Masyarakat Merdeka
MASYARAKAT MERDEKA
Masyarakat Muslim Menyambut Kemerdekaan
Manusia tidak mengenal suatu masyarakat yang menyambut kemerdekaan seperti masyarakat muslim yang menerapkan syari’at Islam dalam kehidupan dan menyambutnya. Dan manusia tidak mengenal kemerdekaan dengan maknanya yang paling dalam seperti yang dikenal oleh manusia muslim yang mengerti petunjuk agamanya.
Hal ini karena Islam yang membentuk kepribadian manusia muslim, dan membangun masyarakat muslim, telah menentukan arti kemerdekaan, membuat aturan dan ukuran yang menjadikannya suatu kemerdekaan yang layak bagi manusia yang dimuliakan oleh Allah, dan menjadikannya sebagai khalifah di muka bumi, untuk memakmurkannya dengan kebaikan dan kebahagiaan bagi manusia.
Islam telah memberikan kemerdekaan kepada manusia yang menghargai kepribadiannya yang seimbang, memelihara haknya secara syar’i, dan memberikan kesempatan padanya untuk melakukan semua yang bermanfaat tanpa batasan dan rintangan.
Arti Kemerdekaan Dalam Islam
Kemerdekaan dalam Islam mencakup seluruh segi kehidupan : agama, politik, pemikiran, sipil, masyarakat dan kepribadian, dan berbagai macam model kemerdekaan lainnya, dengan syarat ia muncul dari akal manusia, bukan dari hawa nafsu, dan menggunakannya untuk kebaikan dirinya dan kebaikan masyarakatmya, tidak bertentangan dengan kemaslahatannya atau merugikan orang lain.
Kebebasan bukan berarti mengikuti hawa nafsu dan syahwatnya, memuaskan keinginannya, atau menyebarkan keraguan dan mengacaukan pemikiran, menginjak-injak kesucian, membangkitkan fitnah dan menyerang orang lain; kebebasan mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilanggar oleh manusia yang berakal ; karena dengan demikian ia mengganggu kebebasan orang lain, dan kebebasan seseorang selalu berhenti di permulaan kebebasan orang lain.
Dalam masyarakat muslim, kebebasan bukanlah merongrong akidah Islam dan prinsip-prinsip dasar agama yang telah diketahui secara baik oleh setiap muslim ; sebab negara dimana masyarakat muslim tegak, konsisten dengan akidah dan peraturan, akidah adalah dasar yang di atasnya dibangun masyarakat dan negara, akidah ini berdiri atas keimanan kepada Allah, tunduk dan patuh padanya, mengikuti syari’atnya melalui kenabian dan kerasulan, dimana yang terakhir adalah Islam, oleh karena itu ikatan akidah merupakan ikatan masyarakat yang paling tinggi, dan di atasnya berdiri kesatuan masyarakat, bukan berdasarkan kepentingan, bukan kesatuan keturunan, kewarga negaraan, dan nasionalisme.
Dalam negara Islam dan masyarakat muslim akidah merupakan peraturan umum yang dihormati semua umat , bangsa dan masyarakat, maka tidak boleh bagi siapapun merongrong, menyerang atau melawannya; karena hal ini merupakan perusakan terhadap aturan masyarakat dan negara, dan ini tidak boleh dilakukan atas nama kebebasan.
Dalam negara Islam merusak akidah Islam atau menentangnya berarti mengajak untuk meruntuhkannya ; karena akidah adalah dasar bangunannya, dan penentangan yang terang-terangan dinamakan murtad, dan hukuman bagi orang murtad adalah hukuman bagi setiap yang mengajak untuk menghancurkan dasar negara dan memberontaknya, yaitu dibunuh. Adapun jika orang murtad hanya sebatas keyakinan dalam dirinya tanpa disampaikan kepada orang lain, maka hukuman itu tidak dilakukan, karena negara Islam tidak menghukum keyakinan orang, akan tetapi mempersoalkan yang nampak dan perbuatan yang menyebabkan fitnah dan merusak bangunan masyarakat.
Dalam masyarakat muslim kebebasan juga bukan berarti mengajak kepada akidah pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam dari segi prinsip; karena ia berarti penentangan terhadap akidah Islam, dan ajakan untuk menyingkirkan hukum yang diturunkan oleh Allah, berikutnya adalah menentang dasar negara secara umum. Dikecualikan dari kaidah umum ini adalah kepercayaan terhadap agama-agama samawi, yaitu ahli kitab, seperti Yahudi, Nasrani dan yang semisalnya, mereka dibolehkan tetap dalam akidah mereka, dan berhak mengumumkannya dalam batas lingkungan yang khusus bagi mereka dan di rumah ibadah mereka, hal ini karena pada dasarnya agama-agama ini ada kesamaan dengan Islam dalam hal dasar-dasar keimanan kepada Allah, hari akhir dan kenabian. Tidak ada seorang pun dari mereka yang dipaksa masuk Islam karena (Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)) dalam masyarakat muslim dan negara Islam.
Islam telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama dan akidahnya, dan pilihan ini mempunyai nilai dan tanggung jawab, karena manusia walaupun anak kecil tidak boleh dihapus kepribadiannya, atau dirampas kebebasannya, atau dipaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinannya, oleh karena itu Islam mengharamkan memaksa orang mengikutinya, walaupun ia adalah kebenaran yang tidak diragukan lagi; Karena pemaksaan ini merupakan pelanggaran terhadap kebebasan manusia dan kehormatannya, disamping tidak ada gunanya orang mengikuti dengan terpaksa.
Islam sangat menghormati manusia, sangat menghormati kebebasan dan harga dirinya, dan mempunyai pandangan yang agung terhadap kemanusiaan.
Dengan pemahaman yang jelas ini tentang kemerdekaan, maka dalam masyarakat muslim manusia mempunyai kebebasan, ia bisa menggunakan kebebasannya yang dibolehkan dalam segala aspek kehidupannya.
Aspek Kebebasan Dalam Masyarakat Muslim
Dalam masyarakat muslim manusia boleh mengungkapkan pemikiran yang membangun yang timbul dalam hatinya, dengan media massa yang mana saja baik cetak maupun elektronik.
Ia berhak mengkritik kondisi yang tidak baik dan tidak benar, selama dalam mengkritik berpijak pada kebenaran dan disertai bukti-bukti nyata, termasuk di dalamnya amar ma’ruf dan nahi mungkar, ini diperintah baik bagi laki-laki maupun wanita, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar. [at Taubah/9: 71]
Ia bebas berkumpul dengan orang lain untuk membentuk opini, yayasan atau badan yang berdiri di atas pemikiran yang benar, dengan dasar menghormati akidah umat dan manhaj hidupnya, ini termasuk saling tolong menolong yang dianjurkan oleh al-Qur’an.
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. [al Maidah/5: 2]
Ia bebas memilih pekerjaan dan mata pencaharian untuk mencukupi dirinya dan keluarga yang ada di bawah tanggung jawabnya, tidak boleh disempitkan kesempatannya untuk mencari rezeki dari pekerjaan yang ia miliki, atau dipaksa mengerjakan sesuatu yang bukan bidangnya.
Ia mempunyai kebebasan yang utuh di tempat tinggalnya, tidak boleh bagi siapapun masuk rumahnya tanpa izinnya, atau memata-matainya, atau mencari-cari kesalahannya, atau menginjak-injak kehormatannya, seperti agama, nyawa, badan, harga diri, keluarga dan hartanya.
Minoritas non muslim boleh hidup di dalam masyarakat muslim dengan bebas, memeluk agama yang diyakininya, dan melaksanakan ibadahnya, karena (Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam))
Luasnya Pemahaman Kebebasan Dalam Masyarakat Muslim
Dalam masyarakat muslim arti kebebasan sangat luas, mencakup terlepasnya manusia dari semua tekanan dan paksaan, baik dari cengkraman penguasa zalim, atau kekuatan yang bisa mengekangnya, inilah yang dikatakan oleh Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu kepada gubernurnya di Mesir Amru bin Ash, karena putranya memukul orang Mesir Kopti: “Sejak kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu mereka dalam keadaan Merdeka“, inilah kata-kata yang terukir dalam sejarah, dan menjadi dasar bagi hak-hak asasi manusia, dikatakan bahwa Jean Jacques Rousseau mengutip kata-kata ini.
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berwasiat kepada anaknya dengan wasiat yang pantas ditulis dengan tinta emas, yaitu perkataannya: “Janganlah engkau menjadi hamba orang lain, karena Allah telah menjadikanmu Merdeka“.
Permusuhan Penguasa Zalim Terhadap Kebebasan
Arti kebebasan ini adalah semakna dengan penghambaan kepada Allah; karena insan muslim tidak menjadi hamba kecuali bagi Allah, oleh karena itu ia tidak mengenal tuhan kecuali Allah, ketika manusia mengerti hakikat ini maka ia benar-benar merdeka; karena penghambaannya kepada Allah membebaskannya dari penghambaan kepada selain Allah.
Tidak ada yang lebih membunuh kebebasan daripada menjadikan sebagian manusia tuhan bagi yang sebagian yang lain, dalam kondisi seperti ini manusia tidak bisa mengembalikan kemerdekaannya dan kehormatannya kecuali jika mereka menghancurkan tuhan-tuhan palsu itu, terutama dalam diri orang-orang yang dianggap tuhan, padahal ia adalah manusia seperti mereka, tidak bisa memberikan manfaat atau bahaya kepada dirinya, tidak juga menghidupkan, mematikan dan membangkitkan.
Tidak naik kekuasaan bagi para tiran kecuali kebebasan dipasung, dan tidak meningkat api kebebasan kecuali kursi para tiran runtuh.
Semua agama samawi mengajak ummat mendongakkan kepalanya di hadapan para tiran, tidak ada yang lebih menakutkan para tiran seperti ketakutan mereka apabila umat menerima agama langit, oleh karena itu Fir’aun berkata kepada Musa Alaihissallam:
قَالُوْٓا اَجِئْتَنَا لِتَلْفِتَنَا عَمَّا وَجَدْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَا وَتَكُوْنَ لَكُمَا الْكِبْرِيَاۤءُ فِى الْاَرْضِۗ
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi?” [Yunus/10: 78]
Kalau seandainya Nabi Musa Alaihissallam menerima kesombongan Fir’aun dan keangkuhannya, niscaya Fir’aun menerimanya dan mengizinkan bagi rakyatnya melaksanakan kegiatan keagamaan yang diajak oleh Nabi Musa Alaihissallam, selama hal ini tidak membahayakan kekuasaan dan kedudukannya. Oleh karena itu kisah Fir’aun dan Nabi Musa Alaihissallam disebutkan berulang kali dalam al-Qur’an, dan pengulangan ini mempunyai makna yang besar, yaitu yang hak tidak bisa berdampingan dengan kebatilan, dan bahwasanya penguasa tirani tidak bisa bersabar atas kebenaran yang bergerak ; karena ia tahu bahwa kebenaran akan mengalahkannya.
Orang-orang musyrik Arab telah memahami hakikat ini sejak mereka mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka dengan terang-terangan agar berikrar bahwa.
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ
” Tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah”
Mereka yakin bahwa di belakang kalimat tauhid ini terkandung perubahan yang menyeluruh dalam kehidupan bangsa Arab, dimana ia menjadikan kedaulatan bagi Allah, dan tidak bisa mencapai kepada kedudukan tertinggi kecuali yang melaksanakan syari’at Allah, oleh karena itu mereka menentang dakwah baru ini, mereka menyiksa siapa saja yang beriman dan mau mengikuti panggilan dakwah ini, terutama orang-orang miskin dan lemah.
Maka diperlukan hijrah ke suatu negeri dimana orang-orang lemah itu mendapat kebebasannya, mereka bisa bergerak dengan dakwahnya, jauh dari cengkraman orang-orang musyrik Qurais, pertama kali hijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan di sanalah umat Islam menetap dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan Negara Islam.
Sejak hari itu tumbuhlah masyarakat kebebasan yang menjaga kebebasan individu dan memeliharanya, menghormati perasaan umat dan pendapat mereka, seseorang tidak memikul kesalahan orang lain, dan tidak ada yang dijatuhi hukuman kecuali penjahat yang berhak mendapatkan hukuman, seseorang tidak bertanggung jawab atas kesalahan orang lain seperti yang dilakukan para penguasa di masa kini, dimana kekejaman dan hukumannya meluas kepada semua yang ada kaitannya dengan pelaku kejahatan baik sebagai teman, kerabat atau hubungan nasab.
[Disalin dari ( الحرية في المجتمع الإسلامي ) Buku Masyarakat Muslim Dalam Perspektif Al Quran dan Sunnah. Penulis Muhammad Ali al-Hasyimi. Penerjemah : Muzaffar Sahidu, Editor : Muhammad Thalib. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2009 – 1430]
- Home
- /
- A7. Kenapa Takut Kepada...
- /
- Masyarakat Merdeka