Ibadah Haji Keinginan Setiap Muslim

IBADAH HAJI, KEINGINAN SETIAP MUSLIM

Oleh
Ustadz Abu Abdillah Arief Budiman Lc

وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabb-nya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu kaharamannya, maka jauhilah olehmu barhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan yang dusta“. [Al Hajj/22 : 26-30].

Pada ayat-ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan keagungan dan kemuliaan al Bait al Haram (rumah yang suci, Ka’bah), juga kemuliaan orang yang membangunnya, yaitu khalilur rahman (Nabi Ibrahim Alaihisallam)[1]. Sebagaimana dalam ayat-ayat ini pula, terdapat celaan terhadap orang-orang yang menyembah selain Allah Subhanahu wa Ta’al. Demikian pula celaan terhadap orang-orang yang berbuat syirik dari kaum Quraisy, yang justru mereka berbuat kufur dan syirik di tempat yang pertama kali diserukan tauhidullah (pengesaan Allah) dan pengkhususan ibadah hnaya untuk Allah saja tanpa ada kesyirikan.

Allah pun menyebutkan dalam kitabNya yang mulia ini, bahwa Dia telah menempatkan Ibrahim Alaihissallam di sebuah tempat, yaitu Baitullah. Maksudnya adalah membimbingnya dan menyerahkan kepadanya, serta mengizinkannya untuk membangunnya[2].

Ayat pertama dari kelima ayat di atas mengandung makna, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi Ibrahim Alaihissallam dan anaknya, yaitu Nabi Ismail Alaihissallam[3]  agar membangun Ka’bah[4]  atas namaNya Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagiNya dan menyucikannya dari kesyirikan-kesyirikan[5], yang (tujuannya) diperuntukkan bagi orang orang yang thawaf mengelilinginya, yang tinggal padanya[6], dan shalat dengan menghadap kepadanya dari kalangan orang-orang senantiasa melakukan ruku’ dan sujud[7].

Pada ayat berikutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar Nabi Ibrahim Aliahissallam menyerukan kepada segenap manusia di seluruh penjuru bumi, agar manusia melakukan ibadah haji dengan menuju Baitullah (Ka’bah) yang sebelumnya Allah telah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membangunnya.[8]

Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

(niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh), mengandung janji Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Ibrahim Alaihissallam, bahwa segenap manusia dari segala penjuru dunia akan datang berhaji menuju Baitullah, mereka berjalan kaki ataupun berkendaraan[9].

Adapun firmanNya يَأْتُوكَ (mendatangimu), walaupun kenyataannya mereka mendatangi Ka’bah, akan tetapi karena yang diperintah untuk menyerukannya adalah Ibrahim Alaihissallam, maka seolah-olah orang yang mendatangi Ka’bah untuk melakukan ibadah haji telah mendatangi Nabi Ibrahim Alaihissallam, karena ia telah menyambut seruannya tersebut. Ayat ini juga mengandung unsur pemuliaan terhadap Nabi Ibrahim Alaihissallam[10].

Al Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Ayat ini seperti ayat lainnya ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan perihal NabiNya, (yaitu) Ibrahim Alaihissallam, tatkala ia berkata di dalam doanya:

فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ

(maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka – Ibrahim/14 ayat 37), maka tak ada satu orang Islam pun melainkan ia benar-benar ingin dan rindu melihat Ka’bah dan thawaf mengelilinginya. Oleh karena itu, seluruh manusia (umat Islam) mendatanginya dari segala arah dan penjuru dunia[11].

Pada ayat berikutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa manfaat dari berkunjung ke Baitullah al Haram, baik yang bersifat diniyah ataupun duniawiyah.

Manfaat-manfaat diniyah ialah, seperti dapat mengerjakan ibadah-ibadah yang utama di tempat tersebut[12] sehingga meraih keridhaanNya[13]. Adapun manfaat-manfaat duniawiyah, seperti memperoleh daging-daging hewan kurban dan keuntungan-keuntungan dari hasil berniaga atau yang semisalnya[14]. Kedua jenis manfaat ini dapat diraih sekaligus agar kaum muslimin bersyukur kepadaNya dengan berdzikir, mengingat dan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mereka menyembelih hewan kurban yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’alapun memerintahkan setelahnya, agar sebagian sembelihan tersebut dimakan oleh mereka yang berkurban, dan sebagian yang lain diberikan kepada para fakir miskin[15].

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kaum muslimin menunaikan seluruh manasik haji dan menghilangkan segala kotoran yang ada pada tubuh mereka dengan cara mencukur rambut kepala, memotong kuku, dan kembali mengenakan pakaian mereka. Semua ini sebagai tanda bahwa ihram mereka telah usai. Kemudian menunaikan nadzar-nadzar mereka[16] dan akhirnya dengan melakukan thawaf[17]. Pada ayat ini, terkandung perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kaum muslimin melakukan thawaf (secara tersendiri, padahal thawaf juga termasuk paket manasik haji) karena keutamaannya. Disamping itu, seluruh manasik haji adalah washilah (perantara) menuju thawaf ini. Mungkin juga, karena ada sebab lainnya, yaitu thawaf disyariatkan di setiap waktu dan kesempatan, dilakukan pada saat haji ataupun waktu lainnya[18].

Baca Juga  Manusia-manusia Seperti Keledai

Adapun ayat terakhir dari lima ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan kembali bahwa semua itu merupakan perintah Allah, agar kaum muslimin menunaikan seluruh ibadah manasik haji sebagai perwujudan taat kepadaNya, pengagungan dan penghormatan terhadap hurumatillah[19]. Dan karena hal-hal ini sangat dicintai Allah, maka semuanya itu merupakan kebaikan di dunia dan akhirat bagi yang melakukannya, sehingga AllahSubhanahu wa Ta’alal menyediakan pahala yang sangat agung dari sisiNya bagi yang menunaikannya[20].

Dan firmanNya:

وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ

(Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu kaharamannya), maksudnya adalah, telah dihalalkan seluruh hewan ternak seperti unta, sapi dan kambing. Kecuali yang telah diharamkan dari hewan-hewan tersebut, sebagaimana yang telah diterangkan di dalam Al Qur`an[21].

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ

(maka jauhilah olehmu barhala-berhala yang najis itu), maksudnya ialah, diwajibkan atas setiap muslim untuk menjauhi peribadatan terhadap berhala-berhala. Dan berhala-berhala dalam ayat ini disifati dengan najis, karena berhala merupakan salah satu jenis najis yang terbesar, yang menyebabkan pelakunya kekal dengan adzab di dalam neraka, karena ia telah berbuat syirik besar -wal ‘iyadzubillah-.

Adapun maksud dari najis di sini ialah, najis secara hukum (maknawi), bukan najis secara dzati (konkrit, nyata). Sehingga najis di sini adalah sifat syar’i yang berhubungan dengan hukum-hukum iman, yang tidak mungkin dihilangkan kecuali dengan iman, sebagaimana (orang yang) bersuci dengan menggunakan air[22].

Berkaitan dengan firman ini, ada sebuah hadits dari ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَفِيْ عُنُقِيْ صَلِيْبٌ مِنْ ذَهَبٍ, فَقَالَ: ((ياَ عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذاَ الْوَثَنَ)), وَسَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فِيْ سُوْرَةِ بَرَاءَة: اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِنْ دُوْنِ اللهِ , قاَلَ: ((أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُوْنُوْا يَعْبُدُوْنَهُمْ, وَلَكِنَّهُمْ كَانُوْا إذَا أَحَلُّوْا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوْهُ, وَإذَا حَرَّمُوْا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوْهُ)).

Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan pada leherku terdapat salib (yang terbuat) dari emas, (lantas) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Wahai ‘Adi, buanglah darimu watsan ini!’. (Lalu) aku mendengar beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat dalam surat Bara’ah/At-Taubah/9 ayat 31: اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِنْ دُوْنِ اللهِ (Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah), beliau bersabda: ‘Ketahuilah sesungguhnya mereka tidak menyembahnya, akan tetapi apabila mereka (orang-orang alim dan rahib-rahib mereka) menghalalkan sesuatu, merekapun (ikut) menghalalkannya, dan apabila mereka mengharamkan sesuatu, merekapun (ikut) mengharamkannya[23].

Dan firmanNya dalam ayat.

وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

(… dan jauhilah perkataan-perkataan yang dusta), maksudnya ialah, menjauhi seluruh kata-kata yang diharamkan, baik berupa kata-kata dusta, batil, ataupun persaksian dusta[24].

Jika kita perhatikan dari firman yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghubungkannya dengan berhala (kesyirikan), yang menunjukkan betapa besar dosa berkata-kata atau bersaksi dusta.

Dalam sebuah hadits Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ ثَلاَثاً, قاَلُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ, قاَلَ: ((الإشْرَاكُ بِاللهِ, وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ)), وَجَلَسَ, وَكَانَ مُتَّكِئاً, فَقَالَ: ((أَلاَ وَقَوْلَ الزُّوْرِ)), قَالَ: فَماَ زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتىَّ قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ.

Maukah kalian aku beritahukan tentang dosa besar yang paling besar?” Beliau mengatakannya tiga kali. Para sahabat menjawab.”Tentu, wahai Rasulullah,” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Mempersekutukan Allah dan durhaka kepada orangtua.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk bersandar, dan kembali bersabda: “Waspadalah dari berkata dusta”. Abu Bakrah berkata,”Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulang-ulangnya, sampai-sampai kami berkata, seandainya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam“.[25]

Demikianlah tafsir singkat lima ayat dari surat Al Hajj yang mulia ini. Adapun untuk mengetahui secara luas pembahasan haji dan seluruh hukum-hukum syariat yang berkenaan dengannya, kami menyarankan agar membaca kitab-kitab tafsir ataupun kitab-kitab yang membahas secara khusus masalah ibadah haji.

Wallahu a’lam, wa akhiru da’waana ‘anil hamdulillahi rabbil ‘aalamin.

Maraji’ dan Mashadir

  1. Shahih al Bukhari, tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Dar Ibni Katsir, Al Yamamah, Beirut, Cet. III, Th. 1407 H/1987 M.
  2. Shahih Muslim, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar Ihya at Turats, Beirut, tanpa cetakan dan tahun.
  3. Tafsir ath Thabari, tahqiq Mahmud Syakir, Dar Ihya at Turats, Beirut, Cet I, Th. 1421H/ 2001M.
  4. Tafsir al Qurthubi (Al Jami’ li Ahkamil Qur`an), Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, tahqiq Abdur Razzaq al Mahdi, Dar al Kitab al ‘Arabi, Cet II, Th. 1421 H/1999 M.
  5. Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq Sami bin Muhammad aS Salamah, Dar ath Thayyibah, Cet I, Th. 1422H/2002M.
  6. Fathul Bari, Ibnu Hajar al Asqalani (773-852 H), tahqiq Muhibbuddin al Khatib, Dar al Ma’rifah, Beirut.
  7. Taisir Karim ar Rahman fi Tafsiri Kalami al Mannan, Abdurrahman bin Nashir as Sa’di, tahqiq Abdurrahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Dar as Salam, Cet I, Th. 1422 H/2001 M.
  8. Adhwaul Bayan, Muhammad al Amin asy Syinqithi (1393H), tahqiq Maktab ad Durus wa ad Dirasat, Dar al Fikr, Beirut, Cet. 1415 H/ 1995M.
  9. Shahih Sunan at Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Taisir al Karim ar Rahman (2/132).
[2] Lihat Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (5/413).
[3] al Baqarah/2 ayat 125. Lihat Adhwa’ al Bayan (4/297).
[4] Para ulama berbeda pendapat dalam masalah yang pertama kali membangun Ka’bah. Apakah Ka’bah sudah ada sebelum masa Nabi Ibrahim ataukah belum? Al-Hafizh Ibnu Katsir membawakan perkataan mereka dalam tafsirnya pada surat al Baqarah/2 ayat 125-128 (1/437-440 dan 5/413). Demikian halnya Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (6/408-409). Dan kesimpulan dari seluruh perkataan ulama tersebut mungkin bisa kita ambil dari perkataan Syaikh Muhammad al Amin asy Syinqithi di dalam tafsirnya Adhwa’ al Bayan (4/296): “Maksud utama yang ditunjukkan oleh (ayat) al Qur`an ini ialah, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menempatkan Nabi Ibrahim Alaihissallam dengan membimbingnya dan memperkenalkannya (kembali) kepadanya, agar ia membangunnya di tempatnya. (Walaupun) sementara ada sebagian ulama lainnya yang berpendapat, bahwa orang pertama yang mendirikan Ka’bah adalah Ibrahim Alaihissallam, dan tidak ada orang lain sebelumnya yang mendirikannya. Namun, tekstual perkataannya (Ibrahim Alaihissallam) ketika ia meninggalkan Ismail dan Hajar di Mekkah seraya berkata:
رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ
(Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. – QS Ibrahim/14 : 37), menunjukkan bahwa sesungguhnya Ka’bah sudah (ada dan) pernah dibangun, kemudian hilang berangsur-angsur (karena tertimbun tanah dan akhirnya diketahui kembali), sebagaimana telah ditunjukkan oleh ayat ini:
مَكَانَ الْبَيْتِ
(Di tempat Baitullah– Al Hajj/22 ayat 26), karena hal ini menunjukkan bahwa Baitullah telah didahulukan oleh tempat lain sebelumnya yang sudah dikenal, berada di tempat yang sudah dikenal sebelumnya. Wallahu a’lam.”
[5] Yang berupa berhala-berhala dan maksiat-maksiat lain seperti berkata-kata keji, dusta dan yang semakna dengannya.
[6] Baik dengan melakukan shalat ataupun orang-orang yang tinggal bermukim di sekitarnya.
[7] Lihat Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (1/423-424 dan 5/413), dan Taisir al Karim ar Rahman (2/132).
[8] Lihat Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (5/414).
[9] Berupa unta-unta yang kurus. Lihat Adhwa’ al Bayan (4/299) dan Taisir al Karim ar Rahman (2/132).
[10] Lihat Al Jami’ li Ahkam al Qur`an (12/38). Syaikh Muhammad al Amin asy Syinqithi dalam tafsirnya menerangkan secara panjang lebar hal-hal yang berkaitan dengan seluruh hukum ibadah haji dan khilaf ulama serta tarjih yang beliau bawakan. Lihat Adhwa’ al Bayan (4/299 sampai 5/110 dan yang setelahnya).
[11] Lihat Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (5/414).
[12] Seperti thawaf, i’tikaf dan ibadah-ibadah lainnya, yang keutamaannya tidak didapatkan kecuali jika dilakukan di Baitullah. Lihat Taisir al Karim ar Rahman (2/132).
[13] Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (5/414).
[14] Al Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Demikianlah yang dikatakan oleh Mujahid dan ulama lainnya, bahwa yang dimaksud dengan manfaat di sini adalah manfaat-manfaat di dunia dan akhirat, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu. (Al Baqarah : 198). Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (5/414), dan Adhwa’ al Bayan (5/111).
[15] Taisir al Karim ar Rahman (2/133). Yang berkaitan dengan firman Allah فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ (pada hari yang telah ditentukan), para ulama pun berselisih pendapat tentangnya. Di antara mereka ada yang berkata, bahwa hari-hari itu adalah sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah. Ada pula yang berkata, bahwa hari-hari itu adalah hari ke sepuluh dan tiga hari setelahnya di bulan Dzul Hijjah. Dan masih ada pendapat-pendapat lainnya juga. Lihat Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (5/415-416). Namun Syaikh Muhammad al Amin asy Syinqithi mengatakan, bahwa seluruh pendapat ulama yang banyak tersebut tidak ada yang bisa dijadikan dasar dan hujjah, kecuali hanya dua pendapat saja. Pendapat pertama adalah pendapat Imam Malik dan para ulama Kufiyyin (yang berasal dari Kufah), yang mengatakan hari-hari itu adalah hari ‘Idul Adha (hari ke sepuluh di bulan Dzul Hijjah) dan dua hari setelahnya (yaitu hari ke sebelas dan ke dua belas). Pendapat kedua adalah pendapat Imam asy Syafi’i dan para ulama Syamiyyin (yang berasal dari Syam), yang mengatakan, hari-hari itu adalah hari ‘Idul Adha (hari ke sepuluh di bulan Dzul Hijjah) dan tiga hari setelahnya (yaitu hari yang ke sebelas, ke dua belas, dan ke tiga belas). Lihat Adhwa’ al Bayan (5/115-116).
[16] Baik itu nadzar yang berkaitan dengan ibadah haji, ataupun nadzar lainnya secara umun, selama nadzar tersebut bukan maksiat. Lihat Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (5/417-418), dan Al Jami’ li Ahkam al Qur`an (12/50).
[17] Yaitu thawaf ifadhah yang hukumnya wajib. Imam Ath Thabari berkata: “Tidak ada khilaf di antara ahlul ilmi tentang masalah ini.” Lihat Tafsir ath Thabari (17/179), Al Jami’ li Ahkam al Qur`an (12/50), dan Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (5/417-418)
[18] Taisir al Karim ar Rahman (2/133-134).
[19] Dengan cara menjauhi segala perbuatan maksiat dan hal-hal haram lainnya. Juga bisa ditafsirkan segala sesuatu yang memiliki kehormatan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan diperintahkan untuk menghormatinya dengan cara beribadah dengannya. Seperti seluruh praktek manasik haji. Maka semua hal ini seseorang tidak boleh meremehkannya, atau bermalas-malasan dalam menunaikannya. Lihat Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (5/419), dan Taisir al Karim ar Rahman (2/134)
[20] Lihat Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (5/419), dan Taisir al Karim ar Rahman (2/134).
[21] Imam ath Thabari berkata di dalam tafsirnya (17/180): “(Maksudnya adalah), Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghalalkan bagi kalian wahai sekalian muslimin, seluruh hewan-hewan ternak seperti unta dan domba…, kecuali yang telah dibacakan atas kalian dalam kitab Allah, seperti:
الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
Bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. (Al Maidah/5 : 3), maka semuanya itu adalah najis (haram)”.
[22] Lihat Al Jami’ li Ahkam Al Qur`an (12/53), Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (5/419), dan Taisir al Karim ar Rahman (2/134).
[23] HR At Tirmidzi (5/278 no. 3095). Dan dihasankan Syaikh al Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi
[24] Lihat Al Jami’ li Ahkam al Qur`an (12/54), Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (5/419), dan Taisir al Karim ar Rahman (2/134-135).
[25] HR Al Bukhari (2/939 no. 2511, 5/2229 no. 5631, 5/2314 no. 5918, 6/2535 no. 6521), Muslim (1/91 no. 87), dan lain-lainnya. Dan dari hadits Anas bin Malik, HR Al Bukhari (5/2230 no. 5632, 6/2519 no. 6477), Muslim (1/92 no. 88), dan lain-lainnya

Baca Juga  Tata Cara Haji
  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Ibadah6 Haji...
  4. /
  5. Ibadah Haji Keinginan Setiap...