Aturan Al-Qur’an Dalam Masalah Harta

ATURAN AL-QUR’AN DALAM MASALAH HARTA

Oleh
Syaikh Abu Bakr Al-Jazairi[1]

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allâh sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.  [An-Nisâ’/4:5]

MUFRADAT

  • Al-Îtâ’ [الإيْتَاءُ] artinya memberikan. Misalnya ungkapan, “âtâhu kadzâ (آتَاهُ كَذَا) artinya ia memberinya sesuatu. Jadi makna wa lâ tu’tû (dalamayat di atas) adalah dan janganlah kalian memberikan.
  • As-Sufahâ’ (السُّفَهَاءُ) bentuk jamak dari kata safîh (السَّفِيْهُ). Dalam bahasa Arab, kata itu bermakna orang yang lemah akalnya dikarenakan jahil, atau karena ia tidak mengetahuinya. Sedangkan dalam pengertian syar’i, kata itu berati orang yang tidak bisa mengatur penggunaan harta dengan baik. Karena ia tidak tahu dan tidak mengerti aturan membelanjakan harta, atau karena dorongan hawa nafsunya lebih dominan daripada pertimbangan akal sehatnya.

Kata ini cakupannya umum, meliputi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, orang dewasa ataupun anak-anak, yang tidak bisa mengatur hartanya dengan benar, baik dengan melakukan sesuatu yang bisa menguras hartanya, menyia-nyiakannya, atau dengan merusaknya, misalnya dengan menggunakan harta pada hal-hal yang justru mendatangkan bahaya, atau minimal membelanjakannya pada sesuatu yang tidak bermanfaat sama sekali.

  • Al-amwâl (الأمْوَالُ) bentuk jamak dari al-mâl (المَالُ), yaitu segala sesuatu yang bernilai harta, baik berupa benda mati, seperti emas, perak, biji-bijian, buah-buahan, atau berupa properti seperti tanah, rumah, pabrik; atau yang bersuara seperti hewan, khususnya binatang ternak berupa unta, sapi, dan kambing; juga kuda, bighal (hasil perkawinan antara kuda dan keledai) serta keledai.
  • Al-Qiyâm (القِيَامُ); dalam (salah satu) bacaan qira’ah sab’ah juga dibaca: qiyaman (قِيَماً) bentuk jamak dari qîmah (قِيْمَةٌ), artinya sesuatu yang dijadikan standar nilai bagi barang-barang yang lain, sedangkan al-qiyâm artinya pokok penopang atau penyangga sesuatu. Jadi, harta itu pokok yang menopang kehidupan manusia, baik dalam taraf pribadi maupun kelompok, karena harta ia dapat menjadikan hidup ini menjadi eksis dan berjalan dengan baik.
  • Al-Qaul al-ma’rûf (القَوْلُ الْمَعْرُوفُ) adalah janji yang baik, ucapan yang lembut dan bagus. Misalnya, seorang wali atau yang diamanahi untuk menyampaikan (atau mengurusi) wasiat mengatakan kepada orang yang akan menerima wasiat tersebut namun dia masih belum diperbolehkan untuk mengurusi hartanya sendiri (mahjûr alaih) disebabkan akalnya yang belum sempurna, “Ini adalah hartamu. Aku hanya orang yang menjaga hartamu ini, untuk kepentinganmu. Bila engkau telah besar atau matang pikirannmu, hartamu akan kuserahkan kepadamu dan engkau bisa mengaturnya sendiri, karena engkau adalah pemiliknya.”

Makna Ayat
Sekelompok kaum Muslimin, yang bisa saja berkedudukan sebagai suami, ayah, wali, orang yang diamanati untuk menyampaikan atau menjaga wasiat, atau seorang hakim (penguasa) yang diminta (untuk mengurus harta orang safih), mereka ini dilarang oleh Allâh Azza wa Jalla untuk memberikan harta  kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, baik dia lelaki, wanita, ataupun anak-anak, meski faktanya harta itu memang hak mereka. Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka yang bertanggung jawab untuk memberikan kebebasan kepada orang-orang safîh tersebut dalam mengurusi harta mereka sendiri, sebab mereka bisa menyia-nyiakannya, merusaknya, atau melenyapkannya dengan cara membelanjakannya pada sesuatu yang tidak mereka butuhkan sama sekali, atau dengan menginfakkannya pada sesuatu yang lekat dengan kemaksiatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Misalnya, mereka menggunakannya untuk pada minuman, makanan, atau pakaian yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla .

Disamping itu, Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan kepada  para wali atau yang diwasiati agar memberikan nafkah kepada mereka (orang-orang safîh) itu dari harta tersebut dengan menyediakan atau membelikan sesuatu yang mereka butuhkan, baik berupa makanan, minuman, tempat tinggal ataupun pakaian.

Allâh Azza wa Jalla juga agar mereka berkata-kata kepada mereka dengan tutur kata yang lembut, serta menjaga perasaan dan hati mereka. Ini dilakukan dengan cara memberikan janji yang baik (janji yang memang ditepati), yaitu apabila mereka telah matang akalnya, harta tersebut akan diserahkan kepada mereka, meskipun harta tersebut sudah berkembang banyak.

Korelasi Ayat Dengan Ayat Sebelumnya
Dalam ayat sebelumnya, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mengembalikan harta anak-anak yatim kepada mereka, sebagaimana firman-Nya:

وَآتُوا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَىٰ أَمْوَالِكُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. [An-Nisa’/ 4: 2]

Juga Allâh Azza wa Jalla memerintahkan agar memberikan mahar kepada para istri dengan firman-Nya:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. [An-Nisa’ / 4: 4]

Setelah itu, Allâh Azza wa Jalla melanjutkannya dengan ayat yang sedang bahas ini, dengan menjelaskan bahwa orang-orang yang belum sempurna akalnya baik dari lelaki, wanita, dewasa maupun anak-anak, mereka tidak berhak untuk diberikan harta tersebut (kala itu), meskipun mereka mendapatkan kepemilikan harta tersebut secara benar menurut syariat. (Penundaan ini-red) Karena dikhawatirkan mereka akan menyia-nyiakannya, sebab akal mereka belum sempurna, pengetahuan mereka terlalu lemah, atau karena mereka tidak tahu bagaimana memperlakukan dan mengatur harta dengan baik. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman dengan firman di atas:

Baca Juga  Etika Mencari Nafkah

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allâh sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. [An-Nisâ’/4:5]

Berbagai Hukum Yang Terkandung Dalam Ayat
Di antara hukum-hukum yang terkandung dalam ayat tersebut di atas adalah:

  1. Seorang yang belum sempurna akalnya harus dicegah atau dilarang dari melakukan transaksi harta (al-hijr ‘ala as-safih); yaitu ia dicegah untuk melakukan transaksi dalam hartanya, kecuali dalam kadar yang dibatasi, tidak melebihi nafkah kebutuhan kesehariannya yang pokok, berupa makanan, minuman dan sandang.
  2. Harta memiliki kehormatan dan dianggap sebagai penopang pokok kehidupan serta urat nadinya. Dengannya, kehidupan seseorang bisa eksis dan baik. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla mengharamkan perbuatan yang bisa melenyaapkan atau memusnahkan harta dan menghambur-hamburkannya. Allâh Azza wa Jalla juga mengharamkan pembelanjaan harta untuk hal-hal yang membahayakan atau tidak bermanfaat.
  3. Ada kewajiban untuk memberi belanja (nafkah) kepada orang yang belum matang akalnya, baik ia seorang lelaki, perempuan atau anak-anak, sampai akal mereka matang. Setelah itu, barulah harta tersebut diserahkan kepadanya.
  4. Seseorang yang diamanati memegang harta lalu dia ingin melakukan transaksi pada harta tersebut, maka sebelum melakukan apapun, ia wajib mengetahui bagaimana ia seharusnya mengelola harta tersebut.
  5. Harta adalah tiang penopang kehidupan komunitas Muslimin. Sehingga tidak boleh memberikan harta kepada orang yang akan merusaknya, baik dengan menghambur-hamburkanya, juga membelanjakannya dalam kemaksiatan kepada Allâh Azza wa Jalla , siapapun itu. Sebab kepemilikan harta bagi individu tidak berarti memberikan ruang bebas bagi pemilik harta untuk merusak hartanya dengan cara dan bentuk apapun. Karena harta adalah tiang penopang kehidupan seluruh manusia. Sehingga haram atas seorang individu dari mereka untuk memusnahkan dan merusak hartanya, bagaimanapun cara dan bentuknya.

Pelajaran Penting Dari Ayat
Sesungguhnya ayat ini  adalah satu dari tiga ayat dalam al-Qur`an yang menjadi aturan umum dalam mengatur belanja dan aktivitas dalam harta. Seandainya seorang mengikuti aturan ini maka tidak akan butuh kepada sesuatu aturan yang meluruskan penyimpangannya.

Tiga ayat tersebut adalah:

  1. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allâh sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. [An-Nisâ’/4 :5]

  1. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (QS. Al-Isrâ’/ 17:29)

  1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا  

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. [Al-Furqân/ 25:67]

Penjelasannya:
Mencari dan menghasilkan harta dari berbagai sumbernya seperti dari perniagaan, industri dan pertanian serta memiliki usaha jasa bukanlah masalah, karena cinta harta termasuk perkara fitrah pada diri setiap manusia, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ ﴿٦﴾ وَإِنَّهُ عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٌ ﴿٧﴾ وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ

Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Rabbnya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya, dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. [Al-Adiyaat/100:6-8]

Kata al-khair dalam ayat ini bermakna harta.

Sebagaimana juga realita membuktikannya, karena manusia sekarang telah menuhankan harta seperti orang musyrik menuhankan berhala yang disembahnya. Sampai-sampai banyak individu seperti sebuah jamaah, yang tidak dipandang dan tidak tegak kecuali dengan ekonomi dan hartanya, bukan dengan etika dan akhlaknya. Hal itu tentunya dikecualikan sedikit dari kaum Mukminin.

Berdasarkan hal ini, cinta harta dan berbagai usaha untuk mendapatkannya serta kepemilikan terhadap harta bukanlah sebuah kesalahan dalam kehidupan manusia. Akan tetapi permasalahannya adalah pada cara mengeluarkan harta tersebut dan cara menjaganya. Ternyata, ada orang yang melampaui batas dalam mencintai harta, sehingga melakukan cara dan sarana yang terburuk untuk mengumpulkan dan menjaga hartanya seperti menjual diri dan kehormatan serta agamanya. Atau bakhil dan kikir dengan hartanya sehingga ia tidak mengeluarkan dan tidak menyerahkan apa yang menjadi hak harta atasnya. Wal’iyadzu billah.

Ada juga orang yang tidak mengerti nilai harta, tidak menghormatinya dengan benar lalu membuangnya sia-sia, sehingga ia membelanjakannya pada hal-hal yang sangat rendah. Juga bersikap boros hingga mengeluarkannya dari tangannya walaupun sebanyak harta karun. Tidak mampu membuat aturan tepat yang bisa menjaga harta dan pemiliknya dari kerusakan kecuali aturan yang digariskan tiga ayat yang telah kami sebutkan di atas.

Baca Juga  Syari'at Adalah Amanah

Ayat pertama, menjelaskan konsep memuliakan harta dan menganggapnya sebagai hal yang inti dan pokok kehidupan, sehingga diharamkan membiarkan orang-orang yang belum sempurna akalnya menggunakan hartanya, agar tidak terlantar dan hancur.

Ayat kedua, menjelaskan konsep moderat dalam nafkah sehingga pemiliknya dilarang bakhil dan kikir dalam membelanjakan hartanya; sesuai keharusan memberi nafkah dan kewajiban mengeluarkan dan memberikannya. Jangan menjadikan tangannya terbelenggu di lehernya. Ungkapan ini merupakan lafaz kinâyah (kata kiasan) dari puncak kekikiran dan kebakhilan. Tangan yang berbelenggu di leher tidak akan bisa berinfaq. Sebagaimana juga melarang boros dan buang-buang harta. Dan kedua hal ini adalah bentuk membelanjakan harta tanpa kebutuhan dan kepentingan, atau belanja untuk kemaksiatan. Firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya: (dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya) adalah lafaz kinâyah yang menunjukkan makna membuang-buang harta dan boros dalam nafkah, baik yang disyariatkan maupun yang tidak disyariatkan. Tangan yang terlalu diulurkan tidak bisa menahan apapun, sehingga tidak ada yang tersisa.

Untuk larangan yang pertama (yaitu dalam firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, “Jangan kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu alias bakhil-red), jika dilanggar maka akibatnya adalah kamu akan dicela. Karena orang yang tidak menginfakkan atau mengeluarkan harta pada sesuatu yang seharusnya dibiayai, dia pasti akan dicela oleh umat manusia. Karena secara tidak langsung, dia telah menghambat hak-hak orang lain.

Sedangkan untuk larangan kedua (yaitu dalam firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, “Dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya-red), jika dilanggar, maka akibatnya mahsûr. Mahsûr artinya tidak bisa melanjutkan perjalanan karena kecapekan.

Jadi orang menghambur-hamburkan hartanya dan melepaskannya dari genggaman tangannya akan terganggu dalam melanjutkan kehidupannya. Karena harta yang menjadi penopang utama kehidupannya telah disia-siakan dan dirusak sendiri, akibatnya dia akan merasakan bahwa kehidupan akan berakhir. Ini kematian secara maknawi yang bisa menghantarkan kepada kematian sebenarnya.

Ayat ketiga, Ayat ini menetapkan asas keadilan dalam membelanjakan atau mengeluarkan harta. Terlalu mudah mengeluarkan atau terlalu susah (bakhil), kedua-duanya diharamkan.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. [Al-Furqân/25:67]

Maksudnya, tengah-tengah, diantara perbuatan menghambur-hamburkan atau berlebihan dalam membelanjakan harta dan perbuatan bakhil yang tercela ada jalan tengah. Jalan tengah itu adalah tengah-tengah (sedang-sedang) dalam membelanjakan atau memanfaatkan harta.

Inilah aturan al-Qur’an dalam membelanjakan atau memanfaatkan harta. Barangsiapa yang memperaktikkan aturan ini, maka dia pasti selamat dan akan berakhir bahagia. Sebaliknya, orang yang berpaling dari aturan ilahi ini, dia pasti akan sengsara lalu binasa. Kalau sudah begini, maka janganlah dia menyalahkan orang lain. Hendaklah dia menyalahkan dirinya sendiri.

Yang pertanyaan sekarang, seberapa jauhkah atau seberapa dalamkah kaum Muslimin memahami aturan ini? Seberapa jauhkah kaum Muslimin menerapkan aturan ini?

Jawabnya adalah kaum Muslimin generasi awal umat ini telah memahami aturan ini dengan baik dan benar dan mereka juga sudah menerapkannya dalam kehidupan sehari-sehari mereka. Buktinya, mereka telah sampai pada suatu level peradaban yang agung, di mana kaum selain mereka tidak ada yang sampai pada level tersebut dalam kancah kehidupan dunia. Di antara bukti yang menunjukkan bahwa mereka memahaminya dan mengamalkannya dengan baik adalah suatu pertanyaan yang dilontarkan seorang Khalifah Umawiyyah, yaitu Abdul Malik,  yang dilontarkan kepada putrinya yang bernama Fathimah.  Fathimah telah dinikahkan oleh khalifah dengan putra saudaranya yang bernama Umar bin Abdul Aziz. Ketika mengunjungi Putrinya, Abdul Malik bertanya kepada putrinya, “Bagaimana kehidupan kalian?” Ia menjawab, “(Aku hidup dalam) kebaikan di antara dua keburukan.” Yang ia maksud dengan kebaikan adalah nafkah yang sedang dan proporsional. Sedangkan dua keburukan adalah berlebih-lebihan dalam nafkah dan terlalu hemat menyempitkan belanja.

Adapun kaum Muslimin sekarang ini, sungguh (banyak di antara) mereka yang tidak mengetahui apapun, sampai pun mereka tidak mengetahui diri mereka sendiri. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa memahami aturan al-Qur’an terkait harta ini?! Mereka juga tidak mampu untuk mengambil dan mengamalkan aturan-aturan Qur’an terkait berbagai perbaikan dalam kehidupan. Hal itu karena mereka telah mati. Bukan mati secara ragawi, namun mati secara maknawi. Dan orang yang telah mati tentu tidak mampu untuk mendengar ataupun melihat. Ia tidak bisa datang (untuk mengambil aturan tersebut); tidak mampu pula untuk berpaling (meninggalkan aturan yang bertentangan dengan syariat).

Ya Allâh, Wahai Dzat Yang menghidupkan yang mati, hidupkanlah mereka ini!
Wahai Dzat Yang mengabulkan doa, kabulkanlah doa kami untuk mereka!
Kembalikanlah mereka ke pangkuan Islam!

Jadikan mereka mulia dan kuat dengan Islam! Sempurnakanlah mereka di atas Islam. Karena sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XXI/1439H/2018M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari majalah Jami’ah al-Islâmiyah edisi 44 versi Maktabah Syamilah dengan sedikit perubahan.

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Muamalah3 Rezeki...
  4. /
  5. Aturan Al-Qur’an Dalam Masalah...