Seputar Ilmu Yang Mementingkan Belajar Hadits Nabi Yang Mulia

SEPUTAR ILMU YANG MEMENTINGKAN BELAJAR HADITS NABI YANG MULIA

Pertanyaan
Saya ingin belajar ilmu yang membahas tentang bagaimana mentashih hadits yang mulia, bagaimana kesempurnaan riwayatnya, menjelaskan maknanya, dan lain sebagainya. Apa nasehat anda ? dan apa saja jurusan-jurusan ilmu hadits dan jazakumullah khairan ?

Jawaban
Alhamdulillah.

Allah –Ta’ala- berfirman:

  وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

Dan ta`atlah kepada Allah dan ta`atlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”. [At Taghabun/64: 21]

Sebagaimana diketahui bahwa taat kepada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa salla- setelah beliau wafat adalah dengan menjalankan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya yang tertera di dalam sunnah Nabi yang shahih.

Para ulama kaum muslimin telah memperhatikan kebenaran hadit-hadits Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, membedakan mana yang shahih dan mana yang dha’if, mana yang diterima dan mana yang ditolak, mereka juga mempelajari redaksi haditsnya dan makna yang sesuai dengan yang dimaksud oleh Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Dan karena itulah maka muncul cabang ilmu hadits yang termasuk ilmu kebanggaan umat Islam; karena umat sebelumnya tidak mengenal untuk menghafal semua apa yang dibawa oleh Nabi mereka dengan meriwayatkannya, memastikan kebenarannya dan memahaminya seperti yang ada pada ummat ini.

Dan karenanya kami menjawab pertanyaan saudaraku yang mulia dengan beberapa hal:

Pertama: Hadits adalah semua apa yang disandarkan kepada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari ucapan beliau, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau sifat akhlaknya.

Al Hafidz As Sakhawi dalam Fathul Ghaits (1/10) berkata:
“Hadits (baru) secara bahasa adalah lawan kata dari qadim (lama), secara istilah adalah semua apa yang disandarkan kepada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- baik dari ucapan, perbuatan, persetujuan atau sifat beliau termasuk gerakan dan diamnya beliau dalam kondisi terjaga maupun tidurnya”.

Jadi, maksud dari hadits adalah semua yang dinukil/diriwayatkan oleh para sahabat dari Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, baik dari perkataan beliau, perbuatan, sifat fisik atau sifat akhlak beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- atau persetujuan beliau untuk ucapan, perbuatan atau yang lainnya –‘Alaihis shalatu was salam-.

Kedua: Para ulama Islam telah menulis ilmu yang agung, yaitu; ilmu hadits. Tujuan ilmu ini adalah membahas semua hal yang berkaitan dengan hadits Nabi, baik dari sisi periwayatannya dan sejauh mana kebenarannya, atau dari sisi redaksi periwayatannya dan semua yang berkaitan dengan hal itu, baik dari sisi ketepatan hafalan, makna, pemahaman, dan kesimpulannya.

Oleh sebab itu ilmu hadits dibagi menjadi dua bagian:

  1. Ilmu hadits dari sisi periwayatannya (riwayah)
  2. Ilmu hadits dari sisi pemahamannya (dirayah)

Adapun ilmu hadits riwayah adalah yang dikenal dengan Ushul Hadits, yaitu ; sebuah ilmu yang berkaitan dengan kebenaran redaksi hadits, kondisi para rawi dan semua yang berkaitan dengan hal itu.

Sedangkan ilmu hadits dirayah adalah yang membahas tentang makna redaksi hadits, dan semua hukum dan manfaat/hikmah yang bisa disimpulkan dari hadits tersebut.

Baca Juga  Mengambil Ilmu dan Mendatangi Para Ulama

Haji Khalifah dalam Kasyfuzh Zhunun (1/635) :
“Ilmu bi riwayatil hadits adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana bersambungnya hadits-hadits yang ada dengan Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dari sisi kondisi para perawinya, sisi hafalan dan keadilannya (bisa dipercaya), dan dari sisi bagaimana sanadnya, bersambung atau terputus dan lain sebagainya”.

Hal ini lebih dikenal dengan Ushul Hadits sebagaimana yang sudah dijelaskan.

Adapun ilmu tentang Dirayatil Hadits adalah ilmu yang membahas tentang makna kontekstual dari redaksi hadits dan tentang maksud yang terkandung di dalamnya disesuaikan dengan kaidah bahasa Arab dan rambu-rambu syari’at dan disesuaikan dengan kondisi Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-“.

Kemudian dari kedua cabang ilmu hadits di atas dibagi lagi menjadi beberapa bagian dan pembahasan, sampai mereka tidak meninggalkan semua kata yang berserak dan yang masuk, khususnya yang berkaitan dengan ketetapan dan makna redaksi hadits, kecuali mereka telah membahasnya secara terperinci per bab.

Sampai-sampai Abu Amr bin Sholah menyusun kitab yang terkenal “Ulumul Hadits”, beliau memasukkan di dalamnya 70 ilmu dari ilmu hadits.

Ketiga : Jika kamu –wahai saudaraku yang mulia- ingin belajar dan mengetahui semua yang berkaitan dengan hadits Nabi yang mulia, maka harus menempuh dua cara:

Cara pertama :  Yang berkaitan dengan ilmu hadits secara riwayat, yaitu; yang berkaitan dari sisi ketetapan periwayatannya, shahih dan dha’ifnya, maka harus mempelajari tiga ilmu:

  1. Ilmu Musthalah Hadits,
  2. Ilmu Jarh wa Ta’dil dan
  3. Ilmu ‘Ilal Al Hadits.

Masing-masing ilmu tersebut mempunyai tangga untuk mempelajarinya dan metodologi untuk bisa sampai kepada yang dimaksud.

Kamu bisa merujuk kepada kitab “Hilyah Thalib Ilmi” karya Syeikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid –rahimahullah- dan syarahnya karya Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin –rahimahullah-.

Dan hal ini harus melalui tangan orang alim yang mumpuni atau pembelajar yang berkapasitas; disertai dengan praktek lapangan dari kaidah hadits yang telah dipelajarinya, lalu koreksikan kepada seorang ulama atau syeikh yang menjadi rujukan ilmu tersebut.

Imam Asy Syatibi berkata di dalam Al Muwafaqaat (1/147) berkata:
“Menelaah kitab-kitab para penulis dan para penyusun, maka hal itu juga akan bermanfaat pada jalurnya dengan dua syarat:

  1. Dia hendaknya memahami maksud dari ilmu yang dipelajari dan mengetahui istilah-istilah yang terkandung di dalamnya yang bisa disempurnakan dengan melihat buku, cara pertama dengan langsung bertemu para ulama atau apa saja yang bisa dikembalikan kepadanya, inilah makna dari ucapan seseorang yang berkata: “Bahwa ilmu itu ada di dalam dada manusia, kemudian berpindah ke buku-buku, dan kunci-kuncinya ada di hadapan manusia tersebut”. Buku-buku saja tidak akan mendatangkan manfaat apapun bagi seorang pembelajar tanpa adanya para ulama, hal ini sudah menjadi saksi sejarah dan lumrah.
  2. Hendaknya mencari kitab-kitab terdahulu dari para ahli ilmu yang dimaksud; karena mereka lebih tau duduk masalahnya dari pada yang lainnya dari para ulama yang belakangan.

Semua ini jika kamu ingin meniti jalannya para penuntut ilmu dan ingin meneliti ilmu ini.

Baca Juga  Imam Malik bin Anas : Ikuti Sunnah dan Tinggalkan yang Menyalahi Sunnah

Adapun jika anda tidak ingin menjadi spesialis di dalamnya, dan obsesimu tidak untuk fokus mencarinya ; karena anda sudah sibuk dengan cabang ilmu lainnya atau karena profesimu, atau karena tidak ada waktu untuk mempelajarinya, akan tetapi anda hanya ingin mengetahui pemikiran umumnya untuk menambah wawasan, maka anda hanya cukup dengan kitab-kitab ringkasan yang mudah dalam masalah ini, seperyi ; Taisir Musthalah Hadits, karya Syeikh Mahmud At-Thahhan, atau dengan Al Mazhumah Al Baiquniyyah disertai dengan syarahnya.

Hal ini juga termasuk yang mendatangkan manfaat, tidak apa-apa, dan setiap orang akan dimudahkan sesuai dengan ciptaannya.

Cara kedua : Yaitu dengan mempelajari limu hadits dirayah, yang membahas berkaitan dengan makna hadits, pemahaman yang terkandung di dalamnya, dan hukum-hukum dan hikmah yang bisa disimpulkan.

Inilah yang menjadi tujuan dari ilmu pertama. Ilmu yang pertama menjadi sarana untuk itu, setelah dipastikan bahwa riwayat tersebut sudah sehat, maka gilirannya untuk mengetahui maksudnya.

Di dalam hadits yang riwayatkan oleh Abu Daud dan Sunannya (3660) dari Zaid bin Tsabit berkata: “Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

نَضَّرَ الله امرَأً سَمِعَ منَّا حديثاً فحفِظَه حتىِ يُبَلَّغَهُ، فَرُبَّ حامِلِ فقهٍ إلى مَن هو أفقَهُ منه، ورُبَّ حاملِ فقهٍ ليس بفقيهٍ
والحديث صححه الشيخ الألباني في “صحيح الترغيب والترهيب

Allah akan memberikan kebahagiaan kepada seseorang yang telah mendengarkan hadits kami, lalu ia menghafalnya hingga menyampaikannya. Berapa banyak para pembawa fikih ada yang lebih faham lagi darinya, dan berapa banyak juga pembawa fikih namun ia tidak fakih”. [Hadits ini telah dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib: 90]

Tidak mungkin memahami ucapan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan pemahaman yang benar kecuali dengan mempelajari dua ilmu yang pokok :

  1. Ilmu bahasa dan
  2. Ilmu ushul fikih.

Ini juga membutuhkan metodologi yang benar untuk mempelajarinya, dengan mengambil dari para ulama yang mumpuni.

Di antara cara untuk memudahkan jalan untuk mempelajarinya, maka anda harus masuk dan belajar di mahad atau akademi yang mumpuni untuk mempelajari ilmu syar’i, anda juga bisa mendaftar di akademi “Zaad” di sana ada banyak kebaikan in sya Allah.

Kami katakan di sini sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya, jika tidak ada kesempatan bagi anda untuk mempelajarinya secara luas, berpindah dari satu tingkat ke tingkat lainnya, maka cukup bagi anda untuk memulainya dengan yang penting dan yang pokok; dengan menghafal kitab Arba’in Nawawiyyah disertai dengan syarahnya yang banyak sekali, seperti; Syarh Syeikh Sholeh Alu Syeikh –hafizhahullah- atau Syarah Syeikh Utsaimin –rahimahullah-.

Lalu berikutnya dengan mempelajari Syarah Riyadhus Shalihin karya Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-

Kemudian Jami’ Ulum wal Hikam karya Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hambali.

Semoga Allah memberikan anda dan kaum muslimin semuanya ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, Amiin.

Disalin dari islamqa

  1. Home
  2. /
  3. A5. Panduan Menuntut Ilmu...
  4. /
  5. Seputar Ilmu Yang Mementingkan...