Kaidah Ke. 13 : Perbuatan Merusakkan Barang Orang Lain Hukumnya Sama
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ketiga Belas :
الإِتْلاَفُ يَسْتَوِيْ فِيْهِ الْمُتَعَمِّدُ وَالْجَاهِلُ وَالنَّاسِيْ
Perbuatan merusakkan barang orang lain hukumnya sama, apakah terjadi karena kesengajaan, ketidak tahuan, atau karena lupa
Kaidah ini memberikan patokan dalam perbuatan seseorang yang melakukan perusakan, baik kepada jiwa ataupun harta orang lain. Kaidah ini juga menjelaskan bahwa barangsiapa yang merusakkan barang orang lain tanpa alasan yang benar, maka ia wajib mengganti barang yang ia rusakkan tersebut atau membayar ganti rugi kepada pemilik harta. Sama saja, apakah kerusakan tersebut terjadi karena kesengajaan olehnya, atau karena tidak tahu, atau karena lupa.
Maka kewajiban mengganti barang atau membayar ganti rugi tersebut tidaklah terbatas pada perusakan yang dilakukan dengan sengaja. Bahkan kewajiban terebut tetap berlaku meskipun perbuatan perusakan dilakukan tanpa kesengajaan, atau ketidak tahuan, atau karena lupa. Oleh karena itulah Allah Azza wa Jalla mewajibkan pembayaran diyat (ganti rugi) dalam pembunuhan yang terjadi karena khatha’ (tersalah).
Adapun sisi perbedaan antara perusakan yang dilakukan secara sengaja dengan yang dilakukan tanpa kesengajaan adalah ada tidaknya dosa sebagai akibat perbuatan tersebut. Seseorang yang melakukan perusakan dengan sengaja, tentulah mendapatkan dosa, berbeda dengan orang yang melakukannya dengan tanpa kesengajaan atau ketidak tahuan.
Beberapa contoh penerapan kaidah tersebut adalah :
- Seseorang yang melepaskan hewan piaraannya, kemudian hewan itu merusak harta orang lain atau memakan tanaman orang lain, maka ia wajib membayar ganti rugi kepada pemilik harta atau pemilik tanaman, meskipun kerusakan terjadi bukan karena kesengajaan darinya.
- Seseorang yang melepaskan hewan piaraannya yang biasa menyerang manusia, kemudian hewan itu menyerang manusia di pasar-pasar atau di tempat-tempat lain, maka ia wajib membayar ganti rugi. Bahkan hal itu bisa dikategorkan sebagai perbuatan merusak yang dilakukan secara sengaja.
- Seseorang yang sedang ihrâm dalam ibadah haji atau umrah dilarang untuk membunuh shaid (binatang buruan). Apabila ia membunuh binatang buruan maka wajib baginya untuk membayar jazâ’ (denda). Sama saja apakah ia membunuhnya dengan sengaja atau tidak. Ini adalah pendapat jumhur Ulama’, termasuk empat imam madzhab.[1]
Namun demikian, dalam masalah ini masih ada perbedaan pendapat. Di mana sebagian Ulama’ lain berpendapat bahwa kewajiban membayar denda tersebut wajib bagi orang yang membunuh binatang buruan dengan sengaja[2]. Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لاَ تَقْتُلُوْا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya. [al-Mâidah/5:95]
Pendapat kedua inilah yang lebih tepat. Karena sesuai dengan makna yang terkandung dalam ayat di atas. Adapun yang membedakan kasus ini dengan contoh-contoh sebelumnya adalah bahwa hal ini berkaitan dengan hak Allah Azza wa Jalla . Yaitu bahwa hukuman atas pelanggaran terhadap hak Allah Azza wa Jalla terkait dengan niat orang yang melanggar. Berbeda dengan contoh-contoh sebelumnya yang berkaitan dengan hak-hak sesama manusia.
Wallâhu a’lam.[3]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Lihat: Badâi’us Shanâ-i’ 2/188, 195, dan 201. Al-Bahrur Ra-iq 3/13. Mawâhibul Jalîl 3/154. Hasyiyatud Dasûqi 2/52. Al-Majmu’ 7/342. Nihâyatul Muhtaj 2/452. Al-Furu’ 3/462. Al-Inshaf 3/527-528.
[2] Ini adalah salah satu pendaat dalam madzhab Hambali. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, dan Ibnu Hazm (I’lâmul Muwaqqi’în 2/50, Al-Furu’ 3/463, Al-Inshâf 3/528, Al-Muhalla 7/214)
[3] Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M
- Home
- /
- A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
- /
- Kaidah Ke. 13 :...