Kewajiban Fidyah Bagi Wanita Hamil dan Wanita Menyusui
KEWAJIBAN FIDYAH BAGI WANITA HAMIL DAN WANITA MENYUSUI
Oleh
Ustadz Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
Pertanyaan.
Apakah wanita yang hamil dan wanita menyusui wajib mengqodho puasa yang ditinggalkan ataukah cukup hanya dengan membayar fidyah tanpa mengqodho?
Jawaban.
Alhamdulillah, segala puji kita panjatkan kepada Penguasa alam semesta ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga beliau dan seluruh sahabat beliau.
Para ulama telah bersilisih pendapat tentang permasalahan : “Apakah wanita hamil dan menyusui jika meninggalkan puasa karena udzur, harus mengqodlo atau cukup membayar fidyah saja?”.
Terdapat beberapa pendapat dalam permasalahan ini, hanya saja pada kesampatan ini penulis hanya coba memaparkan dua pendapat yang terkuat dari sekian pendapat para ulama dalam permasalahan ini. Akan tetapi sebelumnya penulis ingin mengingatkan kepada para pembaca sekalian bahwasanya permasalahan ini adalah permasalahan khilafiyah dikalangan para ulama, bagaimanapun penulis berusaha memilih pendapat yang terkuat, toh permasalahannya tetap merupakan permasalahan khilaf yang mengharuskan kita untuk berlapang dada dan bertoleransi dengan pendapat yang lain, tanpa ada sedikitpun dalam hati kita pikiran yang negatif terhadap orang yang menyelisihi pendapat kita, terlebih lagi menuduh orang yang menyelisihi kita hanya mengikuti hawa nafsu atau hanya mencari-cari keringanan. Karena tidak ada nash yang tegas dalam permasalahan ini. Syaikh Al-‘Utsaimin berkata, “Dan sebab khilaf adalah tidak adanya nash yang tegas yang shahih dan jelas“[1]
Pendapat Pertama.
Keduanya wajib mengqodho tanpa harus membayar fidyah. Dan hal ini berlaku secara mutlaq apakah keduanya berbuka karena khawatir terhadap diri mereka sendiri ataukah karena khawatir terhadap anak-anak mereka ataukah karena kedua-duanya.
Pendapat ini adalah pendapat madzhab Hanafi[2], dan pendapat ini sangatlah kuat mengingat kekuatan dalil yang ada, oleh karenanya pendapat inilah yang dipilih oleh mayoritas para ulama di zaman kita, seperti Syaikh Bin Baaz[3], Syaikh Utsaimin[4], dan Al-Lajnah Ad-Daimah[5]. Bahkan Ibnu Qudamah berkata, “Wanita hamil dan wanita menyusui jika khawatir terhadap diri mereka sendiri (bukan kawatir terhadap anak mereka-pent) maka boleh bagi mereka berdua untuk berbuka dan wajib bagi mereka berdua untuk qodho saja, dan kami tidak mengetahui adanya khilaf diantara para ahli ilmu dalam hal ini”[6] . Meskipun penafian khilaf yang disampaikan oleh Ibnu Qudamah berkaitan dengan kondisi khusus -yaitu jika keduanya berbuka karena kawatir terhadap diri mereka berdua sendiri-, akan tetapi ini jelas bertentangan dengan pendapat yang menyatakan bahwa keduanya hanya cukup membayar fidyah secara mutlaq tanpa harus mengqodho baik khawatiran karena diri mereka sendiri atau karena anak-anak mereka atau karena kedua-duanya.
Kesimpulan dalil yang dikemukakan oleh para ulama yang memilih pendapat yang pertama ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
Sesungguhnya Allah meringankan bagi seorang musafir setengah sholat dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil. (Hadits dengan lafal ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 31/392 no 19047, Ibnu Majah dalam sunannya 1/533 no 1667, dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro 4/231)
Sisi pendalilan di sini, bahwasanya Allah menggandengkan hukum wanita hamil dan wanita menyusui dengan musafir dalam hal sama-sama diberi keringanan untuk berbuka (tidak berpuasa), hal ini menunjukan bahwa hukum antara wanita menyusui dan wanita hamil juga sama dengan hukum musafir. Jika musafir wajib mengqodho puasa yang ditinggalkannya dan tidak membayar fidyah maka demikian juga dengan wanita hamil dan wanita menyusui.
Kedua : Dalil qiyas, dan ini merupakan dalil terkuat, karena kondisi wanita hamil dan wanita menyusui adalah kondisi seseorang yang mendapatkan suatu udzur yang kelak akan hilang udzur tersebut. Hal ini sebagaimana kondisi seorang musafir yang memiliki udzur safar yang tentunya memberatkan, dan suatu saat dia akan berhenti dari safarnya sehingga hilang udzurnya. Sebagaimana juga seorang yang sakit, ia memiliki udzur sakit dan suatu saat dia akan sembuh sehingga udzurnya hilang. Maka demikian juga dengan wanita hamil dan menyusui, suatu saat udzur mereka akan hilang, oleh karenanya mereka lebih pantas untuk diqiyaskan kepada orang musafir dan orang sakit. Berkata As-Sirokhsi, “Karena wanita yang hamil atau wanita yang menyusui mendapatkan “haroj” (kepayahan/kesulitan) tatkala puasa, dan kesulitan merupakan udzur untuk berbuka sebagaimana orang sakit dan musafir, dan wajib bagi wanita hamil atau menyusui qodho’ tanpa bayar fidyah”[7]
Al-Kaasaani berkata, “Adapun kewajiban membayar fidyah maka syaratnya adalah ketidakmampuan utnuk mengqodho puasa, yaitu ketidakmampuan yang tidak bisa diharapkan akan hilang hingga sampai meninggal dunia. Karenanya fidyah tidak wajib kecuali hanya pada manula. Tidak wajib fidyah bagi orang sakit dan musafir, dan tidak juga wajib fidyah bagi wanita hamil dan wanita menyusui”[8]
Bahkan Al-Kaasaani berkata tentang firman Allah :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. [al-Baqarah/2:184]
Beliau berkata, “Bukanlah yang dimaksud dalam ayat ini dzat sakit, karena orang yang sakit yang tidak mendapat kemudhorotan karena puasa maka tidak boleh baginya untuk berbuka. Maka penyebutan sakit di sini adalah kinayah untuk kondisi yang terdapat pada seseorang yang jika ia berpuasa maka bisa mendapatkan kemudhorotan. Dan kondisi ini juga terdapat pada wanita hamil dan wanita menyusui, maka keduanya masuk (dalam ayat ini-pent) untuk mendapatkan keringanan berbuka”[9]
Pendapat Kedua.
Keduanya hanya wajib membayar fidyah secara mutlaq tanpa harus mengqodho. Ini adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas–radhiollahu ‘anhum–
Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama dalam masalah ini ada empat madzhab.
- Ibnu Umar, Ibnu Abaas, dan Sa’iid bin Jubair berkata, “Keduanya (wanita hamil dan wanita menyusui) berbuka dan memberi makan (fidyah), dan tidak wajib qodho atas keduanya.
- ‘Atoo bi Abi Robaah, Al-Hasan, Ad-Dhohaak, An-Nakho’i, Az-Zuhri, Robi’ah, Al-Auzaa’i, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, dan Ashaab Ar-Ro’yi berpendapat mereka berdua berbuka dan mengqoho tanpa bayar fidyah. Hukum keduanya seperti hukum orang sakit.
- As-Syafi’i dan Ahmad berkata : Keduanya berbuka dan mengqodho serta membayar fidyah. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Mujahid.
- Malik berkata : wanita hamil berbuka dan mengqodho tanpa fidyah dan wanita menyusui berbuka dan mengqoho serta membayar fidyah” (Sebagaimana dinukil oleh An-Nawawi dalam Majmu’ Sarhul Muhadzdzab 6/275)
Pendapat kedua inilah yang dipilih oleh Syaikh Al-Albani dan diikuti oleh kedua murid beliau Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali[10]
Kesimpulan argument yang diajukan oleh para pemilik pendapat kedua ini adalah bahwasanya pendapat ini adalah pendapat sebagian sahabat diantaranya Ibnu Abbas. Beliau pernah berkata
إذا خَافَتِ الحاملُ على نفسها والمرضِعُ على ولدها في رمضان : يُفطران ويُطعمان مكانَ كل يومٍ مسكيناً، ولا يقضيان صوماً
“Jika seorang wanita hamil mengkawatirkan dirinya dan wanita menyusui mengkawatirkan anaknya di bulan Ramadhan (jika mereka berdua berpuasa) maka mereka berdua berbuka dan membayar fidyah untuk setiap hari dengan memberi makan kepada seorang miskin, dan keduanya tidak mengqodho.” (Diriwayatkan oleh At-Thobari no 2758. Syaikh Al-Albani berkata, “Isnadnya shahih sesuai dengan persyaratan Imam Muslim lihat al-Irwaa 4/19)
Bahkan Ibnu Abbas menganggap bahwa wanita hamil dan wanita menyusui sama hukumnya seperti orang manula yang berat melakukan puasa, dimana mereka hanya diwajibkan untuk membayar fidyah tanpa harus mengqodho. Beliau pernah melihat wanita yang hamil atau menyusui maka beliau berkata,
أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِي لاَ يُطِيْقُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ
“Kedudukanmu seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, maka hendaknya engkau memberi makan seorang miskin untuk ganti setiap hari berbuka, dan tidak ada qodho bagimu.” (Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam musnadnya 11/227 no 4996 dan Ad-Daruqthni dalam sunannya 3/196 no 2382 dan Ad-Daruquthni berkata, “Ini adalah isnad yang shahih”)
Beliau juga berkata,
الحاملُ والمرضعُ تفطر ولا تَقٌضِي
Wanita hamil dan wanita menyusui berbuka dan tidak mengqodho (Diriwayatkan oleh Ad-Dahruqthni dalam sunannya 2/196 no 2385, dan dishahihkan oleh beliau)
Ibnu Umar juga berpendapat seperti pendapat Ibnu Abbas.
أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْهُ وَهِيَ حُبْلَى فَقَالَ أَفْطِرِي وَأَطْعِمِي عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا ، وَلاَ تَقْضِي
Ada seorang wanita hamil bertanya kepada Ibnu Umar, maka Ibnu Umar berkata, “Berbukalah dan berilah makan kepada seorang miskin untuk mengganti setiap harinya, dan janganlah mengqodhlo” (HR Ad-Daruquthni dalam sunannya 2/196 no 2388. Abdurrozzaq dalam mushonnafnya 4/217 no 7558, 7559, dan 7561 juga meriwayatkan atsar dari Ibnu Umar dengan makna yang sama dengan riwayat diatas)
Dan tidak diketahui adanya sahabat yang lain yang menyelisihi Ibnu Abbas. Bahkan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Umar. Dan perkataan seorang sahabat adalah sebuah hujjah selama tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi dan tidak menyelisihi nash. Ibnu Qudamah berkata, “Tidak ada dari para sahabat yang menyelisihi mereka berdua (Ibnu Abbas dan Ibnu Umar)” (Al-Mughni 4/394, meskipun Ibnu Qudamah membawakan atsar Ibnu Abbas dan Ibnu Umar pada jika wanita hamil dan menyusui berbuka karena kawatir kepada anak mereka)
Dan perkataan seorang sahabat merupakan hujjah selama tidak ada sabahat lain yang menyelishi, hal ini disepakati oleh para empat imam madzhab (adapun tahqiq dalam permasalahan ini para pemabaca bisa merujuk kepada sebuah bahasan yang ditulis oleh DR Tarhiib Ad-Dausari dengan judul Hujjiyyatu qoulus Shohaabiy ‘inda As-Salaf, dan sebelumnya silahkan membaca penjelasan Ibnul Qoyyim dalam kitabnya I’laamu’ Muwaqqi’iin 5/548 dst). Syaikh Al-‘Utsaimin berkata, “Dan perkataan (pendapat) seorang sahabat adalah hujjah selama tidak menyelisihi nash”[11]. Kita tidak mengatakan bahwa pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dihukumi marfu’ kepada Nabi, karena kalau dihukumi marfu’ maka tentu jelas kekuatan hukumnya sebagaimana hadits Nabi. Akan tetapi kita katakan bahwa pendapat mereka berdua merupakan ijtihad, dan ijtihad itulah yang dikenal oleh para ulama ushul dengan istilah qoulus shohaabiy, yang hal itu merupakan hujjah jika tidak ada sahabat lain yang menyelisihi.
Renungan :
Pertama : Dari penjelasan diatas maka jelas bahwa dalil pendapat yang pertama yang paling kuat adalah dalil qiyas, yaitu mengqiyaskan wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit dan musaafir, dengan ‘illah yang sama yaitu mereka semua sama-sama memiliki udzur yang bisa hilang dikemudian hari.
Kedua : Adapun dalil dari hadits Anas yang dijadikan hujjah oleh pendapat pertama, sisi pendalilannya adalah dikenal oleh para ahli usul dengan istilah “Dalaalatul iqtiroon”, dan sisi pendalilan seperti ini adalah pendalilan yang lemah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama ahli ushul.
Bukankah jika ada seseroang berkata, “Allah telah menggugurkan kewajiban puasa bagi seroang yang sakit dan orang yang tua yang tidak mampu berpuasa”, maka tentu ini adalah perkataan yang benar, namun tidak melazimkan bahwa keduanya (orang sakit dan orang tua) sama dalam hal membayar puasa mereka yang batal. Karena orang yang tua dengan membayar fidyah sedangkan orang yang sakit dengan mengqodho. Oleh karenanya hadits Anas di atas juga dijadikan dalil oleh para pemihak pendapat yang kedua[12], karena telah datang satu riwayat dari hadits Anas tersebut dengan lafal
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ ، أَوِ الصِّيَامَ
Sesungguhnya Allah menggugurkan setengah sholat bagi musafir dan menggugurkan puasa bagi wanita hamil atau menyusui. (HR Ahmad no 19047 dan Ibnu Majah no 1667)
Kalau ada yang berkata, “Bukankah Allah menggugurkan setengah sholat (2 rakaat) bagi orang musafir dan Allah tidak memerintahkan untuk mengqodho’nya?, maka demikian juga dengan pengguguran puasa bagi wanita hamil dan menyusui tidak perlu diqodho sebagaimana setengah sholat yang tidak perlu diqodho oleh musafir jika telah selesai safarnya”. Maka kita katakan ini juga merupakan pendalilan dengan dalaalaatul iqtiroon, dan pendalilan ini lemah.
Ketiga : Tidak bisa dikatakan bahwa pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar sebagai ijmaa’ sukuuti, mengingat bahwasanya tidak disebutkan bahwa pendapat mereka tersohor dikalangan para sahabat dan tidak ada sahabat yang menyelisihi. Yang benar kita katakana bahwa tidak ada dalil yang menunjukan bahwa pendapat mereka berdua tersohor di kalangan para sahabat, namun juga tidak sampai kepada kita dengan riwayat yang shahih ada sahabat lain yang menyelisihi mereka dalam permasalahan ini.
Keempat : Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa Ibnu Abbas memerintahkan wanita hamil dan wanita menyusui untuk mengqodho maka riwayat tersebut tidaklah shahih.
Riwayat tersebut adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam mushonnaf beliau bahwasanya Ibnu Abbas berkata
تُفْطِرُ الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ وَتَقْضِيَانِ صِيَاماً وَلاَ تُطْعِمَانِ
“Wanita hamil dan wanita menyusui berbuka di bulan Ramadhan dan keduanya mengqhodo puasa mereka tanpa memberi makan (tanpa fidyah)“[13]
Riwayat ini adalah riwayat yang lemah atau syadz karena beberapa hal;
Pertama : Riwayat ini adalah riwayat ‘an’anah Ibnu Juraij, dan Ibnu Juraij adalah mudallis. Karena Abdurrozzaq berkata :
عن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس
Dari Ibni Juraij dari ‘Athoo’ dari Ibnu ‘Abaas
Ibnu Juraij -yaitu Abdul Malik bin Abdil Aziz bin Juraij- dimasukkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar pada tobaqoh (tingkatan) ke tiga dari tobaqoot al-Mudallisiin (Tingkatan-tingkatan para mudallis). Ibnu Hajar telah membagi para mudallis menjadi lima tingkatan, dan tingkatan yang ketiga adalah
مَنْ أَكْثَرَ مِنَ التَّدْلِيْسِ فَلَمْ يَحْتَج الأَئِمَّةُ مِنْ أَحَادِيْثِهِمْ إِلاَّ بِمَا صَرَّحُوا فِيْهِ بِالسَّمَاعِ.
“Yaitu para mudallis yang banyak melakukan tadlis sehingga para imam tidak berhujjah dengan hadits-hadits mereka kecuali jika mereka menjelaskan dengan As-Samaa’ (yaitu tatkala meriwayatkan menyebutkan lafal yang menunjukan adanya pendengaran langsung seperti سَمِعْتُ –pent).[14]
Adapun riwayat ‘an’anah nya Ibnu Juraij dari ‘Athoo’ maka para ulama telah khilaf apakah diterima secara muthlaq atau ditolak secara muthlaq mengingat Ibnu Juraij banyak meriwayatkan hadits dari ‘Atoo’ bin Abi Robaah.[15] Akan tetapi yang lebih rojih bahwasanya ‘an’anah ibnu Juraij tidak diterima secara mutlaq kecuali jika “sorroha bit tahdiits” karena sebab-sebab berikut ini :
- Ibnu Juraij banyak melakukan tadlis terhadap rawi-rawi yang lemah dan majhul. Ibnu Hajar berkata tentangnya, “An-Nasaa’i dan yang lainnya mensifati Ibnu Juraij dengan tadlis. Ad-Daaruquthni berkata, “Seburuk-buruk tadlis adalah tadlisnya Ibnu Juraij, karena tadlisnya buruk, ia tidak mentadlis kecuali pada hadits-hadits yang ia dengarkan dari orang yang majruh” (Tobaqootul Mudallisiin hal 41). Imam Ahmad berkata, “Jika Ibnu Juraij berkata , “Qoola fulaan wa qoola fulaan”, maka ia akan mendatangkan hadits-hadits yang mungkar. Dan jika ia berkata, “Akhbaroni wa sami’tu” maka cukuplah engkau dengan hal itu (artinya terimalah riwayatnya-pent)” (siyar A’laam An-Nubalaa’ 6/328). Imam Ahmad juga berkata, “Jika Ibnu Juraij berkata, “Qoola fulaan” maka hati-hatilah” (Siyar A’laam An-Nubalaa’ 6/328)
- Ternyata Ibnu Juraij terkadang Ibnu Juraij berpendapat bolehnya menggunakan sigoh “Akhbaroni” dan “Haddatsani” pada periwayatan dengan ijaazh dan munaawalah[16]
Bahkan DR Musfir Ad-Dumaini memasukkan Ibnu Juraij dalam tingkatan ke empat dari para tukang tadliis yang disifati oleh Ibnu Hajar, “Para perawi yang telah disepakati oleh para ulama bahwasanya hadits-hadits (periwayatan) mereka tidak bisa dijadikan hujjah kecuali jika mereka menjelaskan (dengan shigoh periwayatan yang menunjukan adanya pendegnaran secara langsung-pent), karena banyak tadlis mereka lakukan terhadap rawi-rawi yang lemah dan majhul”[17]
Kedua : Jika berpendapat bahwa riwayat ‘an’anah Ibnu Juraij dari ‘Athoo itu adalah riwayat yang shahih maka kita katakan bahwa riwayat ini syadz karena dua hal :
- Riwayat ini bertentangan dengan riwayat yang ma’ruf dari Ibnu Abbas yang shahih dari banyak jalur (sebagaimana telah dijelaskan penjang lebar tentang jalan-jalan riwayatnya oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul Golil 4/17)
- Hampir seluruh fuqohaa’ dari empat madzhab dari dulu hingga sekarang tidak ada yang mengisyaratkan kepada riwayat Ibnu Juraij di atas, bahkan mereka semua mengakui bahwa pendapat Ibnu Abbas dalam masalah ini adalah wanita hamil dan wanita menyusui cukup membayar fidyah dan tidak perlu mengqodho. Demikian juga para ulama yang menyebutkan tentang khilaf dalam permasalahan ini, mereka mengakui akan pendapat Ibnu Abbas dari riwayat yang shahih bahwasanya wanita hamil dan menyusui hanya cukup membayar fidyah tanpa qodho
Oleh karenanya hingga saat ini penulis belum menemukan ada ulama yang berkata bahwa “riwayat Ibnu Juraij di atas shahih dan kita tidak tahu mana yang lebih dahulu dari pendapat Ibnu Abbas, apakah wanita hamil dan menyusui cukup membayar fidyah tanpa qodho?, ataukah pendapatnya : wanita hamil dan menyusui hanya mengqodho tanpa membayar fidyah”
Kesimpulan
Dari sisi dalil maka penulis lebih condong untuk memilih pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwasanya wanita yang hamil dan menyusui hanya diwajibkan membayar fidyah tanpa harus mengqodho mengingat bahwa perkataan seorang sahabat merupakan hujjah selama tidak ada sahabat lain yang menyelisihi. Dan hujjah ini lebih kuat daripada hujjah mengqiyaskan wanita hamil dan menyusui dengan musafir dan orang sakit. Dan hingga saat ini penulis belum menemukan ada sahabat yang lain –yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih- yang menyelisihi Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
Akan tetapi jika ternyata diketahui ada sabahat lain yang menyelisihi Ibnu Abbas dan Ibnu Umar maka gugurlah pendalilan para pemihak pendapat kedua, dan kuatlah dalil qiyas yang diekmukakan oleh para pemihak pendapat yang pertama.
Kembali lagi penulis mengingatkan bahwa permasalahannya adalah permasalahan khilaf yang kuat yang tidak ada nash yang tegas dalam permasalaha ini. Syaikh Al-‘Utsaimin berkata, “Dan sebab khilaf adalah tidak adanya nash yang tegas yang shahih dan jelas”[18]
Wallahu A’lamu bis Showaab.
Kitab Rujukan
- Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq Syu’aib Al-Arnauth, ‘Adil Mursyid, dll, Isyroof : DR Abdulloh bin Abdul Muhsin At-Turki, Muassasah Ar-Risaalah, cetakan pertama (1421 H-2001 M)
- Sunan Ibni Maajah, tahqiq : Muhammad Fu’ad Abdul Baaqi, Darul Fikr
- As-Sunan Al-Kubro, Al-Baihaqi, Mathba’ah Majlis Daairotil Ma’aarif al-‘Utsmaaniah (1352 H)
- As-Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’, Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin, Daar Ibnul Jauzi, cetakan pertama (1424)
- Majmu’ Fatawa wa Rosaail Syaikh Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin, jam’ wa tartiib : Fahd bin Naashir bin Ibroohiim As-Sulaimaan, Daar At-Tsuroyyaa
- Syarh Az-Zarksyi ‘alaa Mukhtshor Al-Khiroqi fil Fiqh ‘alaa madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq : Abdullah bin Abdirrohman Al-Jibriin, Maktbah Al-‘Ubaikan, Cetakan pertama (1413 H-1993 M)
- Al-Mabshuuth, Syamsuddin As-Sirokhsi, Darul Ma’rifah
- Badaai’ As-Shonaai’ fi tartiib As-Syarooi’, ‘Alaauddiin Abu Bakr bin Mas’uud Al-Kaasaani Al-Hanafi, Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah, cetakan kedua (1406 H-1986 M)
- Al-Majmuu’ Syarhul Muhadzzab, An-Nawawi, tahqiq : Muhammad Najiib Al-Muthi’iy, Maktabah Al-Irsyaad
- Al-Mushonnaf li Abdirrozzaq, Abu Bakr Abdurrozzaq bin Hammaam As-Shon’aani, tahqiq : Habiiburrohmaan Al-A’dzhomi, dari Manyuroot Al-Majlis Al-‘Ilmiy
- Sifat shoumin Nabiy, Ali hasan dan Salim Al-Hilali, Al-Maktabah Al-Islamiyyah, cetakan ke dua (1409 H)
- Tobaqootul Mudallisiin, Ibnu Hajar al-‘Asqolaani, tahqiq : DR ‘Isoom Al-Qoryuuthi, Maktabah Al-Manaar, cetakan pertama
- Sunan Ad-Daaruquthni, Ali bin Umar Ad-Daaruquthni, tahqiq : Syu’aib Al-Arnauth, isyroof Abdul Muhsin At-Turki, Muassasah Ar-Risalah, cetakan pertama (1424 H-2004 M)
- At-Tadliis fil hadiits, DR Musfir Ad-Dumaini, cetakan pertama (1412 H-1992 M)
- Siyar A’laam An-Nubalaa, Ad-Dzahabi, tahqiq Syu’aib Al-Aranuuth, Muassasah Ar-Risaalah, cetakan kedua (1402 H-1982 M)
- At-Tarjiih fi masaailis soum waz zakaat, Muhammad bin Umar Bazmuul, Daarul Hijroh, cetakan pertama (1415 H-1995 M)
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 09 Syawal 1431 H (18/09/2010) 18 September 2010
Disalin dari firanda.com
[1] As-Syarhul Mumti’ 6/350
[2] Lihat Al-Mabshuuth 3/99 dan Badaai’ As-Shonaai’ 2/97
[3] Lihat majmu’ al-fatawa 15/225
[4] Lihat Asy-Syarhul Mumti’ 6/220
[5] Lihat fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 10/226
[6] Al-Mughni 4/393-394
[7] Al-Mabshuuth 3/99, Lihat juga penjelasan Syaikh al-‘Utsaimin dalam Majmuu’ Fataawa beliau 19/165 dan juga penjelasan Syaikh Bin Baaz dalam Majmu” fataawaa beliau 15/225, 227
[8] Badaai’ As-Shonaai’ 2/105
[9] Badaai’ As-Shonaai’ 2/97
[10] Lihat sifat shoum An-Nabi hal 80-85
[11] As-Syarhul Mumti’ 6/446
[12] Lihat At-Tarjiih fi Masaaili As-Shiyaam waz Zakaat hal 62
[13] Al-Mushonnaf 4/218 no 7564
[14] Tobaqootul Mudallisiin hal 13
[15] Lihat al-Irwaa’ 3/97
[16] Lihat kitab At-Tadliis fil hadiits karya DR Musfir Ad-Dumaini hal 383-386
[17] Tobaqootul Mudallisiin hal 14
[18] As-Syarhul Mumti’ 6/350
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah5 Puasa...
- /
- Kewajiban Fidyah Bagi Wanita...