Isa al-Masîh Alaihissallam, Bukan Tuhan Juga Bukan Anak Tuhan
ISA AL-MASIH ALAIHISSALLAM, BUKAN TUHAN JUGA BUKAN ANAK TUHAN
Oleh
Ustadz Muhammad Ashim, Lc
يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ وَلَا تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ اِلَّا الْحَقَّۗ اِنَّمَا الْمَسِيْحُ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُوْلُ اللّٰهِ وَكَلِمَتُهٗ ۚ اَلْقٰهَآ اِلٰى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِّنْهُ ۖفَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖۗ وَلَا تَقُوْلُوْا ثَلٰثَةٌ ۗاِنْتَهُوْا خَيْرًا لَّكُمْ ۗ اِنَّمَا اللّٰهُ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ ۗ سُبْحٰنَهٗٓ اَنْ يَّكُوْنَ لَهٗ وَلَدٌ ۘ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلًا
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allâh kecuali yang benar. Sesungguhnya al-Masih, Isa putra Maryam itu adalah utusan Allâh dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan dengan tiupan roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allâh dan rasul-rasul-ya, dan janganlah kamu mengatakan, “(Tuhan itu) tiga”. Berhentilah dari ucapan itu. Itu lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allâh Ilaah Yang Maha Esa, Maha Suci Allâh dari mempunyai anak. Segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allâh sebagai Pemelihara [an-Nisâ/4:171]
PENJELASAN AYAT
Ayat ini Untuk Kaum Nasrani
يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ وَلَا تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ اِلَّا الْحَقَّۗ
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allâh kecuali yang benar.
Pada permulaan ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memperingatkan Ahli Kitab dari perbuatan ghuluw dalam beragama, tindakan yang merupakan pangkal dari berbagai kesesatan, kerusakan dan kekufuran serta kesyirikan. Makna asal ghuluw, melampaui batas-batas yang telah ditentukan. Dengan demikian yang dimaksud dengan ghuluw dalam beragama yaitu bersikap berlebihan dengan melampaui batasan yang telah ditetapkan oleh syariat dalam suatu perkara agama dengan melakukan hal-hal yang tidak masyru’[1]
Perbuatan ghuluw yang terlarang bagi mereka diterangkan pada ayat kelanjutannya yaitu, ‘janganlah kamu mengatakan terhadap Allâh kecuali yang benar’. Maksudnya, janganlah kalian mengatakan Allâh memiliki sekutu, anak atau istri [2].
Berdasarkan pendapat Jumhur Ulama tafsir [3], larangan pada ayat di atas tertuju pada kaum Nasrani, meskipun kaum Yahudi pun tidak lepas dari larangan ini karena telah mengatakan Uzair adalah putra Allâh . Mereka (kaum Nasrani) telah melampaui batas dalam memuji dan mengagungkan Isa dengan mengkultuskan dan menuhankannya, memposisikan Isa di atas kedudukan nubbuwah dan risalah (sebagai nabi dan rasul) menuju maqam (kedudukan) rubûbiyah (penguasa alam) yang hanya pantas dimiliki oleh Allâh Azza wa Jalla .
Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “(Maksudnya) wahai para pemegang Injil, janganlah kalian melampaui batas dalam beragama yang nanti akan mengakibatkan kalian terjerumus dalam sikap yang berlebihan. Janganlah kalian berbicara tentang Isa dengan perkataan yang tidak benar. Sesungguhnya perkataan kalian bahwa Isa putra Allâh adalah perkataan yang tidak benar atas nama Allâh Azza wa Jalla . Sebab Allâh Azza wa Jalla tidak pernah mengangkat seorang anak, sehingga Isa atau yang lain menjadi putra-Nya” [4].
Sementara itu, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menjelaskan bahwa mereka (kaum Nasrani) itu telah melakukan tindakan melampaui batas dalam membenarkan (kenabian) Isa Alaihissallam . Tindakan melampaui batas itu dalam bentuk meninggikan derajat Isa di atas kedudukan yang telah Allâh Azza wa Jalla berikan kepadanya. Mereka mengangkat beliau dari tingkat kenabian menuju pendaulatan sebagai tuhan selain Allâh Azza wa Jalla . Mereka menyembahnya sebagaimana mereka beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla . (Bahkan tidak itu saja), mereka juga berlebihan terhadap para penganut dan pendukung Isa yang mengaku-aku masih mengikut ajaran agamanya (Isa Alaihissallam). Umat Nasrani mengklaim orang-orang tersebut terpelihara dari kekeliruan dan dosa, sehingga umat (Nasrani) mengikuti apa saja yang dikatakan, baik itu kebenaran maupun kebatilan, berisi kesesatan atau petunjuk menuju jalan lurus, benar atau tidak. [5]
Sebagian mereka menyebut Isa Alaihissallam adalah putra Allâh Azza wa Jalla. Sebagian lain menyatakan Isa itulah tuhan. Sebagian yang lain mengatakan Isa merupakan tuhan bersama Allâh Azza wa Jalla . Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengomentari perbedaan tajam kalangan Nasrani tentang Isa dengan berkata, “Kaum Nasrani, kebodohan mereka tidak ada ukurannya dan kekufuran mereka pun tidak ada batasnya”.[6]
Perselisihan mereka yang lain, soal apakah Isa menyatu dengan tuhan, bercampur, atau tuhan yang menyatu dengan Isa. Tentang tajamnya silang pendapat di kalangan kaum Nasrani, sampai-sampai ada yang mengatakan, “Jika ada sepuluh orang Nasrani berkumpul, maka mereka akan berpisah dengan sebelas pandangan yang saling berbeda-beda”. Maha Suci Allâh dari perkataan-perkataan yang batil tersebut yang menyebabkan mereka telah kufur kepada Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana telah Allâh Azza wa Jalla jelaskan dalam beberapa ayat.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَقَالَتِ النَّصٰرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللّٰهِ
Dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masîh itu putra Allâh”. [at-Taubah/9:30]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allâh ialah al-Masih putra Maryam [al-Mâidah/5:72]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ ثَالِثُ ثَلٰثَةٍ ۘ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang mengatakan, “Bahwasanya Allâh salah satu dari tiga… [al-Mâidah/5:73]
Larangan mengatakan terhadap Allâh kecuali yang benar memuat tiga perkara: (yaitu) dua larangan yaitu berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla dan berbicara tanpa ilmu (yang benar) tentang nama dan sifat-Nya, syariat dan para rasul-Nya. Ketiga, (satu) perkara yang diperintahkan yaitu berkata dengan benar dalam perkara-perkara tersebut.[7]
Kebenaran Tentang Isa Alaihissallam
اِنَّمَا الْمَسِيْحُ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُوْلُ اللّٰهِ وَكَلِمَتُهٗ ۚ اَلْقٰهَآ اِلٰى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِّنْهُ
Sesungguhnya al-Masih, Isa putra Maryam itu adalah utusan Allâh dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan dengan tiupan roh dari-Nya.
Inilah kebenaran tentang Isa putra Maryam. Beliau tidak punya nasab selain itu (putra Maryam). Derajat tertinggi dan kesempurnaan diri yang beliau capai, kedudukan makhluk yang paling tinggi yaitu derajat risâlah (menjadi utusan Allâh), yang merupakan martabat paling tinggi dan karunia yang paling agung [8]. Di sini, Allâh menunjukkan kedustaan-kedustaan yang diyakini kaum Nasrani. [9]
Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Wahai orang-orang yang berlebihan terhadap Isa Ibnu Maryam, janganlah kalian berlebihan dalam beragama, al-Masih bukanlah putra Allâh Azza wa Jalla sebagaimana persepsi kalian. Akan tetapi, Isa adalah putra Maryam, bukan putra yang selainnya. Ia tidak memiliki nasab selain itu. Kemudian Allâh Azza wa Jalla memuji Isa Ibnu Maryam Alaihissallam dengan menjelaskan kedudukannya bahwa ia adalah utusan Allâh Azza wa Jalla , diutus oleh Allâh Azza wa Jalla dengan al-haq kepada umat yang dituju”.[10]
Kemudian Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa Isa diciptakan dengan kalimat-Nya yang Dia firmankan dengan kalimat, “Kun (Jadilah)”, maka jadilah Isa. Ia bukanlah kalimat itu sendiri, akan tetapi muncul melalui kalimat tersebut. Ini termasuk kategori idhâfah takrîm dan tasyrîf (penisbatan untuk kemuliaan). Isa memperoleh kemuliaan dengan penisbatan itu.[11]
Demikian juga, yang dimaksud dengan ‘ruh dari-Nya’ bukanlah bagian dari-Nya sebagaimana pandangan kaum Nasrani, akan tetapi termasuk ruh yang Allâh Azza wa Jalla ciptakan dan sempurnakan dengan sifat-sifat utama dan akhlak-akhlak yang luhur (daripada ruh yang lain). Allâh mengutus Jibril Alaihissallam untuk meniupkannya pada Maryam sehingga menjadi hamil dengan izin Allâh Azza wa Jalla.[12]
Setelah menjelaskan hakekat Isa Alaihissallam, Allâh memerintahkan Ahli Kitab untuk mengimaninya dan mengimani rasul-rasul yang lain, melarang mereka menjadikan Allâh satu dari tiga (oknum).
Lebih Baik Kaum Nasrani Meninggalkan Keyakinan Keliru Tentang Nabi Isa Alaihissallam
فَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖۗ وَلَا تَقُوْلُوْا ثَلٰثَةٌ ۗاِنْتَهُوْا خَيْرًا لَّكُمْ ۗ
Maka berimanlah kamu kepada Allâh dan rasul-rasul-ya, dan janganlah kamu mengatakan, “(Tuhan itu) tiga”. Berhentilah dari ucapan itu. Itu lebih baik bagimu.
Maksudnya, yakinilah bahwa Allâh Maha Esa lagi Maha Satu, tidak memiliki istri juga tidak punya anak. ketauhi dan yakinilah sesungguhnya Isa adalah hamba Allâh dan Rasul-Nya. Janganlah kalian menjadikan Isa dan ibunya sebagai sekutu bagi Allâh.[13]
Usai menegaskan hakekat Isa al-Masih, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan Ahli Kitab untuk beriman kepada Isa dan rasul-rasul Allâh yang lain, sekaligus melarang mereka menjadikan Allâh tiga dari yang tiga dalam aqidah mereka yang lebih dikenal dengan tatslîts (trinitas).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk berhenti (dari perkataan batil mereka tentang Isa) dan mengabarkan jika itu (berhenti dari keyakinan batil) lebih baik bagi mereka. Sebab, itulah yang wajib diikuti, merupakan jalan keselamatan, selain itu merupakan jalan kebinasaan”.[14]
Kemudian Allâh Azza wa Jalla mensucikan dzat-Nya dari sekutu dan anak dengan berfirman:
Allâh Azza wa Jalla Tidak Memiliki Anak
اِنَّمَا اللّٰهُ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ ۗ سُبْحٰنَهٗٓ اَنْ يَّكُوْنَ لَهٗ وَلَدٌ
Sesungguhnya Allâh Ilaah Yang Maha Esa, Maha Suci Allâh dari mempunyai anak
Allah Maha Esa dalam hak peribadahan, tidak ada yang berhak diibadahi selain-Nya. (hlm.209). Bagaimana mungkin Dia k memiliki anak? seorang anak akan mirip dengan orang tuanya, sementara tidak ada yang mirip dengan-Nya [15]
Semuanya Adalah Ciptaan dan Milik Allâh Azza wa Jalla
لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلًا
Segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allâh sebagai Pemelihara
Maksudnya, semua adalah milik Allâh dan ciptaan-Nya. Semua yang ada di langit dan bumi adalah hamba-Nya. Mereka berada di bawah aturan dan perbuatan-Nya. Allâh Pemelihara segala sesuatu. Bagaimana mungkin Allâh memiliki istri dan anak dari makhluk-makhluk itu? Yang punya anak tidak mungkin berhak menjadi ilâh yang haq, tidak tepat menjadi ilâh yang diibadahi. [16]
Isa putra Maryam termasuk makhluk yang ada di langit dan bumi. Bagaimana ia kemudian bisa berubah menjadi tuhan. Seandainya Allâh memungkinkan punya anak, maka dimungkinkan juga memiliki banyak anak. sehingga siapa saja yang memiliki mukjizat maka akan menjadi putra-Nya (?!)[17].Ini jelas tidak mungkin
Semua milik Allâh Azza wa Jalla , membutuhkan-Nya. Maka mustahil Allâh mempunyai sekutu atau putra dari makhluk-Nya.[18] Allâh Azza wa Jalla berfirman:
بَدِيْعُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ اَنّٰى يَكُوْنُ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَمْ تَكُنْ لَّهٗ صَاحِبَةٌ ۗوَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
”Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu” [al-An’âm/6:101]
Dalam beberapa ayat, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan sisi kemanusiaan dan penghambaan yang tetap melekat pada diri Isa dan Ibunya, sehingga tampak jelas mereka bukanlah tuhan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَنْ يَّسْتَنْكِفَ الْمَسِيْحُ اَنْ يَّكُوْنَ عَبْدًا لِّلّٰهِ
Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allâh [an-Nisâ/4:172]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
مَا الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُۗ وَاُمُّهٗ صِدِّيْقَةٌ ۗ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ
Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul dan ibadah seorang yang sangat benar, keduanya biasa memakan makanan [al-Mâidah/5:75]
Allâh Azza wa Jalla juga telah mengabarkan bahwa sepanjang hidup Isa tetap memerintahkan umatnya untuk hanya beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla semata, tidak pernah menyuruh mereka untuk mengkultuskan dirinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَقَالَ الْمَسِيْحُ يٰبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اعْبُدُوا اللّٰهَ رَبِّيْ وَرَبَّكُمْ ۗاِنَّهٗ مَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوٰىهُ النَّارُ ۗوَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ
Padahal al-Masih (sendiri) berkata, “Hai Bani Israil, beribadahlah kepada Allah, rabbku dan rabb kalian”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pastilah Allâh mengharamkan kepadanya surge dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun”.[al-Mâidah/5:72]
Dengan demikian, menjadi jelaslah kebatilan agama Nasrani dengan keyakinan trinitasnya. Sebuah keyakinan yang sulit dicerna akal sehat.
Warisan Ulama Islam dalam Ilmu Kristologi
Para Ulama Islam telah memberikan perhatian dalam membantah agama Nasrani dan konsep ketuhanan mereka yang sangat janggal dalam berbagai karya ilmiah. Di antaranya, al-Ajwibah al-Fâkhirah ‘anil As`ilatil Fâjirah karya al-Qarâfi, al-Jawâbus Shahîh liman Baddala Dînal Masîh karya Ibnu Taimiyah rahimahullah, Hidâyatul Huyâra, karya Ibnul Qayyim[19]
Pelajaran dari Ayat:
- Larangan berbuat ghuluw.
- Kerusakan pada agama Nasrani sebuah keniscayaan. Bahkan kerusakannya terjadi pada perkara yang sangat fundamental, masalah aqidah.
- Kedustaan pangkal dari segala keburukan.
- Terbantahkannya akidah trinitas.
- Aqidah yang lurus tentang Isa Alaihissallam .
- Persamaan inti risalah seluruh utusan Allâh Azza wa Jalla .
- Berhenti dari perbuatan buruk tanda kebaikan.
- Allâh Azza wa Jalla Maha Suci dari anak dan diperanakkan.
- Seluruh alam semesta hanya milik Allâh Azza wa Jalla dan berada dalam penguasaan dan pengaturan-Nya, sehingga tidak mungkin Allâh Azza wa Jalla membutuhkannya.
Wallâhu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XV/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Taisîr al-Karîmir Rahmân 208, al-Ghuluw hlm.22 ‘Ali bin ‘Abdil ‘Aziz asy-Syibl, Tafsîr ath-Thabari 6/46
[2] Adhwâul Bayân 1/380
[3] Zâdul Masîr 1/ 501
[4] Tafsîr ath-Thabari 6/46
[5] Tafsîru al-Qur`ânil ‘Azhîm 2/478
[6] Ibid 2/480
[7] Taisîr al-Karîmir Rahmân hlm. 209
[8] Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 209
[9] Adhwâul Bayân 1/381
[10] Tafsir ath-Thabari 6/47
[11] Zâdul Masîr 1/502, Tafsîru al-Qur`ânil ‘Azhîm 2/480, Taisîr al-Karîmir Rahmân hlm. 209
[12] Tafsîru al-Qur`ânil ‘Azhîm 2/480, Taisîr al-Karîmir Rahmân hlm. 209
[13] Tafsîru al-Qur`ânil ‘Azhîm 2/480
[14] Taisîr al-Karîmir Rahmân hlm. 209
[15] Tafsir al-Qurthubi 6/25, Taisîr al-Karîmir Rahmân hlm.209
[16] Tafsir al-Qur`ânil ‘Azhim 2/481, Tafsir ath-Thabari 6/49
[17] Tafsir al-Qurthubi 6/25
[18] Taisîr al-Karîmir Rahmân hlm. 209
[19] Lihat Dirâsaatul Adyân, al-Yahûdiyyah wan Nashrâniyyah, DR. Su’ûd bin ‘Abdil ‘Azîz al-Khalaf, hlm. 20-23
- Home
- /
- A9. Fiqih Dakwah Kepada...
- /
- Isa al-Masîh Alaihissallam, Bukan...