I’tikaaf

I’TIKAAF

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله

Definisi I’tikaaf
I’tikaaf berasal dari kata:

عَكَفَ – يَعْكُفُ – عُكُوْفًا.

Kemudian disebut dengan i’tikaaf:

اِعْتَكَفَ – يَعْتَكِفُ – إِعْتِكَافًا .

I’tikaaf menurut bahasa ialah : “Menetapi sesuatu dan menahan diri padanya, baik sesuatu berupa kebaikan atau kejahatan.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَٰذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya? [al-Anbiyaa/21:52]

I’tikaaf berarti: “Tekun dalam melakukan sesuatu. Karena itu, orang yang tinggal di masjid dan melakukan ibadah disana, disebut mu’takif atau ‘aakif”.[1]

Sedangkan arti i’tikaaf menurut istilah syara’ ialah: “Seseorang tinggal/menetap di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan sifat/ciri tertentu[2]

Disyariatkannya I’tikaaf
Para ulama sepakat bahwa i’tikaaf disyari’atkan dalam agama Islam pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya dan i’tikaaf yang paling utama adalah pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. Hal tersebut karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selalu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits:

Hadits pertama.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللّهُ تَعَالَى ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ia berkata: Adalah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasa beri’tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melaksanakan i’tikaaf sepeninggalnya” (HR. Ahmad VI/92, al-Bukhari no. 2026, Fat-hul Baari IV/271, Muslim no. 1172 (5), Abu Dawud no. 2462, dan al-Baihaqi IV/ 315, 320)

Hadits kedua.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللّهُ عَنْهمَا قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam biasa i’tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan”. (HR al-Bukhari no. 2025 dan Muslim no. 1171 (2))

Hadits ketiga.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَى لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila sudah masuk sepuluh hari terakhir (dari bulan Ramadhan, maka beliau) mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malam itu, membangunkan istrinya”. (HR Ahmad VI/41, al-Bukhari no. 2024, Muslim no. 1174, Abu Dawud no. 1376, an-Nasa-i III/218, lafazh ini milik al-Bukhari)

Maksud dari kalimat :

  1. Mengikat kainnya”, adalah satu kinayah bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam beribadah dan tidak bercampur dengan istri-istrinya karena beliau selalu melakukan i’tikaaf setiap sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sedangkan orang yang i’tikaaf tidak boleh bercampur dengan istrinya.
  2. Menghidupkan malamnya”, artinya beliau Shallallahu alaihi wa sallam sedikit sekali tidur dan banyak melakukan shalat dan berdzikir.
  3. Membangunkan istrinya”, yakni menyuruh mereka shalat malam (Tarawih) serta melakukan ibadah-ibadah lainnya.[3]

Hadits keempat.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِيْ غَيْرِهِ

Aisyah Radhiyallahu anha berkata: Ialah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh hari terakhir (dari bulan Ramadhan) melebihi kesungguhannya di malam-malam lainnya”. (HR. Ahmad VI/256 dan Muslim no. 1175)

Setiap ibadah yang nashnya sudah jelas dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih, maka itu pasti mempunyai keutamaan, meskipun tidak disebutkan keutamaannya. Begitu pula tentang i’tikaaf, walaupun i’tikaaf itu merupakan taqarrub kepada Allah yang mempunyai keutamaan, akan tetapi tidak ditemukan sebuah hadits pun yang menerangkan tentang keutamaannya.

Imam Abu Dawud as-Sijistan berkata, “Aku bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukah engkau suatu keterangan mengenai keutamaan i’tikaaf?” Jawab beliau : Tidak aku dapati, kecuali sedikit riwayat dan riwayat ini pun lemah. Dan tidak ada khilaf (perselisihan) di antara ulama bahwa i’tikaaf adalah Sunnah”.[4]

Baca Juga  I'tikaf Pada Sepuluh Hari Terakhir Dari Bulan Ramadhan

Hikmah I’tikaaf
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: Kebaikan hati dan kelurusannya dalam menempuh jalan Allah tergantung pada totalitasnya berbuat karena Allah, dan kebulatannya secara total hanya tertuju kepada Allah Azza wa Jalla. Ketercerai-beraian hati tidak bisa disatukan kecuali oleh langkah menuju Allah Azza wa Jalla. Berlebih-lebihan dalam makan, minum, pergaulan dengan manusia, pembicaraan yang banyak dan kelebihan tidur, hanya menambah ketercerai-beraian hati serta terserak di setiap tempat, memutusnya dari jalan menuju Allah, atau melemahkan, merintangi, atau menghentikannya dari hubungan kepada Allah.

Adanya rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya menuntut disyari’atkannya puasa bagi mereka yang dapat menyingkirkan ketamakan hati dari gejolak hawa nafsu yang menjadi perintang bagi perjalanan menuju Allah. Dia mensyari’atkan puasa sesuai dengan kemaslahatan, dimana akan memberi manfaat kepada hamba-Nya di dunia dan akhirat, serta tidak mencelakakannya dan juga tidak memutuskan dirinya dari kepentingan duniawi dan ukhrawinya.

Allah Azza wa Jalla juga mensyari’atkan i’tikaaf bagi mereka, yang maksud dan ruhnya adalah keteguhan hati kepada Allah Azza wa Jalla semata serta kebulatannya hanya kepada-Nya, berkhulwat kepada-Nya, dan memutuskan diri dari kesibukan duniawi, serta hanya menyibukkan diri beribadah kepada Allah Azza wa Jalla semata. Di mana, dia menempatkan dzikir, cinta, dan menghadapkan wajah kepada-Nya di dalam keinginan dan lintasan-lintasan hati, sehingga semua itu menguasai perhatiannya.

Selanjutnya, keinginan dan detak hati hanya tertuju kepada dzikir kepada-Nya serta tafakkur untuk mendapatkan keridhaan-Nya serta mengerjakan apa yang mendekatkan diri kepada-Nya, sehingga keakrabannya hanya kepada Allah, sebagai ganti dari keakrabannya terhadap manusia. Sehingga ia siap dengan bekal akrabnya kepada Allah pada hari yang menakutkan di dalam kubur, saat di mana dia tidak mempunyai teman akrab. Dan tidak ada sesuatu yang dapat menyenangkan, selain Dia. Itulah maksud dari i’tikaaf yang agung.[5]

Hukum I’tikaaf
Hukum i’tikaaf ada dua macam, yaitu:

  1. Sunnat.
  2. Wajib.

I’tikaaf sunnat ialah yang dilakukan oleh seseorang dengan sukarela dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan pahala daripada-Nya serta mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sepanjang tahun.

I’tikaaf seperti ini sangatlah ditekankan. I’tikaaf yang sunnah ini tidak boleh ditetapkan 1 hari atau 3 hari secara rutin kecuali yang ditetapkan syari’at. I’tikaaf yang paling utama adalah yang dilakukan pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada setiap bulan Ramadhan sampai beliau Shallallahu alaihi wa sallam wafat.

I’tikaaf yang wajib ialah i’tikaaf yang diwajibkan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri, adakalanya dengan nadzar mutlak, misalnya ia mengatakan, Wajib bagi saya i’tikaaf karena Allah selama sehari semalam. “Atau dengan nadzar bersyarat, misalnya ia mengatakan, jika Allah menyembuhkan penyakit saya, maka saya akan i’tikaaf dua hari dua malam”. Nadzar ini wajib dilaksanakan.

Dalam sebuah hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ .

Barangsiapa yang bernadzar akan melakukan sesuatu ketaatan kepada Allah, hendaklah ia penuhi nadzarnya itu, dan Barangsiapa bernadzar untuk melakukan maksiat (kedurha-kaan/kesyirikan) kepada Allah, maka janganlah lakukan maksiat itu”. (HR al-Bukhari no. 6696, 6700, Abu Dawud no. 3289, an-Nasa-i VII/17, at-Tirmidzi no. 1526, ad-Darimi II/184, Ibnu Majah no. 2126, Ahmad VI/36, 41, 224 dan al-Baihaqi IX/ 231, X/68, 75 dan Ibnul Jarud no. 934).

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللّهُ عَنْهُمَا أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، قَالَ: فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ

Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ya Rasulullah, aku pernah bernadzar di zaman Jahiliyyah akan beri’tikaaf satu malam di Masjidil Haram?” Sabda beliau: “Penuhilah nadzarmu itu!” (HR al-Bukhari no. 2032, Fat-hul Baari IV/ 274 dan Muslim no. 1656)

Waktu I’tikaaf
I’tikaaf yang wajib, dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinadzarkan dan diiqrarkan seseorang, maka jika ia bernadzar akan beri’tikaaf satu hari atau lebih, hendaklah ia penuhi seperti yang dinadzarkan itu.

Baca Juga  Waktu Minimal Untuk Beri'tikaf

Adapun i’tikaaf yang sunnat, tidaklah terbatas waktunya.

Imam asy-Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan kebanyakan ahli fiqh berpendapat bahwa i’tikaaf yang sunnat tidak ada batasnya.[6]

Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Boleh seseorang beri’tikaaf siang saja atau malam saja. Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi’i dan Abu Sulaiman”.[7]

Syarat-Syarat I’tikaaf
Syarat-syarat bagi orang yang i’tikaaf ialah:

  1. Seorang Muslim.
  2. Mumayyiz.
  3. Suci dari janabat, suci dari haidh dan suci dari nifas.

Apabila i’tikaaf dilakukan di luar bulan Ramadhan, maka:

  1. Menurut Ibnul Qayyim: “Puasa sebagai syarat sahnya i’tikaaf dan ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama Salaf”. Dan pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.[8]
  2. Menurut Imam asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm, bahwa puasa bukan syarat sahnya i’tikaaf. Jika seorang yang beri’tikaaf mau puasa, maka ia puasa. Jika ia tidak mau, tidak apa-apa.[9]
  3. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang afdhal (utama) i’tikaaf dengan berpuasa dan bila ia i’tikaaf dengan tidak berpuasa juga boleh”.[10]

Seandainya ada orang sakit i’tikaaf di masjid, maka i’tikaafnya sah.

Imam Ibnul Qayyim dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa orang yang i’tikaaf harus berpuasa. Hal ini berdasarkan perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu anha:

مَنِ اعْتَكَفَ فَعَلَيْهِ الصَّوْمُ .

Barangsiapa yang i’tikaaf hendaklah ia berpuasa”. (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq no. 8037)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لاَ يَعُوْدَ مَرِيْضًا وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً وَلاَ يَمَسَّ إِمْرَأَةً وَلاَ يُبَاشِرَهَا وَلاَ يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ مِنْهُ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ بِصَوْمٍ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِيْ مَسْجِدٍ جَامِعٍ.

Aisyah Radhiyallahu anha juga berkata, “Sunnah bagi orang yang i’tikaaf adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak melayat jenazah, tidak bercampur dengan istrinya dan tidak bercumbu rayu, tidak keluar dari masjid kecuali ada sesuatu yang mesti dia keluar, tidak ada i’tikaaf kecuali di masjid jami”.(HR. Abu Dawud no. 2473 dan al-Baihaqi IV/315-316, lihat Shahih Sunan Abi Dawud VII/235-236 no. 2135)

Rukun-Rukun I’tikaaf
Rukun-rukun niat adalah

  1. Niat, karena tidak sah satu amalan melainkan dengan niat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”.[al-Bayyinah/98: 5]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلّ امْرِئٍ مَا نَوَى…

Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya”. (HR. al-Bukhari no. 1, Fat-hul Baari VI/48, Muslim no. 1907)

Niat tempatnya di hati, tidak dilafazhkan.

  1. Tempatnya harus di masjid.
    Hakikat i’tikaaf, ialah tinggal di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Mengenai tempat i’ikaaf harus di masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala.

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

Tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beri’tikaaf di masjid”. [al-Baqarah/2: 187]

Jadi, i’tikaaf itu hanya sah bila dilaksanakan di masjid.

Pendapat Fuqaha’ Mengenai Masjid yang Sah Dipakai Untuk I’tikaaf

[Disalin dari buku I’tikaaf, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Gedung TEMPO Jl Utan Panjang Raya No. 64 – Jakarta Pusat, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
______
Footnote
[1] Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits III/284 dan Lisaanul Arab (IX/341), cet. Daar Ihyaa-ut Turats al-Arabi
[2] Lihat Fat-hul Baari (IV/271), Syarah Muslim (VIII/66), Mufradaat Alfaazhil Qur’an (hal. 579) ar-Raghib al-Ashfahani, Muhalla (V/179)
[3] Lihat dalam Subulus Salam (II/351) karya as-Shan’aani, Fiqhul Islam Syarah Buluughil Maraam (III/257-258)
[4] Lihat al-Mughni IV/455-456
[5] Zaadul Ma’ad (II/86-87), cet. XXV thn. 1412 Muassasah ar-Risalah tahqiq dan takhrij Syu’aib al-‘Arnauth dan Abdul Qadir al-‘Arnauth
[6] Lihat Bidayatul Mujtahid I/229
[7] Baca al-Muhalla V/179-180, masalah no. 624
[8] Lihat Zaadul Ma’ad, II/88
[9] Baca: Al-Muhalla V/181, masalah no. 625
[10] Lihat al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab VI/484