Kiat Mendapatkan Syafaat Nabi Muhammad
KIAT MENDAPATKAN SYAFA’AT NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Orang-orang musyrik Arab berkeyakinan bahwa tuhan-tuhan mereka adalah para pemberi syafa’at kepada mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian mereka meyakini, bahwa Allah adalah Sang Pencipta, Sang Pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan. Menguasai pendengaran dan penglihatan, mengeluarkan kehidupan dari yang mati dan mengeluarkan kematian dari yang hidup. Mengatur segala perkara, menguasai matahari dan bulan, menurunkan hujan dari langit; sehingga dengan hujan itu, Dia menghidupkan bumi setelah kematiannya. Mereka, hanya kepadaNya menyeru ketika tertimpa bahaya, dan mereka lupa, bahwa mereka adalah orang-orang musyrik.
Demikian pula sekelompok dari Ahli Kitab berkeyakinan, bahwa para pendeta dan rahib mereka berhak memberikan ampunan atas dosa-dosa, seperti apapun bentuk dan jumlahnya. Kasus berkenaan dengan menghancurkan kehormatan orang lain dan tindakan sia-sia seperti apapun, akan tetap aman dan pelakunya akan menjadi utama, bagaimana pun kejadiannya, selama para pelakunya itu mengeluarkan sejumlah harga tebusan dosa-dosa itu. Para rahib atau pendeta itu memberikan bukti ‘pemutihan’ dosa, berupa sebuah kartu bukti penebusan karena suatu dosa. Mereka mengklaim, bahwa karu-kartu itu adalah ‘paspor’ untuk masuk ke dalam Surga dan berbagai kesenangan yang abadi.
Tidak diragukan lagi, bahwa keyakinan yang salah dan berdosa ini merupakan kriminalitas terhadap akhlak dan perilaku yang menjurus kepada munculnya berbagai kejahatan dan kerusakan, yang akibat buruknya tidak dapat dibendung. Sedangkan bahaya yang akan mengenai perkara dunia adalah, bahwa keyakinan itu akan menjadikan para pemeluknya bergantung kepada angan-angan, khayalan dan cerita-cerita bohong. Semua tanpa kenyataan. Mereka meninggalkan perbuatan yang benar yang sudah menjadi sebab alami untuk mencapai berbagai tujuan dan mendapatkan apa yang menjadi sasaran, karena mereka bergantung kepada keyakinan bahwa mereka adalah para pemberi syafa’at yang bakal memudahkan segala yang sulit ataupun mendekatkan semua yang jauh, padahal mereka takkan bisa melakukannya.
Awal dari keyakinan ini ialah, orang-orang bodoh dari mayoritas suatu bangsa dan umat yang selalu menyembah para pahlawan dan orang cerdas, kuat, orang yang mempunyai kelebihan dan orang-orang shalih. Orang-orang jahil itu menyangka, bahwa orang yang mempunyai kelebihan itu bisa memberi manfaat kepada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana mereka itu juga memberi manfaat kepada semua orang. Memiliki kemampuan untuk memberikan kebaikan kepada orang lain dan mencegah berbagai keburukan dari mereka. Di antara mereka ada yang percaya kepada hari berbangkit, percaya bahwa pahlawan itu bisa menjadi para pemberi syafa’at kepada mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga bisa menolak dari segala macam hukuman dan siksa karena berbagai perbuatan buruk mereka.
Ketika para pahlawan dan orang-orang shalih itu meninggal dunia, berubahlah keyakinan mereka itu; yang pada mulanya berkenaan dengan pribadi para pahlawan, kemudian menjadi berkenaan dengan arwah mereka, hingga selanjutnya dengan kuburan mereka. Selanjutnya dengan patung-patung mereka yang dibuat di atas kuburan para pahlawan tersebut, yakni kepada semua patung dan berhala yang disembah oleh orang setelah mereka. Mereka berkata, “mereka itu adalah para pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allahl,”seperti kisah ummat Nabi Nuh Alaihissallam.
Keyakinan bahwa patung-patung dapat memberikan syafa’at seperti patung Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr, mengarahkan manusia kepada berbagai keburukan dan dosa, serta mendorong manusia untuk menyeleweng dan melakukan kriminalitas. Memotivasi kepada berbagai kerusakan dan tidak menyeru kepada ketaatan atau kebaktian. Tidak memerintahkan untuk bertakwa maupun kebajikan. Tidak pula memerintahkan untuk sebuah keadilan atau ihsan. Firman Allah dalam surat Nuh ayat 23 :
وَقَالُوْا لَا تَذَرُنَّ اٰلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَّلَا سُوَاعًا ەۙ وَّلَا يَغُوْثَ وَيَعُوْقَ وَنَسْرًاۚ
“Dan mereka berkata,”Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr“.[Nuh/71:23]
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, mengenai tafsir firman Allah dalam surat Nuh ayat 23 ini, Ibnu Abbas mengatakan: “Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Tatkala mereka meninggal, setan membisikkan kepada kaum mereka ‘dirikanlah patung-patung pada tempat yang pernah diadakan pertemuan di sana oleh mereka dan namailah patung-patung itu dengan nama-nama mereka’. Orang-orang itupun melaksanakan bisikan setan tersebut, tetapi patung-patung mereka ketika itu belum disembah. Hingga setelah orang-orang yang mendirikan patung itu meninggal dan ilmu agama dilupakan orang, barulah patung-patung tadi disembah”[1].
Demikian itu karena kebanyakan mereka yakin, bahwa manusia, sekali pun melakukan keburukan dan dosa, namun mereka tidak merasa takut dan tidak ada masalah selama mendekatkan diri dengan berbagai macam kurban yang ditujukan kepada siapa yang mereka yakini bahwa ia memiliki kejujuran dan kedudukan di hadapan Rabb mereka. Jika mereka berbuat buruk, maka orang itu akan memberikan syafaat di sisi Rabb-nya, sehingga semua dosanya diampuni dan dihapuskan, yang pada akhirnya ia menjadi bagian dari kalangan orang-orang yang dekat kepada Rabb, yang tidak pernah merasa takut dan tidak pula bersedih hati.
Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketika menjelaskan kondisi mereka, mengetengahkan apa-apa yang sering mereka jadikan dalil, berupa berbagai alasan ketika mereka terkena kehinaan atau dilemparkan kepada mereka berbagai keingkaran karena penyembahan berhala yang mereka lakukan, Allah berfirman :
وَيَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُوْلُوْنَ هٰٓؤُلَاۤءِ شُفَعَاۤؤُنَا عِنْدَ اللّٰهِ ۗقُلْ اَتُنَبِّـُٔوْنَ اللّٰهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِى السَّمٰوٰتِ وَلَا فِى الْاَرْضِۗ سُبْحٰنَهٗ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah”. Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahuiNya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Mahasuci Allah dan Maha tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu)“. [Yunus/10:18].
اَلَا لِلّٰهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ ۗوَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۘ مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيْ مَا هُمْ فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ ەۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ هُوَ كٰذِبٌ كَفَّارٌ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta lagi sangat ingkar“.[az Zumar/39:3].
Mereka yakin bahwa patung-patung itu memiliki kehormatan dan kedudukan di sisi Allah. Patung-patung itu mendekatkan mereka kepadaNya, menuntaskan berbagai hajat mereka dan memberi mereka berbagai kebaikan, menolak berbagai keburukan dari mereka, memberi mereka syafa’at jika mereka sakit karena dosa. Oleh sebab itu, mereka menyembah patung-patung itu, mendekatkan diri kepadanya dengan berbagai macam kurban, berkeliling di sekitarnya, mengusap-usapnya, menyembelih sembelihan karenanya, membakar kemenyan di dekatnya, bernadzar kepadanya, berdiri di dekatnya sebagaimana seseorang yang sangat hina dengan tunduk, atau seperti seorang hamba yang sangat khusyu’, atau seperti seorang hina yang merengek dengan harapan mereka dihapuskan dosanya dan didekatkan kepada Rabb-nya. Semua keyakinan mereka merupakan keyakinan yang batil, sesat dan merupakan perbuatan syirkun akbar (syirik besar) dosa besar yang paling besar.
Di dalam al Qur’an al Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala menafikan (meniadakan) syafa’at dan menetapkan adanya syafa’at. Syafa’at yang bagaimanakah yang dinafikan? Dan syafa’at yang bagaimanakah yang ditetapkan?
Syafa’at yang dinafikan oleh Allah adalah syafaat syirkiah (syafa’at syirik) yang diyakini oleh orang-orang musyrik, yang mengklaim bahwa tuhan-tuhan mereka nantinya akan memberi syafaat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka mengandalkan syafa’at yang demikian ini dan meninggalkan asbab (hukum kausalita), yang telah dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai sarana untuk mencapai maksud demi kebaikan dunia dan akhirat.
Diantara hal yang merugikan diri, yaitu adanya sekelompok orang yang menyandarkan kepada keislaman, lalu mengikuti orang-orang musyrik dalam keyakinan ini. Sehingga mereka mengklaim bahwa guru, kyai, habib dan orang-orang yang dianggap wali, dapat memberi syafa’at kepada mereka di sisi Allah dan menyelamatkan mereka dari api neraka, apa pun perbuatan yang telah mereka lakukan selama mereka masih sangat dicintai oleh para guru, kyai, habib dan orang-orang yang dianggap wali tersebut. Sehingga mereka membayar ‘pajak’ syafa’at kepada guru dan habib itu setiap tahun atau setiap bulan atau setiap diminta.
Keyakinan ini, menurut Allah adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari keyakinan dan perbuatan orang-orang musyrik di dalam kitabNya yang mulia. Allah membatalkan dan menafikannya. Allah juga mengabarkan bahwa syafa’at adalah milikNya secara keseluruhan. Tak seorang pun dari sisiNya memberi syafa’at, melainkan dengan izinNya, dan untuk orang yang diridhai ucapan dan perbuatannya. Firman Allah dalam surat Saba’ ayat 22-23 menyebutkan:
قُلِ ادْعُوا الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِۚ لَا يَمْلِكُوْنَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِى السَّمٰوٰتِ وَلَا فِى الْاَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيْهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَّمَا لَهٗ مِنْهُمْ مِّنْ ظَهِيْرٍ –وَلَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا لِمَنْ اَذِنَ لَهٗ
“Katakanlah: “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagiNya. Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkanNya memperoleh syafa’at itu…”.
Ibnu Qayyim rahimahullah, dalam mengupas ayat-ayat ini mengatakan: “Allah telah memutuskan semua faktor yang dijadikan oleh orang-orang musyrik untuk bertopang. Orang musyrik menganggap sesembahannya bisa memberi manfaat padanya, padahal tidak ada manfaat, kecuali dari yang memiliki salah satu dari empat hal, yaitu: Maha memiliki apa yang diharapkan oleh hambanya. Jika bukan yang memiliki itu, setidaknya ia sekutunya. Jika bukan sekutunya, mestinya ia penolong atau pembantunya. Jika bukan penolong dan pembantunya, mestinya ia pemberi syafa’at darinya”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyangkal keempat hal ini secara urut, dirinci dari atas ke bawah. Allah menyangkal kepemilikan, persekutuan, pertolongan dan pemberian syafa’at yang dimintakan oleh orang musyrik. Allah menetapkan suatu syafa’at tidak ada bagian bagi orang musyrik untuk mendapatkannya, yaitu syafa’at yang dengan izinNya. Cukuplah ayat ini sebagai pelita dan petunjuk untuk memurnikan tauhid kepadaNya dan menjadi penolak dasar-dasar kesyirikan dan unsur-unsurnya bagi yang memahaminya.[2]
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH MENGIMANI ADANYA SYAFA’AT PADA HARI KIAMAT
Syafa’at berarti menggenapkan, menggabungkan, mengumpulkan sesuatu dengan sejenisnya. Syafa’at juga berarti wasilah, perantara dan menolak permintaan.
Syafa’at menurut istilah, yaitu التَوَسُّطُ لِلْغَيْرِ بِجَلْبِ مَنفَعَةٍ اَو دَفْعِ مَضَرََّةٍ, (menolong orang lain dengan tujuan menarik manfaat dan menolak bahaya), dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin dalam Syarah Lum’atul I’tiqad, hlm. 128.
Syafa’at dibahas oleh ulama Ahlus Sunnah, karena adanya golongan yang berlebih-lebihan dalam menetapkan syafa’at, sampai golongan itu berkeyakinan, bahwa patung-patung dan orang mati itu dapat memberikan syafa’at. Begitu pula ada golongan lain yang mengingkari adanya syafa’at, yaitu golongan Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka meyakini, bahwa orang yang berbuat dosa besar dikatakan kafir, akan kekal di dalam neraka dan tidak bisa keluar dari neraka. Pendapat seperti ini sesat dan menyesatkan. Pendapat ini sudah dibantah oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan dalil-dalil dari al Qur`an dan as Sunnah yang shahih.
Bantahan terhadap Khawarij dan Mu’tazilah:
- Orang Muslim yang berbuat dosa besar, ia tidak kafir, selama ia tidak menghalalkan perbuatan dosa besar tersebut.
- Di dalam al Qur`an disebutkan dua golongan yang berperang, Allah menyebutkan mereka dengan sebutan mu’min. (Lihat surat al Hujuraat/49 ayat 9).
- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan syafa’at kepada orang yang berbuat dosa besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda:
شَفَاعَتِي لِأَهلِ الكَبَائِرِ مِن أُمَّتِي
“Syafa’atku akan diberikan kepada orang yang berbuat dosa besar dari umatku“.[3]
Apa yang saya jelaskan ini baru sebagian kecil bantahan kepada Khawarij dan Mu’tazilah. Kalau mereka menggunakan akal dan hati mereka untuk tunduk kepada dalil, maka mereka akan mudah menerima dalil-dalil dari al Qur`an dan as Sunnah yang shahih yang menunjukkan tentang adanya syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Kiamat atas orang-orang yang berbuat dosa besar, bagi mereka yang mati dalam keadaan tidak berbuat syirik dan kufur. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang orang-orang Islam yang disiksa di neraka dengan sebab perbuatan dosa besar yang mereka lakukan, kemudian mereka dikeluarkan oleh Allah dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.
Menurut penjelasan para ulama uhlussunnah, syarat-syarat syafa’at ada 3, yaitu :
Pertama. : Tidak ada syafa’at, melainkan dengan izin Allah.
اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ ەۚ لَا تَأْخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌۗ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhlukNya); tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izinNya…” [al Baqarah/2:255].
مَا مِنْ شَفِيْعٍ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ اِذْنِهٖۗ
“…Tidak seorangpun yang memberikan syafa’at, kecuali sesudah ada izinNya…”[Yunus/10:3].
مَا لَكُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا شَفِيْعٍۗ اَفَلَا تَتَذَكَّرُوْنَ
“…Tidak ada bagi kamu selain daripadaNya seorang penolongpun, dan tidak (pula) seorang pemberi syafa’at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” [as Sajdah/32:4].
يَوْمَىِٕذٍ لَّا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ اِلَّا مَنْ اَذِنَ لَهُ الرَّحْمٰنُ وَرَضِيَ لَهٗ قَوْلًا
“Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at) orang yang Allah Maha pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya“.[Thaha/20:109].
Dijelaskan di dalam tafsir Imam al Baghawi, bahwa tidak bermanfaat syafa’at kepada seorangpun dari manusia, kecuali bagi orang yang Allah izinkan untuk memberikan syafa’at, dan Allah ridha perkataan dan perbuatannya.
Ibnu Abbas berkata,”Orang yang Allah ridhai perkataannya, yaitu orang yang mengucapkan Laa ilaahaa illallaah. Dengan kata lain, Allah tidak akan memberikan syafa’at kepada selain mu’min”.[4]
Kedua : Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengizinkan untuk memberi syafa’at, melainkan kepada orang yang diridhai perkataan dan perbuatannya.
وَلَا يَشْفَعُوْنَۙ اِلَّا لِمَنِ ارْتَضٰى
“…dan mereka tiada memberi syafa’at, melainkan kepada orang yang diridhai Allah…” [al Anbiyaa’/21:28].
وَكَمْ مِّنْ مَّلَكٍ فِى السَّمٰوٰتِ لَا تُغْنِيْ شَفَاعَتُهُمْ شَيْـًٔا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ اَنْ يَّأْذَنَ اللّٰهُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَرْضٰى
“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka, sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai(Nya)“.[an-Najm/53:26].
Ketiga : Allah tidak ridha dari ucapan dan perbuatan, melainkan dengan mentauhidkan Allah dan mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang tidak bertauhid, ia tidak akan mendapatkan syafa’at.
فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِيْنَۗ
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at” [al Muddatstsir/74:48].
Syafa’at, khusus diberikan untuk orang-orang yang beriman dan mati dalam keadaan bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
“Dari Abu Hurairah, Dia bertanya,”Ya, Rasulullah. Siapakah orang yang paling bahagia dengan syafa’atmu pada hari Kiamat?” Rasul menjawab,” …… orang yang paling bahagia dengan syafa’atku adalah, orang yang mengucapkan Laa ilaahaa illallaah dengan ikhlas dari hatinya“.[HR Bukhari, no.99].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ نَبِيٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ فَتَعَجَّلَ كُلُّ نَبِيٍّ دَعْوَتَهُ وَإِنِّي اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَهِيَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا
“Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah bersabda: ”Setiap nabi ada doa yang dikabulkan, dan setiap nabi bersegera berdoa agar dikabulkan. Akan tetapi aku simpan doaku untuk dapat memberikan syafa’at kepada umatku pada hari Kiamat. Dan sesungguhnya, syafa’atku ini akan diperoleh, insya Allah, bagi orang yang mati dari umatku dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun“.[HR Muslim, no.199].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, orang yang mendapatkan syafa’at ialah, orang yang mengucapkan kalimat yang haq, yaitu bersaksi bahwasannya tidak ada yang berhak diibadahi melainkan hanya Allah.
Orang mu’min tidak dapat memohon ampun dan meminta syafa’at untuk orang-orang yang berbuat syirik. Dalam Shahih Muslim, Nabi n pernah meminta izin kepada Allah untuk mengampuni ibunya, tetapi tidak diizinkan. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin untuk berziarah ke kuburnya, dan diizinkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena ziarah kubur mengingatkan kita kepada kematian. Syafa’at bagi orang kafir tidaklah bermanfaat.
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْ يَّسْتَغْفِرُوْا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوْٓا اُولِيْ قُرْبٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُمْ اَصْحٰبُ الْجَحِيْمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam“.[at Taubah/9:113].
KIAT-KIAT UNTUK MENDAPAT SYAFA’AT NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.
Setiap muslim mendambakan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena pada hari Kiamat nanti, tidak ada yang menolong seorang hamba, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian amal-amal shalih yang dikerjakan seorang hamba, serta syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Adapun kiat-kiat seorang muslim untuk mendapatkan syafa’at, yaitu :
1. Tauhid dan mengikhlaskan ibadah kepada Allah serta ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak diragukan lagi bahwa tauhid sebagai penyebab yang paling besar untuk mendapatkan syafa’at pada hari Kiamat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya: “Siapakah orang yang paling bahagia dengan syafa’atmu pada hari Kiamat?” Nabi menjawab :
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
“Yang paling bahagia dengan syafa’atku pada hari Kiamat adalah, orang yang mengucapkan Laa ilaahaa illallaah dengan ikhlas dari hatinya atau dirinya“.[HR Bukhari, no. 99]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : ”Syafa’at, sebabnya adalah tauhid kepada Allah, dan mengikhlaskan agama dan ibadah dengan segala macamnya kepada Allah. Semakin kuat keikhlasan seseorang, maka dia berhak mendapatkan syafa’at. Sebagaimana dia juga berhak mendapatkan segala macam rahmat. Sesungguhnya, syafa’at adalah salah satu sebab kasih sayang Allah kepada hambaNya. Dan yang paling berhak dengan rahmatNya adalah ahlut tauhid dan orang-orang yang ikhlas kepadaNya. Setiap yang paling sempurna dalam mewujudkan kalimat ikhlas (laa ilaahaa illallaah) dengan ilmu, keyakinan, amal, dan berlepas diri dari berbagai bentuk kesyirikan, loyal kepada kalimat tauhid, memusuhi orang yang menolak kalimat ini, maka dia yang paling berhak dengan rahmat Allah.[5]
2. Membaca al Qur`an.
Dari Abi Umamah bahwasannya dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ
“Bacalah al Qur`an. Sesungguhnya al Qur`an akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi sahabatnya…”[HR Muslim, no.804].
Yang dimaksud para sahabat al Qur`an, mereka adalah orang-orang yang membacanya, mentadabburinya, dan mengamalkan isinya.
3. Puasa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
“Puasa dan al Qur`an akan memberi syafa’at kepada seorang hamba pada hari Kiamat kelak. Puasa akan berkata : “Wahai, Rabb-ku. Aku telah menahannya dari makan pada siang hari dan nafsu syahwat. Karenanya, perkenankan aku untuk memberi syafa’at kepadanya”. Sedangkan al Qur`an berkata : “Aku telah melarangnya dari tidur pada malam hari. Karenanya, perkenankan aku untuk memberi syafa’at kepadanya”. Maka keduanya pun memberi syafa’at“[6].
4. Doa setelah adzan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang membaca ketika mendengar adzan ‘Ya Allah, Rabb pemilik panggilan yang sempurna ini dan shalat (wajib) yang didirikan. Berilah al wasilah (derajat di surga), dan keutamaan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bangkitkan beliau, sehingga bisa menempati maqam terpuji yang engkau janjikan’. Maka dia berhak mendapatkan syafa’atku pada hari Kiamat“.[HR Bukhari no.614, dari Jabir bin Abdillah]
5. Tinggal di Madinah, sabar tehadap cobaannya, dan mati disana.
Abu Sa’id pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا يَصْبِرُ أَحَدٌ عَلَى لَأْوَائِهَا فَيَمُوتَ إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا أَوْ شَهِيدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا كَانَ مُسْلِمًا
“Tidaklah seseorang sabar terhadap kesusahannya (Madinah) kemudian dia mati, kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya, atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat. Jika dia seorang muslim” [HR Muslim, no.1374, 477; dari Abu Sa’id al Khudri].
لَا يَصْبِرُ عَلَى لَأْوَاءِ الْمَدِينَةِ وَشِدَّتِهَا أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِي إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْ شَهِيدًا
“Tidaklah seseorang dari umatku sabar terhadap cobaan Madinah dan kesusahannya, kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat“.[HR Muslim, no.1378, 484; dari Abu Hurairah].
مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَمُوتَ بِالْمَدِينَةِ فَلْيَمُتْ بِهَا فَإِنِّي أَشْفَعُ لِمَنْ يَمُوتُ بِهَا
“Barangsiapa yang ingin mati di Madinah, maka matilah disana. Sesungguhnya aku akan memberi syafa’at bagi orang yang mati disana“.[7]
6. Shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Ibnu Mas’ud, bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَوْلَى النَّاسِ بِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ عَلَيَّ صَلَاةً
“Orang yang paling berhak mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat adalah, yang paling banyak shalawat kepadaku” [HR Tirmidzi, no.484, hasan].
7. Shalatnya sekelompok orang muslim terhadap mayit muslim.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ
“Tidaklah seorang mayit dishalatkan oleh sekelompok orang Islam yang jumlah mereka mencapai seratus, semuanya memintakan syafa’at untuknya, melainkan syafa’at itu akan diberikan pada dirinya“.[HR Muslim, no. 947, 58].
مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ
“Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, lalu jenazahnya dishalatkan oleh empat puluh orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, melainkan Allah akan memberikan syafa’at kepadanya“. [HR Muslim, no.948, 59].
8. Membanyakkan sujud.
Dari Rabi’ah bin Ka’ab al Aslami, dia berkata: “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku mendatangi beliau sambil membawa air untuk wudhu’ beliau. Kemudian beliau berkata kepadaku, ‘Mintalah’. Aku berkata,’Aku minta untuk dapat menemanimu di surga,’ kemudian beliau berkata, ‘Atau selain itu?’ Aku berkata,’Itu saja’. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Tolonglah aku atas dirimu dengan banyak bersujud“. [HR Muslim, no.489, 226].
Demikianlah delapan faktor yang bisa menjadi penyebab seseorang mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam Mudah-mudahan kita termasuk orang yang mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad pada hari Kiamat, bila kita mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah dan ittiba’, mengikuti contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun pendapat sebagian orang, bahwa di antara sebab-sebab untuk bisa mendapatkan syafa’at adalah dengan ziarah ke kubur Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berdalil dengan hadits-hadits yang palsu, dan sama sekali tidak ada asalnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti hadits, barangsiapa yang ziarah ke kuburku, maka dia berhak mendapatkan syafa’atku, dan masih banyak lagi yang lain.
Jadi, ziarah kubur Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk menjadi faktor yang bisa menyebabkan seseorang untuk mendapatkan syafa’at, karena tidak adanya dalil-dalil yang shahih tentang masalah tersebut.
MARAJI’
- Tafsir al Baghawi.
- Kutubus Sittah.
- Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
- As Sunnah libni Abi Ashim, tahqiq Dr.Bashim bin Faisal al Jawabirah.
- Mustadrak lil Imam Hakim.
- Shahih Mawariduz Zham’an.
- Syarah Aqidah Thahawiyah, oleh Ibnu Abil ‘Izz al Hanafi.
- Majum’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
- Kasyfus Syubuhat, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
- Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh.
- Asy Syafaa’ah, Abi Abdurrahman Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadii’.
- Asy Syafaa’ah ‘inda Ahlis Sunnah, Dr. Natsir bin Abdurrahman bin Muhammad al Judayi’, Penerbit Daaru Athlas, Cet.I, 1417 H.
- Qullillahi Syafaa’atu Jami’an, Abul Wafa Muhammad Darwisi, Penerbit Darul Qashim, Riyadh, Cet. I, 1420 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_____
Footnote
[1] HR Bukhari, no.4920/Fathul Baari, VIII/667
[2] Lihat Madaarijus Salikin, I/372-373
[3] HR Ahmad, 3/213; Abu Dawud, 4739; Tirmidzi, 2435; Hakim, I/69; Abu Dawud ath Thayalisi, 1774; Ibnu Hibban, 2596-mawaarid-,-shahih mawaarid-2197; Ibnu Abi ‘Ashim dalam as Sunnah, no.856, tahqiq Dr. Basim bin Faishal al Jawabirah; dari shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dan diriwayatkan juga dari sahabat Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini shahih
[4] Tafsir al Baghawi, III/195, Cetakan Daar al Kutub al Ilmiyyah
[5] Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, XIV/414 dengan ringkas
[6] HR Ahmad, II/174; al Hakim, I/554; dari Abdullah bin ‘Amr. Sanad hadits ini hasan. Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim dan disetujui oleh Imam adz Dzahabi. Kata Imam al Haitsami, diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dalam Mu’jam Kabir. Rijal hadits ini rijal shahih. Lihat Majma’uz Zawaid III/181. Dishahihkan oleh al Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 394
[7] HR Ahmad, II/74,104; Tirmidzi, no.3917; Ibnu Majah, no.3112; Ibnu Hibban, no. 3741, dari Ibnu Umar. Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”
- Home
- /
- A3. Aqidah Makna dan...
- /
- Kiat Mendapatkan Syafaat Nabi...