Hukum Shalat Berjamaah Di Masjid
HUKUM SHALAT BERJAMA’AH DI MASJID
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
KEUTAMAAN SHALAT BERJAMA’AH
Wahai saudaraku, semoga Allâh mengaruniakan rahmat-Nya kepadamu…
Ketahuilah bahwa shalat lima waktu harus kita kerjakan dengan berjama’ah. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk shalat berjama’ah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan keutamaan shalat berjama’ah, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِـي الْـجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَىٰ صَلَاتِهِ فِـيْ بَيْتِهِ ، وَفِـيْ سُوْقِهِ ، خَمْسًا وَعِشْرِيْنَ ضِعْفًا ، وَذٰلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ ، لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةٌ ، فَإِذَا صَلَّىٰ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّـيْ عَلَيْهِ مَا دَامَ فِـيْ مُصَلَّاهُ: اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ ، اَللّٰهُمَّ ارْحَمْهُ ، وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِـيْ صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ.
Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah akan dilipat-gandakan 25 (dua puluh lima) kali lipat daripada shalat yang dilakukan di rumah dan di pasarnya. Yang demikian itu, apabila seseorang berwudhu’, lalu ia menyempurnakan wudhu’nya, kemudian keluar menuju ke masjid, tidak ada yang mendorongnya untuk keluar menuju masjid kecuali untuk melakukan shalat. Tidaklah ia melangkahkan kakinya, kecuali dengan satu langkah itu derajatnya diangkat, dan dengan langkah itu dihapuskan kesalahannya. Apabila ia shalat dengan berjama’ah, maka Malaikat akan senantiasa bershalawat (berdoa) atasnya, selama ia tetap di tempat shalatnya (dan belum batal). Malaikat akan bershalawat untuknya, ‘Ya Allâh! Berikanlah shalawat kepadanya. Ya Allâh, berikanlah rahmat kepadanya.’ Salah seorang di antara kalian tetap dalam keadaan shalat (mendapatkan pahala shalat) selama ia menunggu datangnya waktu shalat.’”[1]
Dalam hadits lain, dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً.
Shalat berjama’ah itu lebih utama 27 (dua puluh tujuh) derajat daripada shalat sendirian.[2]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ وَرَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ نُزُلَهُ مِنَ الْـجَنَّةِ كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ.
Barangsiapa pergi (berangkat) ke masjid baik di waktu pagi atau sore hari, maka Allâh menyediakan baginya hidangan di Surga setiap kali ia berangkat di waktu pagi atau sore hari.[3]
Dari Anas Radhiyallahu anhu , ia mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى ِللهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِـيْ جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيْرَةَ اْلأُوْلَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ.
Barangsiapa shalat jama’ah dengan ikhlas karena Allâh selama empat puluh hari dengan mendapati takbir pertama (takbiiratul ihram), maka ia dibebaskan dari dua perkara: dibebaskan dari neraka dan dibebaskan dari kemunafikan.[4]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan bagi laki-laki untuk mengerjakan shalat dengan berjama’ah di masjid dan menganjurkan wanita untuk shalat di rumahnya karena bagi wanita, rumah itu lebih baik. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengerjakan shalat ber-jama’ah di masjid, bahkan ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit, hingga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dipapah ke masjid untuk mengerjakan shalat berjama’ah.
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau bersabda:
لَا تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ.
Janganlah kalian melarang istri-istri kalian mendatangi masjid. Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.[5]
HUKUM SHALAT BERJAMAAH BAGI LAKI-LAKI
Hukum shalat berjama’ah bagi laki-laki adalah wajib, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” [Al-Baqarah/2: 43]
Para Ulama berdalil dengan ayat ini tentang wajibnya shalat berjama’ah.[6]
Juga berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَمِعَ الِنّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ ، فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ.
Barangsiapa mendengar adzan kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya (shalatnya tidak sempurna-pent), kecuali karena ada udzur.[7]
Di antara udzur yang membolehkan kita untuk meninggalkan shalat berjama’ah adalah sakit, bepergian (safar), hujan lebat, cuaca sangat dingin, dan udzur lainnya yang dijelaskan oleh syari’at.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan keringanan untuk meninggalkan shalat berjama’ah bagi orang yang buta dan tidak ada orang yang menuntunnya ke masjid. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Seorang laki-laki yang buta mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu berkata, ‘Wahai Rasûlullâh! Sungguh, aku tidak memiliki orang yang mau mengantarkanku menuju masjid.’ Maka ia meminta keringanan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat di rumahnya, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan baginya. Namun, ketika ia telah beranjak, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan berkata:
هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ ؟ فَقَالَ : نَعَمْ ، قَالَ : فَأَجِبْ.
Apakah engkau mendengar suara panggilan untuk shalat (adzan)?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Maka Beliau bersabda, ‘Kalau begitu penuhilah panggilan itu.’”[8]
Pada kesempatan lainnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berniat untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak melakukan shalat berjama’ah di masjid.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ هَـمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ لِيُحْطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَـهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَـالِفَ إِلَـىٰ رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَـهُمْ. وَالَّذِيْ نَـفْسِـيْ بِيَدِهِ ، لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَـجِدُ عَرْقًا سَمِيْنًا أَوْ مِرْمَـاتَيْـنِ حَسَنَـتَيـْنِ ، لَشَهِدَ الْعِشَاءَ.
Demi (Allâh) Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya aku berniat menyuruh mengumpulkan kayu bakar, lalu aku menyuruh adzan untuk shalat. Kemudian kusuruh seorang laki-laki mengimami orang-orang. Setelah itu, kudatangi orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah dan kubakar rumah-rumah mereka. Demi (Allâh) Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andai salah seorang di antara mereka tahu bahwa ia akan memperoleh daging gemuk atau (dua kaki hewan berkuku belah) yang baik, niscaya ia akan mendatangi shalat ‘Isya’.”[9]
Shalat berjama’ah wajib dilakukan di masjid, bukan di rumah karena tujuan dibangunnya masjid adalah untuk ditegakkan shalat berjama’ah di dalamnya.
Sangat disayangkan sebagian kaum Muslimin, padahal ia sebagai donatur pembangunan masjid, pengurusnya dan bahkan para ustadznya, tidak melakukan shalat berjama’ah di masjid.
Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu pernah berkata:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَىٰ هٰؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَىٰ بِهِنَّ ، فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى ، وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَىٰ ، وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِـيْ بُيُوْتِكُمْ كَمَا يُصَلِّـيْ هٰذَا الْمُتَخَلِّفُ فِـيْ بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّـةَ نَبِيِّكُمْ ، وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ … وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُوْمُ النِّفَاقِ.
Barangsiapa ingin bertemu dengan Allâh di hari kiamat kelak dalam keadaan Muslim, hendaklah ia menjaga shalat lima waktu dimanapun ia diseru kepadanya. Sungguh, Allâh telah mensyari’atkan kepada Nabi kalian n , sunnah-sunnah yang merupakan petunjuk. Shalat lima waktu termasuk sunnah-sunnah yang merupakan petunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah kalian sebagaimana orang yang tertinggal ini shalat di rumahnya (dia tidak shalat berjama’ah di masjid) niscaya kalian akan meninggalkan sunnah Nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan sunnah-sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan sesat... Dan saya melihat (pada zaman) kami (para Shahabat), tidak ada yang meninggalkan shalat berjama’ah kecuali seorang munafik, yang telah diketahui kemunafikannya.[10]
Di zaman Sahabat, orang yang meninggalkan shalat berjama’ah dimarahi dan ditegur dengan keras oleh para Sahabat. Para Sahabat dan Tabi’in marah kepada laki-laki yang sehat, yang jelas tidak ada udzur syar’i untuk meninggalkan shalat berjama’ah.
Kerasnya teguran mereka terkandung dalam ucapan ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, yaitu:
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنِ الصَّلَاةِ إِلَّا مُنَافِقٌ قَدْ عُلِمَ نِفَاقُهُ.
Dan saya melihat (pada zaman) kami (para Sahabat), tidak ada yang meninggalkan shalat berjama’ah kecuali orang munafik, yang telah diketahui kemunafikannya.[11]
Pada zaman para Sahabat, hanya orang munafik yang meninggalkan shalat berjama’ah. Kalau datang waktu Shubuh dan ‘Isya’, mereka enggan untuk hadir shalat berjama’ah di masjid. Karena keadaan pada waktu keduanya gelap, berbeda dengan shalat yang dilakukan di siang hari, mereka ikut berjama’ah karena riya’ (pamer).
Konsekuensi yang terkandung dalam hal tersebut adalah jika ada kepentingan rapat, kerja, dan kesibukan yang lainnya, maka tinggalkanlah pekerjaan itu untuk sementara. Lalu kerjakanlah shalat terlebih dahulu! Laki-laki mengerjakan shalat berjama’ah di masjid sedangkan wanita mengerjakan shalat di rumah. Inilah anjuran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Mengerjakan shalat berjama’ah tidak memakan waktu lama, hanya 10 menit, tidak lebih lama dari waktu berdagang, kerja, kuliah, dan makan.
Mudah-mudahan kita diberikan kekuatan dan kemampuan untuk dapat melaksanakan shalat yang lima waktu secara berjama’ah di masjid. Hanya kepada Allâh Azza wa Jallaita memohon pertolongan dan hanya kepada-Nya kita bertawakkal.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XX/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 647; Muslim, no. 649 (272); At-Tirmidzi, no. 603; Ibnu Majah, no. 281 dan Abu Dawud, no. 471
[2] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 645 dan Muslim, no. 650 (249)
[3] Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri, no. 662 dan Muslim, no. 669
[4] Hasan: HR. At-Tirmidzi, no. 241. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 2652
[5] Shahih: HR. Abu Dawud, no. 567. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Takhrîj Hidâyatur Ruwât (I/467, no. 1020).
[6] Lihat Tafsîr Ibnu Katsir, I/249
[7] Shahih: HR. Ibnu Mâjah, no. 793; Al-Hakim, I/245 dan al-Baihaqi, III/ 174. Dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (II/337)
[8] Shahih: HR. Muslim, no. 653
[9] Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri, no. 644; Muslim, no. 651; Abu Dawud, no. 548; An-Nasa-I, II/107; dan Ibnu Majah, no. 791
[10] Shahih: HR. Muslim, no. 654 (257) kitab al-Masâjid wa Mawâdhi’ ash-Shalâh bab Shalatul Jamâ’ah min Sunanil Huda, Abu Dawud, no. 550; dan an-Nasa-i (II/108-109).
[11] Shahih: HR. Muslim no. 654 (256)
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah3 Shalat
- /
- Hukum Shalat Berjamaah Di...