalu berdo’a diantara ketiga dzikir tersebut.
Kemudian dirinya turun menuju tanda hijau (dan sekarang terdapat lampu hijau disebelah kiri dan kanan), manakala sampai tanda tersebut dirinya berjalan dengan cepat sampai tanda berikutnya. Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari potongan haditsnya Jibril yang panjang, didalamnya beliau menceritakan: “Kemudian beliau turun menuju Marwah, sampai ketika di tengah lembah beliau berjalan cepat dan ketika sudah melewati berjalan seperti biasa“. HR Muslim no: 1218.
Para ulama menjelaskan: “Adapun wanita maka tidak disyari’atkan untuk berjalan cepat ini. Kemudian dia berjalan sampai ke bukit Marwah, lalu naik diatasnya dan mengerjakan seperti apa yang dilakukan ketika di Shafa, mulai dari menghadap kiblat, bertakbir dan bertahlil serta membaca do’a. Setelah selesai maka ini terhitung satu putaran.
Lalu dia kembali menuju Shafa, berjalan biasa dan ketika sampai tanda hijau berjalan cepat, seperti diawal. Begitu selesai, sampai di Shawa maka ini terhitung putaran kedua. Demikian seterusnya sampai ia menyempurnakan tujuh putaran. Dirinya memulai sa’i dari Shafa dan diakhiri di Marwah. Dan dibolehkan baginya untuk naik kendaraan, dan sekarang dengan kursi roda, karena Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam memulai sa’i dengan berjalan, manakala mulai banyak orang maka beliau naik hewan tunggangannya. Disunahkan untuk memperbanyak dzikir dan do’a, sesuai dengan kemampuannya. Dan kalau sekiranya dia berdo’a ketika sa’i, dengan do’a ini maka itu bagus, karena telah tetap dari beberapa sahabat:
« رب اغفر وارحم إنك أنت الأعز الأكرم » [أخرجه أبو شيبة]
“Ya Allah, ampunilah dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Tinggi lagi Mulia“. HR Abu Syaibah dalam Mushanifnya 5/632 no: 15790 dan 15791. dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar. Kedua hadits ini dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Manasik Hajj wal Umrah hal: 28.
Jika telah selesai pada putaran ketujuh, yaitu dibukit Marwah, maka di sunahkan untuk memendekkan rambut atau mencukurnya, kalau ada waktu jeda panjang antara umrah dan hajinya, yang memungkinkan rambut tumbuh kembali. Dan hendaknya dia mencukur semua sisi rambut kepalanya, tidak boleh mencukur sebagian saja. Adapun bagi wanita maka cukup dengan mencukur rambutnya seujung ruas jari tangan. Dengan amalan terakhir tadi, maka sempurna sudah rangkaian ibadah umrahnya, sehingga dibolehkan kembali apa yang tadinya terlarang manakala berihram.
Akhirnya kita panjatkan segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla, Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, pada keluarga beliau serta para sahabatnya.
[Disalin dari فضل العمرة وصفتها Penulis : Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, Penerjemah Abu Umamah Arif Hidayatullah. Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2013 – 1435]
_______
Footnote
[1] Shahih Ibnu Khuzaimah 4/359.
[2] Majmu Fatawa 26/119.
[3] Sunan al-Baihaqi 5/79. Ibnu Hajar al-Asqolani mengatakan dalam Talhishul Habir 2/247 sanadnya shahih.
[4] Majmu Fatawa 27/79.
[5] Sebagaimana dalam haditsnya Imam Muslim no: 1218.
[6] Mansak Syaikul Islam dijabarkan oleh Syaikh Ibnu Jibrin hal: 83-84.
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah6 Haji...
- /
- Keutamaan dan Tata Cara...