Kaidah Ke. 12 : Harus Ada Saling Ridha Dalam Setiap Akad

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Belas :

لاَ بُدَّ مِنَ التَّرَاضِي فِي جَمِيْعِ عُقُوْدِ الْمُعَاوَضَاتِ وَعُقُوْدِ التَّبَرُّعَاتِ

Harus ada saling ridha dalam setiap akad yang sifatnya mu’âwadhah (bisnis) ataupun tabarru’ (sumbangan)

Kaidah ini telah ditunjukkan oleh al-Qur`ân, Sunnah, dan ijmâ’. Allah Azza wa Jalla telah berfirman berkaitan dengan akad mu’âwadhah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. [an-Nisâ’/4:29]

Dalam ayat tersebut Allah Azza wa Jalla mengharamkan perbuatan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Allah Azza wa Jalla menghalalkan tijârah (perniagaan), yaitu seluruh macam kegiatan dalam rangka memperoleh penghasilan dan keuntungan. Allah Azza wa Jalla mensyaratkan adanya saling ridha antara orang-orang yang melakukan akad dalam perniagaan tersebut.

Dengan demikian, dalam segala bentuk pelaksanaan akad jual beli termasuk sewa-menyewa, perkongsian dagang dan semisalnya, semuanya itu disyaratkan adanya saling ridha.

Allah Azza wa Jalla berfirman berkaitan dengan akad tabarru’ (sumbangan tanpa mengharapkan keuntungan) :

وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. [an-Nisâ’/4:4]

Dalam ayat di atas Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa pemberian seorang isteri berupa sebagian mahar kepada suaminya, hal itu diperbolehkan dengan syarat dilandasi kerelaan hati dari sang isteri, yaitu adanya keridhaan darinya. Pemberian seorang isteri kepada suaminya tersebut termasuk akad tabarru’ karena hal itu dilakukan tanpa mengharapkan keuntungan ataupun imbalan.

Baca Juga  Kaidah Ke-48 : Rasa Ragu Dari Orang yang Sering Ragu Itu Tidak Dianggap

Maka seluruh akad tabarru’ mempunyai hukum yang sama dengan permasalahan mahar tersebut. Di mana dalam akad tersebut disyaratkan adanya saling ridha dari orang-orang yang melaksanakan akad.

Seluruh akad, baik mu’âwadhah ataupun tabarru’ tidaklah sempurna kecuali disertai saling ridha antara orang-orang yang melaksanakan akad tersebut. Hal ini disebabkan akad-akad tersebut mengkonsekuensikan perpindahan kepemilikan dan hak dari satu pihak kepada pihak yang lain atau merubah suatu keadaan kepada keadaan yang lain. Kesemuanya itu mengharuskan adanya saling ridha. Maka, barangsiapa yang dipaksa untuk melaksanakan suatu akad, atau membatalkannya tanpa alasan yang haq, maka akad atau pembatalan akad tersebut tidaklah sah. Keberadaannya sama seperti ketidak-adaannya.

Namun demikian, ada beberapa pemasalahan yang dikecualikan dari kaidah yang bersifat umum ini. Contohnya adalah seseorang yang dipaksa untuk melaksanakan suatu akad tertentu atau membatalkan suatu akad dengan paksaan yang sifatnya haq, maka hal tersebut diperbolehkan. Kaidah dalam masalah ini adalah barangsiapa yang menolak menunaikan kewajiban yang harus ia tunaikan, kemudian ia dipaksa untuk menunaikannya maka ia dipaksa dengan haq. Implementasinya dapat diketahui dengan beberapa contoh berikut :

  1. Apabila seseorang dipaksa oleh qâdhi (hakim) untuk menjual sebagian hartanya supaya bisa melunasi hutangnya, maka ini adalah pemaksaan yang diperbolehkan dan termasuk pemaksaan yang haq. Demikian pula jika seseorang dipaksa untuk membeli barang-barang untuk memberikan nafkah kepada orang-orang yang wajib ia nafkahi, maka ini pun termasuk pemaksaan yang haq.
  2. Jika ada dua orang yang berserikat dalam kepemilikan suatu barang, kemudian salah satu dari keduanya berkeinginan untuk memiliki sendiri bagiannya dari barang tersebut, sedangkan barang tersebut tidak bisa dibagi secara langsung kecuali dengan dijual terlebih dahulu[1], maka apabila salah satu dari kedua belah pihak tidak setuju untuk menjual barang yang diserikatkan, diperbolehkan bagi qâdhi (hakim) untuk memaksannya menjual barang tersebut.
  3. Seseorang yang secara syar’i wajib menceraikan istrinya disebabkan sesuatu hal yang mewajibkan adanya percerain antara keduanya, kemudian si suami tersebut menolak untuk menceraikan istrinya, maka ia dipaksa oleh qâdhi (hakim) untuk menceraikan isterinya.
  4. Seseorang yang secara syar’i wajib untuk membebaskan budaknya untuk membayar kaffârah (denda) atau nadzar (sumpah) yang wajib ia tunaikan, kemudian ia menolak untuk membebaskan budaknya tersebut, maka ia dipaksa untuk membebaskan budaknya. Pemaksaan dalam kasus seperti ini termasuk pemaksaan yang haq.
Baca Juga  Kaidah Ke-53 : Hukum Suatu Perkara Dikaitkan Dengan Sebab Yang Sudah Diketahui

Wallâhu a’lam.[2]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Misalnya adalah dua orang yang berserikat dalam kepemilikan seekor onta. Onta tersebut tidak mungkin dibagi secara langsung kepada kedua pemiliknya karena akan timbul suatu madharat. Maka apabila salah satu pihak berkeinginan untuk memiliki sendiri bagiannya dari onta tersebut, haruslah onta tersebut dijual terlebih dahulu, barulah kemudian dibagi antara kedua belah pihak sesuai bagiannya masing-masing. (Pent.)
[2] Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M