Cabang-Cabang Iman

CABANG-CABANG IMAN

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan Lâ ilâha illallâh, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan.Dan malu itu termasuk bagian dari iman.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri, no. 9 dan dalam al-Adabul Mufrad, no. 598; Muslim, 35 [58], dan lafazh hadits di atas adalah lafazh riwayat imam Muslim; Ahmad, II/414, 445; Abu Dawud, no. 4676; At-Tirmidzi, no. 2614; An-Nasâ-I, VIII/110; Ibnu Mâjah, no. 57; Ibnu Hibban, no. 166, 181, 191-at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân).

KOSA-KATA HADITS

  • بِضْعٌ : Bilangan antara tiga hingga sembilan.
  • شُعْبَةٌ : Bagian atau cabang, jamaknya شُعَبٌ.
  • اَلْحَيَاءُ : Malu. Yaitu akhlak yang bisa membangkitkan semangat untuk menjauhi segala keburukan dan menjaga diri dari melakukan pelecehan terhadap hak orang lain.
  • أَفْضَلُهَا : Yang paling utama. Dalam lafazh lain أَرْفَعُهَا , yakni yang paling tinggi dan paling banyak pahalanya.
  • إِمَاطَةُ الْأَذَى : Menyingkirkan gangguan. Yaitu menyingkirkan segala yang dapat mengganggu manusia atau makhluk lainnya.[1]
  • اَلْأَذَى : Gangguan, bentuknya umum, seperti duri, tulang, pecahan kaca, batu, pohon yang tumbang, dan benda-benda berbahaya lainnya.

SYARAH HADITS
Hadits ini menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan dan perbuatan hati, amalan anggota badan, perkataan lisan, serta semua yang bisa mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , juga segala yang dicintai dan diridhai-Nya, baik yang wajib maupun yang mustahabb. Itu semua masuk dalam iman.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْبِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً

Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih , atau enam puluh cabang lebih

Definisi iman menurut Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa dien dan iman adalah ucapan dan  perbuatan; perkataan hati dan lisan, amalan hati, lisan dan anggota tubuh.

Iman itu bertambah dengan sebab ketaatan dan bisa berkurang dengan sebab perbuatan dosa dan maksiat.

Prinsip Ahlus Sunnah tentang iman adalah sebagai berikut:[2]

  1. Iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkannya dengan lisan dan mengamalkannya dengan anggota badan.
  2. Seluruh amal perbuatan, yang meliputi amalan hati dan anggota badan adalah termasuk hakikat iman. Ahlussunnah tidak mengeluarkan amalan sekecil apa pun dari hakekat iman ini, apalagi amalan-amalan besar dan agung.
  3. Bukan termasuk pemahaman Ahlussunnah yaitu yang menyatakan bahwa iman itu hanya pembenaran dengan hati saja! Atau pembenaran dengan pengucapan lisan saja! Tanpa amalan anggota badan!

Barangsiapa berpendapat demikian, maka ia telah sesat dan menyesatkan. Sesungguhnya pemahaman seperti ini berasal dari kejelekan faham kaum Murji’ah.

  1. Iman memiliki cabang serta tingkatan. Sebagian di antaranya jika ditinggalkan bisa menyebabkan kekufuran; Sebagian yang lain jika ditinggalkan adalah dosa, baik dosa kecil ataupun dosa besar; Dan sebagian yang lain jika ditinggalkan akan menyebabkan hilangnya kesempatan memperoleh pahala dan menyia-nyiakan ganjaran.
  2. Iman dapat bertambah dengan sebab melakukan ketaatan hingga mencapai kesempurnaan, dan dapat berkurang dengan sebab kemaksiatan atau bahkan sirna, tidak tersisa sedikit pun.

Dalam hadits ini disebutkan iman yang paling utama, yang paling rendah, serta yang pertengahan. Yang pertengahan yaitu malu. Malu disebutkan di sini, karena ia merupakan faktor terkuat yang mendorong seseorang mengerjakan seluruh cabang keimanan.

Orang merasa malu terhadap Allâh Azza wa Jalla karena menyadari nikmat Allâh Azza wa Jalla yang melimpah kepadanya, kedermawanan-Nya, kemuliaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya –sementara dia seorang hamba yang sangat banyak kekurangannya terhadap Rabbnya Yang Maha Mulia dan Maha Besar, dia  menzhalimi dirinya dan bermaksiat. Kesadaran ini mengharuskan dirinya memiliki rasa malu untuk mencegahnya dari (berbuat) kejahatan dan mengerjakan segala kewajiban dan keutamaan-keutamaan.

Cabang iman yang paling tinggi, paling pokoknya, akar dan pondasi iman adalah perkataan لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ dengan jujur dari hatinya, dalam keadaan tahu, sadar dan meyakini bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allâh semata. Allâh Azza wa Jalla, Rabb yang mengurusnya dan mengurus seluruh alam dengan keutamaan dan kebaikan-Nya.

Segala sesuatu itu selain Allâh Azza wa Jalla itu faqir, hanya Allâh Yang Maha Kaya. Segala sesuatu itu lemah, hanya Allâh Yang Maha Kuat. Kemudian seorang hamba beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dalam setiap keadaan, mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya. Karena semua cabang-cabang iman itu merupakan cabang dan buah dari pokok ini.

Hadits ini juga menunjukkan bahwa sebagian iman itu kembali kepada pengikhlasan ibadah kepada Allâh dan sebagiannya lagi kembali kepada berbuat baik kepada sesama makhluk.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ

Yang paling utama yaitu perkataan Lâ ilâha illallâh

Kalimat syahadat merupakan kalimat yang paling agung dan memiliki banyak keutamaan.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh. Kalimat yang menjadi tegak dengannya langit dan bumi. Semua makhluk diciptakan karena kalimat ini. Dengan (membawa misi) kalimat itu, Allâh Azza wa Jalla mengutus para Rasul-Nya, menurunkan Kitab-kitab-Nya, dan menetapkan syari’at-Nya. Dengan sebab kalimat itulah mizan (timbangan) diadakan, diletakkan catatan-catatan amal, serta manusia digiring menuju surga atau neraka. Dengan sebab kalimat ini, makhluk terbagi menjadi dua: Mukmin dan kafir, serta yang baik dan yang jahat. Kalimat itu adalah pangkal dari penciptaan, perintah, pahala, dan siksa. Ia adalah kebenaran yang karenanya makhluk diciptakan. Tentangnya dan tentang hak-haknya diadakan pertanyaan dan hisab (perhitungan). Atas dasar kalimat itulah ada pahala dan siksa, kiblat dipancangkan, dan azas-azas agama diletakkan. Dan karena kalimat inilah pedang-pedang jihad dihunus. Dia adalah hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas segenap makhluk-Nya. Dia adalah kalimat Islam dan kunci negeri kesejahteraan (Surga). Tentangnyalah makhluk yang pertama dan yang terakhir akan ditanya.

Sungguh, kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser di hadapan Allâh Azza wa Jalla sampai dia tanya tentang dua pertanyaan:

  1. Apa yang dahulu engkau ibadahi?
  2. Bagaimana sambutanmu terhadap para Rasul?

Jawaban pertanyaan pertama ialah dengan mewujudkan (syahadat) “Lâ ilâha illallâh (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh)” dalam ‘ilmu (pengetahuan), pengakuan dan pengamalan.

Sedang jawaban pertanyaan kedua adalah dengan mewujudkan (syahadat) “bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allâh” baik dalam ‘ilmu (pengetahuan), pengakuan, kepatuhan, dan ketaatan.”[3]

Makna Kalimat[لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ  [4
Makna yang benar dari kalimat Tauhid لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ adalah:

لَا مَعْبُوْدَ بِـحَقٍّ إِلَّا اللهُ

Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh

Lafazh لَا إِلٰـهَ (lâ ilâha) adalah menafikan semua yang disembah selain Allâh, dan lafazh إِلَّا اللهُ (illallâh) adalah menetapkan segala bentuk ibadah yang ditujukan hanya kepada Allâh semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak ada sekutu bagi Allâh dalam kekuasaan-Nya.[5]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Apabila seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang berhak diibadahi kecuali Dia, maka ia telah memberitakan, menjelaskan, dan mengabarkan bahwa selain-Nya bukan ilah yang berhak diibadahi. Allâh satu-satunya yang berhak diibadahi.”[6]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ini merupakan kalimat yang paling agung yang menafikan sesembahan kepada selain Allâh dan menetapkan segala sifat yang istimewa untuk Allâh Azza wa Jalla . Penunjukan kalimat ini akan penetapan bahwasanya tiada ilah yang berhak disembah selain Allâh lebih besar daripada sekedar perkataan kita “Allâh adalah Ilaah,” dan tidak ada satupun yang meragukan ini.”[7]

Semua yang disembah selain Allâh dinamakan آلِهَة (tuhan-tuhan) karena mereka memang disembah oleh manusia, meskipun pada hakikatnya mereka tidak berhak diibadahi tetap saja namanya tuhan. Akan tetapi, semua itu adalah tuhan yang bathil. Maka, penamaan إِلٰـهٌ (ilaah) bagi sesembahan selain Allâh ditetapkan dalam satu segi dan dinafikan dalam segi yang lain. Ditetapkan dari segi eksistensinya dan dinafikan dari segi keberhakannya untuk diibadahi.[8]

Baca Juga  Al Qur`an Menurut Pandangan Lima Firqah

Rukun-Rukun Kalimat  لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ
Kalimat syahadat lâ ilâha illallâh memiliki dua rukun: yaitu al-itsbât (menetapkan) dan an-nafyu (meniadakan).

Lafazh lâ ilâha berarti meniadakan atau menolak (an-nafyu) segala ilah (sesembahan) selain Allâh Azza wa Jalla .

Dan lafazh illallâh berarti menetapkan (al-itsbaat) bahwa segala bentuk ibadah (penghambaan) itu hanya bagi Allâh semata, tidak ada sesuatu pun yang boleh dijadikan sebagai sekutu dalam peribadahan kepada-Nya.

Ini ditopang dengan dalil-dalil yang sangat banyak, di antaranya:

Firman Allâh Azza wa Jalla :

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

… Barangsiapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allâh, maka sungguh ia telah berpegang pada tali yang sangat kuat. Allâh Maha Mendengar, Maha Mengetahui. [Al-Baqarah/2:256]

Rukun pertama yaitu an-nafyu, ada pada lafazh,

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ

 “…Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut…”

Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Thaghut adalah semua yang diibadahi selain Allâh Azza wa Jalla .”[9]

Sedangkan rukun kedua yaitu al-itsbât, ada pada lafazh:

وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ

 “Dan beriman kepada Allâh…”

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

Demikianlah (kebesaran Allâh) karena Allâh, Dia-lah (Rabb) Yang Haqq (untuk diibadahi). Dan apa saja yang mereka ibadahi selain Dia, itulah yang bathil. Dan sungguh Allâh, Dia-lah Yang Mahatinggi, Mahabesar.”[Al-Hajj/22: 62]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَالَ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ، وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.

Barangsiapa telah mengucapkan lâ ilâha illallâh (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh) dan mengingkari (sesembahan-sesembahan) selain Allâh, maka haramlah harta dan darahnya, dan hisab (perhitungan amal)nya diserahkan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala[10]

Konsekuensi dari rukun kalimat ini yaitu seorang Muslim yang sudah jelas mengucapkan kalimat tauhid ini, maka ia wajib menolak dan mengingkari semua yang disembah selain Allâh Azza wa Jalla . Semua yang disembah dan diibadahi selain Allâh adalah bathil. Dan ia pun wajib menetapkan bahwa satu-satunya yang benar dan yang wajib diibadahi hanya Allâh Azza wa Jalla saja. Kita wajib beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak boleh kepada selain-Nya.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ

Dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan keharusan menyingkirkan gangguan dari semua jalan kebaikan, Karena itu merupakan kebaikan yang mengandung banyak manfaat, serta bisa mencegah bahaya pada makhluk.

Seorang yang beriman harus berusaha menyingkirkan apa saja yang mengganggu jalan kaum Muslimin. Dia harus berusaha menyingkirkan batu, duri, kayu, pohon yang tumbang, dahan yang patah, pecahan kaca dan yang lainnya. Dan termasuk mengganggu jalan kaum Muslimin yaitu bila seseorang parkir mobil atau motor atau berhenti sembarangan yang menutup jalan orang lewat. Oleh karena itu seseorang harus parkir pada tempatnya dan tidak boleh mengganggu jalan kaum Muslimin.

Menyingkirkan gangguan dari jalan kaum Muslimin mempunyai banyak keutamaan, di antaranya:

  1. Menghilangkan gangguan dari kaum Muslimin.
  2. Memperlancar jalan kaum Muslimin.
  3. Memudahkan orang untuk melewati jalan tersebut.
  4. Termasuk tolong menolong dalam kebaikan.
  5. Allâh akan mengampuni dosa orang tersebut.
  6. Allâh akan memasukkan orang tersebut ke dalam surga.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَقَدْ رَأَيْتُ رَجُلاً يَتَقَلَّبُ فِي الجَنَّةِ فِي شَجَرَةٍ قَطَعَهَا مِنْ ظَهْرِ الطَّرِيْقِ كَانَتْ تُؤْذِي الْمُسْلِمِيْنَ

Sungguh, aku melihat seseorang bolak-balik (bersenang-senang) di surga dengan sebab sebatang pohon yang ia potong dari jalan karena mengganggu kaum Muslimin.[11]

وَفِي رِوَايَةٍ : مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهرِ طَرِيْقٍ ، فَقَالَ : وَاللهِ لَأُنَـحِّـيَنَّ هَذَا عَنِ الْمُسْلِمِيْنَ لَا يُؤْذِيْهِمْ ، فَأُدْخِلَ الْـجـَنَّةَ

Dalam riwayat lain: Ada laki-laki yang melewati batang pohon yang berada di tengah jalan, lalu ia berkata, ‘Demi Allâh! Saya akan menyingkirkannya agar tidak mengganggu kaum Muslimin.’ Maka (dengan itu) ia dimasukkan ke surga.[12]

وَفِي رِوَايَةٍ لَهُمَا : بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَريْقٍ وَجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ عَلَى الطَّرِيْقِ فَأَخَّرَهُ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ ، فَغَفَرَ لَهُ

Dalam riwayat lain di al-Bukhâri dan Muslim, “Suatu hari seseorang melewati sebuah jalan lalu mendapati dahan berduri di jalan tersebut. Lalu ia menyingkirkannya, kemudian dengan itu Allâh berterima kasih kepadanya dan mengampuninya.”[13]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ

Dan malu itu termasuk bagian dari iman

Malu yaitu rasa yang menimpa seseorang ketika dia melakukan perbuatan yang membuatnya gelisah. Malu termasuk sifat yang terpuji. Akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya juga malu. Sampai-sampai Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit, tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah malu dalam kebenaran.

Jadi, malu itu adalah sifat terpuji, tetapi tidak patut malu dalam hal kebenaran. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ

… Allâh tidak malu (menerangkan) yang benar… [Al-Ahzâb/33:53]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا

Sesungguhnya Allâh tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu… [Al-Baqarah/2:26]

Tidak patut malu dalam  kebenaran. Rasa malu pada selain kebenaran, termasuk akhlak terpuji. Orang yang tidak memiliki rasa malu, dia tidak peduli dengan apa yang dia perbuat dan apa yang dia katakan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُوْلَى:  إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ؛ فَاصْنَعْ مَاشِئْتَ

Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah: ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.[14]

Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[15]

Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata alhayâ (hujan), tetapi makna ini tidak masyhur. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu seseorang. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.

Al-Junaid rahimahullah berkata, “Rasa malu yaitu menyadari kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan rasa malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotifasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[16]

Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa: Malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat dan mencegah dari sikap melalaikan hak orang lain.[17]

Malu, ada dua jenis, yaitu:

1. Malu yang merupakan karakter dan watak bawaan
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allâh Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْحَيَاءُ لَا يَأْتِيْ إِلَّا بِخَيْرٍ

Malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan.[18]

Karena malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya berperangai dengan akhlak mulia. Dalam konteks ini, malu seperti itu termasuk iman. Al-Jarrah bin ‘Abdullah al-Hakami rahimahullah berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu kemudian aku mendapatkan sifat wara’ (takwa).”[19]

2. Malu yang timbul karena adanya usaha
Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allâh) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang khianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha ini juga sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabiat maupun yang didapat dengan usaha maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari perbuatan keji dan maksiat, sehingga ia menjadi syaitan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allâh.[20]

Dahulu orang-orang Jahiliyyah sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya. Diantara contohnya, apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Sufyan berkata:

فَوَاللهِ، لَوْلَا الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ

Demi Allâh! Kalau bukan karena rasa malu yang aku khawatir dituduh sebagai pendusta oleh mereka, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Rasûlullâh).[21]

Baca Juga  Jangan Dekati Zina!

Rasa malu telah menghalanginya untuk berbuat dusta mengenai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia malu dituduh sebagai pendusta.

Konsekuensi malu menurut syari’at Islam yaitu sebagaimana disebutkan dalam hadits. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ. مَنِ اسْتَحْىَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَاوَعَى وَلْيَحْفَظِ الْبَطْنَ وَمَاحَوَى وَلْيَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذٰلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

Hendaklah kalian malu kepada Allâh dengan sebenar-benar malu. Barangsiapa merasa malu kepada Allâh dengan benar, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya! Hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya! Dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan (ketika engkau sudah menjadi) tulang belulang! Barangsiapa menginginkan kehidupan akhirat, hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allâh dengan sebenar-benar malu.[22]

Jika kita mengetahui bahwa cabang-cabang iman semuanya kembali kepada perkara-perkara ini, maka kita juga mengetahui bahwa semua kebiasaan baik yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam termasuk cabang iman. Dan kadar keimanan seorang hamba, tergantung pada kadar kebiasaannya itu.

Allâh Azza wa Jalla memisalkan iman dengan pohon yang baik, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ ﴿٢٤﴾ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allâh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit,(pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Rabb-nya. Dan Allâh membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.” [Ibrâhîm/14:24-25]

FAWAAID.

  1. Iman itu bertingkat-tingkat, sebagiannya lebih tinggi daripada yang lain.
  2. Iman mencakup ucapan dan perbuatan.
  3. Iman menurut ahlus sunnah yaitu keyakinan hati, ucapan dengan lisan dan melaksanakan dengan anggota tubuh. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab perbuatan dosa dan maksiat.
  4. Keimanan merupakan pendorong dan penentu bagi amal shalih.
  5. Iman mencakup beberapa bagian, sehingga ia dapat bertambah dan berkurang.
  6. Iman bisa bertambah dengan sebab mengerjakan ketaatan hingga menjadi sempurna dan berkurang dengan sebab melakukan kemaksiatan hingga akhirnya sirna dan tidak tersisa.
  7. Pembedaan tingkat keimanan tidak dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan terhadap syi’ar-syi’ar agama Islam, sebab semua ketentuan itu berasal dari Allâh Azza wa Jalla .
  8. Kalimat لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ adalah cabang iman yang paling tinggi dan paling utama. Kalimat لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ adalah kalimat tauhid, apabila orang mengucapkannya maka ia menjadi Muslim.
  9. Orang yang mengucapkan kalimat لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ maka haram darah dan hartanya.
  10. Setiap Muslim wajib mengetahui makna, rukun, dan konsekuensi kalimat لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ.
  11. Di antara konsekuensi kalimat لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ yaitu wajib mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh saja dan mengingkari semua yang disembah selain Allâh Azza wa Jalla , karena sesembahan selain Allâh Azza wa Jalla semuanya adalah bathil.
  12. Kalimat لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ bila ditimbang pada hari kiamat dengan langit yang tujuh dan bumi yang tujuh, maka yang paling berat adalah kalimat لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ.
  13. Menyingkirkan gangguan dari jalan kaum Muslimin termasuk cabang iman yang paling rendah.
  14. Meskipun tingkatannya paling rendah, tapi mempunyai keutamaan yang besar, bahkan dapat memasukkan seseorang ke dalam surga.
  15. Anjuran untuk menghilangkan apa saja yang mengganggu jalan kaum Muslimin.
  16. Tidak boleh seseorang membuang benda apapun di jalan kaum Muslimin yang mengganggu mereka.
  17. Islam adalah agama yang membawa kepada maslahat (kebaikan) dan menghilangkan mafsadat (kerusakan) dan Islam adalah agama yang bersih.
  18. Malu merupakan akhlak terpuji dan bagian dari iman yang wajib.
  19. Orang-orang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan jelek.
  20. Malu adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan perbuatan buruk.
  21. Malu yang mencegah seseorang dari melaksanakan kewajiban, menuntut ilmu dan mencari kebenaran adalah malu yang tercela.
  22. Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.
  23. Buah dari malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan) dan wafa’ (setia).

MARAAJI’:

  1. Kutubus sittah
  2. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal
  3. At-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban
  4. Madârijus Sâlikîn, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
  5. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
  6. Bahjatu Qulûbil Abrâr wa Qurrati ‘Uyûnil akhyâr fii Syarh Jawâmi’il Akhbâr, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.
  7. Bahjatun Nâzhîrin Syarh Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
  8. Al-Hayâ` fî Dhau-il Qur`ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Salim al-Hilali.
  9. Syahâdatu an Lâ Ilâha illallâh,Syaikh DR. Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz ‘Utsman as-Sindi
  10. Dan lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhish Shâlihîn, I/205 dengan sedikit tambahan.
[2] Lihat at-Tanbîhat al-Lathîfah, hlm. 84-89, Mujmal Masâ-il Îmân wal Kufri al-‘Ilmiyyah fii Ushûlil ‘Aqîdah as-Salafiyyah, hlm. 21-27, cet. II, 1424 H dan Mujmal Ushûl Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fil ‘Aqîdah, hlm. 18-19.
[3] Zâdul Ma’âd fii Hadyi Khairil ‘Ibâd, I/34, oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah
[4] Dinukil dari al-Ushûl ats-Tsalâtsah karya Syaikh al-Mujaddid Muhammad bin ‘Abdul Wahhab; Fat-hul Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd karya Syaikh ‘Abdur-rahman bin Hasan Alusy Syaikh; Taisîr ‘Azîzil Hamîd karya Syaikh Sulaiman bin ‘Abdillah Alusy Syaikh; Al-Qaulul Mufîd ‘alâ Kitâbit Tauhîd karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin; ‘Aqîdatut Tauhîd karya Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan; serta Syahâdatu an Lâ Ilâha illallâh karya Syaikh DR. Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz ‘Utsman as-Sindy, dan kitab-kitab lainnya.
[5] Syarh Tsalâtsatil Ushûl, hlm. 71 Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
[6] Majmû’ al-Fatâwâ, XIV/171
[7] Badâ`i’ul  Fawâ`id, III/926
[8] Syahâdatu an Lâ Ilâha illallâh, hlm.22
[9] Fat-hul Majîd Syarh Kitâbut Tauhiid, I/88; tahqiq DR. Al-Waalid bin ‘Abdur-Rahman bin Muhammad Aalu Furayyan.
[10] Shahih: HR. Muslim, no. 23 (37), dari Abu Malik, dari ayahnya, yaitu Thariq bin Asy-yam Radhiyallah anhu
[11] Shahih: HR. Muslim, no. 1914 [129] , dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[12] Shahih: HR. Muslim, no. 1914 [128]
[13] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 652 dan Muslim, no. 1914 [127]
[14] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 3483, 3484, 6120; Ahmad, IV/121, 122, V/273; Abu Dawud, no. 4797; dan lainnya, dari ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari al-Badri Radhiyallahu anhu
[15] Lihat Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ, hlm. 54 karya Ibnu Hibban al-Bustiy.
[16] Madârijus Sâlikîn, II/270, cet. Darul Hadits-Kairo.Lihat juga Fat-hul Bâri, X/522 tentang definisi malu.
[17]  Lihat al-Hayâ’ fî Dhau-il Qur’ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah, hlm. 9
[18] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6117 dan Muslim, no. 37 (61)
[19]  Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, I/501
[20]  Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id, hlm. 181
[21]  Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 7
[22] Hasan: HR. At-Tirmidzi, no. 2458; Ahmad, I/387; al-Hakim, IV/323; dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no. 4033 dan ini lafazhnya. Derajat hadits ini hasan karena ada syawahid (penguat)nya. Lihat Shahîh al-Jâ-mi’ish Shaghîr, no. 935 dan Takhrîj Hidâyatur Ruwât, II/182-183, no. 1551