Pelaku Dosa Besar Tidak Dikafirkan

PELAKU DOSA BESAR TIDAK DIKAFIRKAN

Oleh
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh

Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah mengatakan, “Kami tidak mengkafirkan seorang ahlil qiblat pun (orang Islam yang melaksanakan sholat menghadap ka’bah-pent) dengan sebab suatu dosa, selama dia tidak menghalalkannya. Kami juga tidak mengatakan, ‘Dosa apapun tidak akan membahayakan pelakunya asalkan ada keimanan.”

Ketika menjelaskan untaian kalimat di atas, kami memandang Syaikh Shâlih bin Abdul Azîz Alusy Syaikh telah memberikan penjelasan yang penuh makna dan bermanfaat. Oleh karena itu, kami menampilkan penjelasan beliau tersebut agar bisa dijadikan tuntunan dalam memahami  agama Islam yang mulia ini. Dan sekaligus sebagai bantahan tuduhan terhadap “salafy” –menurut istilah mereka-

Beliau hafizhahullah mengakatan :
“Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah dengan untaian kalimat beliau ini hendak menyampaikan (pesan-red), bahwa dosa yang dilakukan ahlul qiblat (kaum Muslimin) tidak serta merta menjadikannya kafir, sebagaimana pendapat Khawârij. Namun juga tidak berarti bahwa perbuatan dosa yang dilakukan ahlul qiblat (kaum Muslimin) tidak berdampak atau berakibat apa-apa bagi pelakunya, sebagaimana pendapat kaum Murji’ah. Dengan pernyataan di atas imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah telah menyelisihi Khawârij, Mu’tazilah dan Murji’ah.

Tidak diragukan lagi bahwa masalah ini termasuk masalah besar. Yaitu masalah mengkafirkan orang yang menisbatkan diri kepada orang Islam, yaitu orang yang istiqamah dalam keislaman dan keimanannya, jika ia melakukan perbuatan suatu dosa. Karena kaidah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah menyatakan bahwa orang yang telah masuk Islam dengan yakin, maka dia tidak bisa dikeluarkan hanya karena perbuatan dosa yang dia lakukan. Dia juga tidak bisa keluar dari Islam dengan semua perbuatan dosa yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla yang dilakukannya. Namun (dalam menjatuhkan vonis kafir kepadanya-red) sebagai akibat dari perbuatan dosa-dosa ‘amaliyahnya harus ada (syarat-red) istihlâl. (Istihlâl), maksudnya dia meyakini bahwa perbuatan dosa itu halal, bukan dosa, bukan perkara yang diharamkan. Inilah jalan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. Mereka tidak menjatuhkan vonis kafir kepada (pelaku dosa), tetapi mereka menyatakannya salah, sesat, atau fâsik.

Jadi kita katakan, “Dia mukmin dengan sebab imannya, fasik dengan sebab dosa  besarnya, muslim dengan sebab tauhidnya. Dia fasik dengan sebab dosa yang dia lakukan dengan terang-terangan dan belum bertaubat.

Kalimat (imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah) ini memuat penetapan aqidah Ahlus Sunnah yang berbeda dengan Khawârij, Mu’tazilah dan Murji’ah.

Jika point ini sudah jelas, maka (ketahuilah-red) dalam untaian kalimat di atas ada beberapa permasalahan :

Dalil yang dijadikan landasan oleh Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah untuk menghukumi bahwa orang Islam yang melakukan dosa tidak dikafirkan.

Kesimpulan ini ditunjukkan oleh sejumlah dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, diantaranya :

1. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.  [al-Baqarah/2:178]

Sebagaimana telah diketahui bahwa orang yang membunuh termasuk diantara orang yang diseru dengan seruan iman iman. Karena ssetelah itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ

Maka barangsiapa (yakni pembunuh orang mukmin-pen) yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya (yakni keluarga korban), hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik (di dalam menuntut diyat), dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula).   [al-Baqarah/2:178]

Allâh Azza wa Jalla menamakannya saudara bagi keluarga korban. Ini menunjukkan bahwa pembunuhan, meskipun dia dosa besar namun tidak menghilangkan iman.

2. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ   فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٩ اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ 

Dan jika ada dua golongan kaum mukminin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allâh; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allâh), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu. [Al-Hujurat/49: 9-10]

Baca Juga  Sikap Ahlus Sunnah Diantara Firqah Sesat

Allâh Azza wa Jalla tetap menamakan mereka orang-orang mukmin dan bersaudara. Ini menunjukkan bahwa pembunuhan yang mereka lakukan tidak menyebabkan imannya hilang, padahal Allâh Azza wa Jalla  berfirman :

وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ 

Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allâh murka kepadanya, dan mengutukinya.  [an-Nisâ’/4:93]

Allâh Azza wa Jalla mengancamnya dengan Jahannam, kemurkaan dan laknat, namun  Allâh Azza wa Jalla tidak menghilangkan iman (status mukmin) darinya. Ini menunjukkan bahwa dosa besar yang dilakukan oleh seorang muslim tidak menyebabkan imannya hilang. Dan perbuatan dosa ini bukan alasan untuk melegalkan vonis “keluar dari Islam” untuk para pelaku dosa.

3. Diantara dalil yang dijadikan landasan juga adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan lainnya, ketika ada salah shahabat yang dijuluki Himar dibawa kehadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena minum khamr, maka beliau menderanya. Lalu dia minum khamr kedua kali, dia dibawa lagi kehadapan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  kemudian beliau menderanya. Kemudian ketika dia dihadapkan ketiga kalinya, seorang laki-laki berkata, “Semoga Allâh melaknatnya, alangkah seringnya dia dihadapkan!” (Mendengar ini-red), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu jangan mengatakan demikian, karena sesunggunya dia mencintai Allâh dan Rasul-Nya.

Lafazh hadits yang dibawakan oleh syaikh adalah sebagai berikut -pen:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلاً عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ ، وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا ، وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، وَكَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – قَدْ جَلَدَهُ فِى الشَّرَابِ ، فَأُتِىَ بِهِ يَوْمًا فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ اللَّهُمَّ الْعَنْهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ تَلْعَنُوهُ ، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ »

Dari Umar bin Al-Khaththab, bahwa ada seorang laki-laki di zaman Nabi namannya Abdullah, dia diberi julukan Himar. Dia biasa menjadikan Rasulullah n tertawa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menderanya karena minum (khomr). Suatu hari dia didatangkan, maka beliau memerintahkan terhadapnya, lalu dia didera. Maka seorang laki-laki dari para sahabat berkata, “Semoga Allâh melaknatnya, alangkah seringnya dia dia didatangkan!”. Maka Nabi kita n bersabda, “Kamu jangan mengatakan demikian, demi Allâh, yang aku ketahui dia mencintai Allâh dan RasulNya”. [HR. Bukhari, no.6780-pent]

Ini menunjukkan bahwa rasa cinta kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya n (yang dimiliki seseorang-red) menyebabkan dia tidak boleh dilaknat meski dia melakukan perbuatan dosa besar. Ini berarti menjatuhkan vonis kafir atau keluar dari Islam lebih terlarang lagi.

4. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوْا عَدُوِّيْ وَعَدُوَّكُمْ اَوْلِيَاۤءَ تُلْقُوْنَ اِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. [al-Mumtahanah/60:1]

Allâh Azza wa Jalla memanggil mereka dengan panggilan iman meski mereka melakukan dosa yaitu menyampaikan (berita-berita Muhammad) kepada musuh Allâh dan musuh Rasul-Nya dengan dasar cinta. Ini menunjukkan bahwa memberikan kasih sayang (kepada orang-orang kafir) karena urusan dunia tidak menyebabkan seseorang keluar dari iman, bahkan terkumpul padanya firman Allâh di akhir ayat tersebut:

وَمَنْ يَّفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاۤءَ السَّبِيْلِ

Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. [al-Mumtahanah/60:1]

5. Dalam kisah Hâthib bin Abi Balta’ah yang menyampaikan berita Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang-orang kafir secara rahasia, menunjukkan adanya perbuatan dosa yang dilakukan Hathib dan adanya ampunan untuknya karena dia termasuk sahabat yang ikut perang Badar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Hathib Radhiyallahu anhu :

Baca Juga  Rasul Tugas dan Kekhususannya

لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ، فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ

Mudah-mudahan Allâh telah memperhatikan Ahli Badr (para sahabat yang ikut perang Badar) lalu berkata, “Lakukan semaumu, sesungguhnya Aku telah mengampuni kamu”. [HR. Bukhari, no. 3007]

Dalam riwayat lain (yakni riwayat imam Ahmad, dengan lafazh-pent) :

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ

Sesungguhnya Allâh telah memperhatikan Ahli Badr (para sahabat yang ikut perang Badar) lalu berkata, “Lakukan semaumu, sesungguhnya Aku telah mengampuni kamu”. [HR. Ahmad]

Dalil-dalil tentang prinsip ini banyak dibawakan oleh Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah.

5. Diantara dasar yang mendasari kaidah ini dari sisi akal adalah dosa-dosa besar, seperti: mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, menuduh berzina, dan lain sebagainya telah ditetap adanya hadatau hudûd. Dan hudûd itu adalah pembersih dosa-dosa, sementara (hukuman) orang murtad itu dibunuh, bagaimanapun keadaannya. Jadi keberadaan hudûd ini membuktikan bahwa dia telah melakukan sesuatu yang tidak menyebabkannya keluar dari agama Islam. karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

Barangsiapa merubah agamanya,maka bunuhlah dia! [HR. Bukhâri, no. 6922; Abu Dâwud, no. 4351; Nasâi, no. 4059; Ibnu Mâjah, no. 2535]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

Dan orang yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jama’ah (muslimin). [HR. Muslim, no. 4468; Abu Dâwud, no. 4352; Tirmidzi, no. 1402; Ibnu Mâjah, no. 2534]

Lafazh hadits ini secara lengkap adalah :

« لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi Laa ilaaha illa Allâh dan aku adalah utusan Allâh kecuali dengan salah satu dari tiga yaitu orang yang sudah menikah yang melakukan zina; satu jiwa (dibunuh/diqishash) dengan sebab (membunuh) satu jiwa; dan orang yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jama’ah (muslimin). [HR. Muslim, no. 4468; Abu Dâwud, no. 4352; Tirmidzi, no. 1402; Ibnu Mâjah, no. 2534–pent]

Maksudnya, orang murtad itu termasuk orang yang halal darahnya. Ini menunjukkan bahwa dosa-dosa yang dilakukan seseorang bisa dibersihkan dengan hudûd, dan dosa-dosa bukanlah kekafiran. Karena jika merupakan kekafiran, maka pelakunya tentu dibunuh karena murtad berdasarkan sabda beliau n :

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

Barangsiapa merubah agamanya,maka bunuhlah dia! [HR. Bukhâri, no. 6922; Abu Dâwud, no. 4351; an-Nasâ’i, no. 4059; Ibnu Mâjah, no. 2535]

6. Perinsip ini juga ditunjukkan oleh kepemilikan hak wali (keluarga) korban terbunuh untuk memberi ma’af. Mereka memiliki hak untuk memberi ma’af, jika mau dan bisa menuntut qishah, jika mau. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

مَنْ قُتِلَ مَظْلُوْمًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهٖ سُلْطٰنًا فَلَا يُسْرِفْ فِّى الْقَتْلِۗ اِنَّهٗ كَانَ مَنْصُوْرًا

Barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.  [al-Isrâ’/17:33]

Firman Allâh Azza wa Jalla “maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya” menunjukkan bahwa hak di sini (yaitu menuntut qishash) adalah milik makhluk, adapun kemurtadan adalah hak Allâh, yakni balasan/hukuman kemurtadan adalah hak Allâh. –Al-hamdulillahi rabbil ‘alamin-

(Diterjemahkan oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Syarhu ‘Aqîdah ath-Thahawiyah, karya Syaikh Shâlih bin Abdul Azîz Alusy Syaikh)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

  1. Home
  2. /
  3. A3. Aqidah Makna dan...
  4. /
  5. Pelaku Dosa Besar Tidak...