Kitab Jenazah

KITAB JENAZAH 

Mencakup hal-hal berikut ini.

  1. Kematian dan Hukum-hukumnya
  2. Memandikan Mayat
  3. Mengkafani Jenazah
  4. Tata Cara Menshalatkan Jenazah
  5. Tata Cara Menguburkan Jenazah
  6. Ta’ziyah
  7. Ziarah Kubur

KEMATIAN DAN HUKUM-HUKUMNYA
Sepanjang apapun usia seorang manusia, ia tetap akan meninggal dunia dan berpindah dari negeri tempat beramal menuju negeri pembalasan, dan alam kubur merupakan tempat akhirat yang pertama.

Di antara hak seorang muslim kepada muslim yang lain adalah mengunjunginya apabila ia sakit dan mengikuti jenazahnya bila ia meninggal dunia.

Firman Allah Ta’ala:

قُلۡ إِنَّ ٱلۡمَوۡتَ ٱلَّذِي تَفِرُّونَ مِنۡهُ فَإِنَّهُۥ مُلَٰقِيكُمۡۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ [الجمعة: ٨] 

Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. [Al-Jum’ah/62:8]

Firman Allah Ta’ala:

 أَيۡنَمَا تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ وَلَوۡ كُنتُمۡ فِي بُرُوجٖ مُّشَيَّدَةٖۗ  [النساء : ٧٨] 

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. [An-Nisaa/4:78]

Apa yang wajib bagi orang yang sakit.
Orang yang sakit harus beriman (percaya) terhadap qadha` Allah Subhanahu wa Ta’ala, sabar terhadap qadar-Nya, husnuzhzhan (berbaik sangka) kepada Rabb-nya, berada di antara sifat khauf (khawatir,takut) dan raja` (mengharap), jangan mengharapkan kematian, menunaikan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hak-hak manusia, menulis wasiatnya, berwasiat untuk karib kerabatnya yang tidak mewarisinya sepertiga (1/3) hartanya atau kurang dari 1/3 dan itu lebih baik, berobat agar sembuh dengan pengobatan yang dibolehkan. Disunnahkan baginya untuk mengadukan keadaannya pada Allah, dan diperbolehkan untuk memberitahukan pada orang lain asalkan bukan mengeluh dan menunjukan ketidak ikhlasannya (atas sakit yang ia derita).

Hukum mengharapkan kematian.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata.

عن أنس رضي الله عنه قال: قال رَسُولُ الله- صلى الله عليه وسلم-: «لا يَتَمَنَّيَنَّ أحَدٌ مِنْكُمُ المَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ، فَإنْ كَانَ لا بُدَّ مُتَمَنِّياً لِلْمَوْتِ فَلْيَقُلِ: اللَّهُمَّ أحْيِنِي مَا كَانَتِ الحَيَاةُ خَيْراً لِي، وَتَوَفَّنِي إذَا كَانَتِ الوَفَاةُ خَيْراً لِي». متفق عليه.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah seseorang darimu mengharapkan kematian karena mudharat yang dialaminya. Dan jika harus mengharapkan kematian, hendaklah ia membaca, ‘Ya Allah, hidupkan aku selama kehidupan lebih baik bagiku dan matikanlah aku apabila kematian lebih baik bagiku.” Muttafaqun ‘alaih.[1]

Seorang muslim harus bersiap-siap untuk mati dan banyak mengingatnya. Dan bersiap-siap mati adalah dengan taubat dari segala perbuatan maksiat, mengutamakan akhirat, melepaskan diri dari perbuatan zalim, menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbuat taat dan menjauhi yang diharamkan.

Dan di sunnahkan mengunjungi orang sakit dan mengingatkannya agar bertaubat dan berwasiat, dan berobat kepada dokter yang muslim, bukan dokter non muslim. Kecuali bila ia membutuhkannya dan aman dari hal yang tidak dinginkan.

Disunnahkan bagi orang yang menyaksikan seseorang yang hampir meninggal dunia (menjelang sakaratul maut) agar mentalqinnya dua kalimat syahadah, lalu mengingatkannya dengan ucapan «لا إله إلا الله»laailaaha illallah‘, berdoa untuknya dan tidak mengatakan sesuatu di hadapannya kecuali yang baik.

Tidak mengapa seorang muslim menghadiri kematian orang kafir untuk menawarkan Islam kepadanya dan berkata kepadanya, ‘Katakanlah: ‘laailaaha illallah‘.

Baca Juga  Ihram

Tanda-tanda Husnul Khatimah.

  1. Mengucapkan dua kalimat syahadah saat meninggal.
  2. Kematian seorang mukmin dengan keringat di kening.
  3. Mati syahid atau meninggal fi sabilillah.
  4. Meninggal saat bertugas jaga fi sabilillah.
  5. Meninggal karena membela dirinya atau hartanya atau keluarganya.
  6. Meninggal pada malam Jum’at atau Hari Jum’at, dan hal itu menjaganya dari fitnah (cobaan) alam kubur.
  7. Meninggal karena penyakit radang selaput dada atau penyakit TBC.
  8. Meninggal karena penyakit tha’un (penyakit menular), sakit perut, tenggelam, terbakar, atau tertimpa reruntuhan.
  9. Perempuan yang meninggal dunia di saat nifasnya karena melahirkan dan semisalnya.

Mengingat kematian.
Seorang muslim harus selalu ingat terhadap kematian, bukan karena dia akan meninggalkan keluarga, orang-orang tercinta, dan kenikmatan dunia, ini adalah pandangan sempit. Tetapi karena kematian berarti berpisah dari amal ibadah dan bercocok tanam untuk akhirat. Dengan ini ia bersiap-siap dan bertambah dalam amal akhirat serta menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun pandangan yang pertama, maka menambahnya rasa rugi dan penyesalan. Dan apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin mengambil (mewafatkan) seorang hamba di suatu daerah, ia menjadikan baginya suatu keperluan di daerah itu.

Seorang muslim harus berhusnuzhann (berbaik sangka) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saat meninggal dunia, karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إلا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِالله عَزَّ وَجَلَّ. أخرجه مسلم

Janganlah seseorang dari kamu meninggal dunia kecuali ia berbaik sangka kepada Allah Azza wa Jalla.’ HR. Muslim.[2]

Di antara tanda-tanda kematian: diketahui meninggalnya seseorang dengan turun kedua pelipis, miring hidungnya, terpisah dua telapak tangannya, terulur kedua kakinya, melotot penglihatannya, dinginnya, dan terputus napasnya.

Apa yang dilakukan terhadap seorang muslim apabila ia meninggal dunia.

  1. Apabila seorang muslim meninggal dunia, disunnahkan memejamkan kedua matanya dan berdoa saat memejamkan matanya dengan doanya,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِفُلانٍ، وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي المَهْدِيِّينَ، وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ، وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ، وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الغَابِرِينَ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ العَالَمِينَ- أخرجه مسلم

Ya Allah, ampunilah fulan (dengan menyebut namanya), tinggikan derajatnya pada orang-orang yang mendapat petunjuk, luaskanlah kuburnya, terangilah ia di dalamnya, gantikanlah ia pada keturunannya yang masih tersisa, dan berilah ampunan untuk kami dan dia wahai Rabb semesta alam.’ HR. Muslim.[3]

Kemudian diikat kedua rahangnya dengan pembalut, dilembutkan persendiannya dengan pelan, mengangkatnya dari tanah, melepas pakaiannya, dan menutupnya dengan pakaian yang menutupi semua badannya, kemudian memandikannya.

  1. Disunnahkan bersegera membayar hutangnya, melaksanakan wasiatnya, segera mengurus jenazahnya, menshalatkannya, menguburkannya di daerah tempat ia meninggal dunia. Boleh bagi yang menghadirinya dan yang lainnya membuka wajahnya, mengecupnya dan menangisinya.

Wajib menunaikan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dari orang yang wafat, jika hak-hak itu seperti zakat, nazar, kafarat dan haji Islam. Dan didahulukan dari hak-hak ahli waris dan dari hutang. Hutang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih utama untuk dibayar, dan jiwa seorang muslim digantungkan dengan hutangnya sampai dibayar.

Boleh bagi seorang perempuan berihdad (tidak berhias diri, sebagai tanda duka cita) karena kematian anaknya atau yang lainnya selama tiga hari, dan karena kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Dan seorang perempuan akan menjadi istri dari suaminya yang terakhir pada Hari Kiamat.

Diharamkan atas karib kerabat yang meninggal dan selain mereka meratapi kematian, yaitu perkara yang melebihi tangisan. Seorang mayit disiksa di dalam kuburnya karena diratapi. Dan diharamkan saat musibah memukul pipi, merobek lobang baju, mencukur dan mencabik rambut.

Baca Juga  Kitab Zakat

Dibolehkan menginformasikan kepada orang banyak tentang kematian seseorang supaya mereka menyaksikan jenazahnya dan menshalatkannya. Dianjurkan bagi yang memberi informasi meminta orang-orang beristigfar dan memohon ampun untuknya. Diharamkan na’yu, yaitu memberi informasi tentang kematian karena membanggakan diri dan semisalnya.

Apa yang dikatakan dan dilakukan orang yang mengalami musibah, saat mendapat musibah.
Saat karib kerabat yang meninggal dunia mengetahui kematiannya, mereka wajib bersikap sabar. Dan disunnahkan bersikap ridha terhadap qadar, mengharap pahala dan istirja‘ (membaca innalillahi wa inna ilaihi raaji’un).

  1. Dari Ummu Salamah Radhiyhallahu anha, istri nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,

عن أم سلمة رضي الله عنها زوج النبي- صلى الله عليه وسلم- قالت: سمعت رسول الله- صلى الله عليه وسلم- يقول: «مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُولُ: إنَّا للهِ وَإنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ، اللَّهُمَّ أَجُرْنِي فِي مُصِيْبَتِي، وَأَخْلِفْ لِي خَيْراً مِنْهَا إلَّا أَجَرَهُ الله فِي مُصِيْبَتِهِ، وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْراً مِنْهَا». أخرجه مسلم.

‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak ada seorang hamba yang mendapat musibah, lalu ia membaca,

إنَّا للهِ وَإنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ، اللَّهُمَّ أَجُرْنِي فِي مُصِيْبَتِي، وَأَخْلِفْ لِي خَيْراً مِنْهَا 

‘Sesungguhnya kita adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesungguhnya kita kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah pahala kepadaku dalam musibahku dan gantikanlah untukku yang lebih baik darinya.’

Melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi pahala kepadanya dalam musibahnya dan menggantikan baginya yang lebih baik darinya.HR. Muslim.[4]

  1. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata :

عن أنس رضي الله عنه قال: قال النبي- صلى الله عليه وسلم-: «مَا مِنَ النَّاسِ مِنْ مُسْلِمٍ يُتَوَفَّى لَهُ ثَلاثةٌ لَمْ يَبْلُغُوا الحِنْثَ إلَّا أَدْخَلَهُ الله الجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إيَّاهُم أخرجه البخاري.

‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak ada seorang muslim yang meninggalkan tiga orang anaknya yang belum baligh, melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memasukkannya ke surga dengan karunia rahmat-Nya kepada mereka.‘ HR. al-Bukhari.[5]

Sabar adalah menahan diri dari keluh kesah, menahan lisan dari mengadu, dan menahan anggota tubuh dari yang diharamkan, seperti memukul pipi, merobek baju dan semisalnya.

Hukum melakukan otopsi kepada mayat.
Boleh mengotopsi mayat seorang muslim, jika tujuannya menyelidiki tuduhan kriminalitas, atau menyelidiki penyakit menular, karena hal itu mengandung mashlahat yang berpulang pada keamanan dan keadilan dan menjaga umat dari penyakit berbahaya yang menular. Jika otopsi itu untuk tujuan belajar dan mengajar, maka seorang muslim harus dimuliakan hidup dan mati. Cukuplah dengan mengotopsi mayat non muslim, kecuali saat terpaksa dengan syarat-syaratnya.

Ξ Memandikan mayat

[Disalin dari مختصر الفقه الإسلامي   (Ringkasan Fiqih Islam Bab : Ibadah العبادات ) Penulis : Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri  Penerjemah Team Indonesia islamhouse.com : Eko Haryanto Abu Ziyad dan Mohammad Latif Lc. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2012 – 1433]
_______
Footnote
[1]  Muttafaqun ‘Alaihi. HR. al-Bukhari no. 6351, ini adalah lafazhnya dan Muslim no. 2680
[2]  HR. Muslim 2877
[3]  HR. Muslim no 920
[4]  HR. Muslim no. 918
[5]  HR. al-Bukhari 1248