Anjuran Mencari Nafkah dan Seorang Da’i Tidak Boleh Bergantung Kepada (Murid)nya
ANJURAN MENCARI NAFKAH DAN SEORANG DA’I TIDAK BOLEH BERGANTUNG KEPADA MAD’U (MURID) NYA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Untuk memenuhi kebutuhannya, seorang muslim wajib berusaha dengan mencari nafkah yang halal. Dengan nafkah itu, ia dapat menghidupi dirinya dan keluarganya. Dengan nafkah itu, ia juga dapat memberikan manfaat kepada orang lain. Seorang muslim tidak boleh menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Karena hidup dengan bergantung kepada orang lain merupakan kehinaan. Dan hidup dari usaha orang lain adalah tercela. Malaikat Jibril datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata: ”… Ketahuilah, bahwa kemuliaan orang mukmin shalat nya di waktu malam dan kehormatannya adalah dengan tidak mengharapkan sesuatu kepada orang.”[1]
Allah dan RasulNya menganjurkan umat Islam untuk berusaha dan bekerja. Apapun jenis pekerjaan itu selama halal, maka tidaklah tercela. Para nabi dan rasul juga bekerja dan berusaha untuk menghidupi diri dan keluarganya. Demikian ini merupakan kemuliaan, karena makan dari hasil jerih payah sendiri adalah terhormat dan nikmat, sedangkan makan dari hasil jerih payah orang lain merupakan kehidupan yang hina. Karena itu, Islam menganjurkan kita untuk berusaha, dan tidak boleh mengharap kepada manusia. Pengharapan hanya wajib ditujukan kepada Allah saja. Allah-lah yang memberikan rezeki kepada seluruh makhluk. Kalau kita sudah berusaha semaksimal mungkin, Insya Allah, rezeki itu akan Allah berikan sebagaimana burung, yang pagi hari keluar dari sarangnya dalam keadaan lapar, kemudian pada sore hari pulang dalam keadaan kenyang. Terlebih manusia, yang telah mendapatkan dari Allah berupa akal, hati, panca indra, keahlian dan lainnya serta berbagai kemudahan, maka pasti Allah akan memberikan rezeki kepadanya.
1-عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:لَوْ اَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ, تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا.
Dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, maka niscaya Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung; ia pergi pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, lalu pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang”. [HR Tirmidzi, no. 2344; Ahmad (I/30); Ibnu Majah, no. 4164]
.
Di bawah ini, penulis bawakan beberapa ayat dan hadits-hadits yang menganjurkan seorang muslim makan dari hasil usaha sendiri dan menjaga diri dari meminta-minta kepada orang lain.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Maka apabila shalat telah selesai dikerjakan, bertebaranlah kamu sekalian di muka bumi dan carilah rezeki karunia Allah“. [Al-Jumu’ah/62:10]
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekiNya. Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan“. [Al-Mulk/67:15]
Tentang ayat ini, dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir disebutkan: “Kemudian, Dia menyebutkan nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada makhlukNya dengan menyediakan bumi bagi mereka dan membentangkannya untuk mereka. Dia membuatnya sebagai tempat menetap yang tenang, tidak miring dan tidak juga bergoyang, karena Dia telah menciptakan gunung-gunung padanya. Dan Dia alirkan air di dalamnya dari mata air. Dia bentangkan jalan-jalan, serta menyediakan pula di dalamnya berbagai manfaat, tempat bercocok tanam dan buah-buahan. Dia berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا
“(Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya)”. Maksudnya, lakukanlah perjalanan ke mana saja yang kalian kehendaki dari seluruh belahannya, serta bertebaranlah kalian ke segala penjurunya untuk menjalankan berbagai macam usaha dan perdagangan. Ketahuilah, bahwa usaha kalian tidak akan macam usaha dan perdagangan. Ketahuilah, bahwa usaha kalian tidak akan bermanfaat bagi kalian sama sekali, kecuali jika Allah memudahkan untuk kalian. Oleh karena itu, Dia berfirman
وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ
(Makanlah sebagian dari rezekiNya). Dengan demikian, usaha yang merupakan sarana, sama sekali tidak bertentangan dengan tawakal.
وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
(Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan). Maksudnya ialah, tempat kembali pada hari Kiamat kelak.[2]
2-وَعَنْ اَبِى عَبْدِاللهِ الزُّبَيْرِبنِ العَوَّامِ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللهِ :لأَنْ يَأْخُذَ اََحَدُكُمْ اَحْبُلَهُ ثُمَّ يَاْتِى الْجَبَلَ فَيَاْتِىَ بِحُزْمَةٍ مِنْ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِخِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ اَعْطَوْهُ اَوْ مَنَعُوْهُ.
Dari Abi Abdillah (Zubair) bin Awwam Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak”. [HR Bukhari, no. 1471].
Penjelasan :
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya supaya berusaha memenuhi hajat hidupnya dengan jalan apapun menurut kemampuan, asal jalan yang ditempuh itu halal.
- Berusaha dengan bekerja kasar, seperti mengambil kayu bakar di hutan itu lebih terhormat daripada meminta-minta dan menggantungkan diri kepada orang lain.
- Begitulah didikan dan arahan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadikan umatnya sebagai insan-insan terhormat dan terpandang, dan bukan umat yang lemah lagi pemalas.
- Tidak halal meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak.
- Meminta-minta atau mengemis dalam Islam merupakan perbuatan yang hina dan tercela.
- Usaha dengan jalan yang benar tidak menafikan tawakkal kepada Allah.
- Seseorang tidak boleh menganggap remeh jenis usaha apapun, meskipun usaha itu dalam pandangan manusia dinilai hina.
3-وَعَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللهِ:لأَنْ يَحْتَطِبَ اَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ اَحَدًا فَيُعْطِيَهُ اَو يَمْنَعَهُ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya, seorang dari kalian pergi mencari kayu bakar yang dipikul di atas pundaknya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak”. [HR Bukhari, no. 1470; Muslim, no. 1042; Tirmidzi, no. 680 dan Nasa-i, V/96]
4- عَنْ اَبِى هُرَيْرَة َو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: كَانَ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلامُ لاَيَأْكُلُ اِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدِه
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Adalah Nabi Daud tidak makan, melainkan dari hasil usahanya sendiri”. [HR Bukhari, no. 2073].
Penjelasan :
- Nabi Daud Alaihissalam, disamping sebagai nabi dan rasul, dia juga seorang Khalifah. Namun demikian, sebagaimana diceritakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Beliau, bahwa apa yang dimakan Nabi Daud adalah dari hasil jerih payahnya sendiri dengan bekerja yang menghasilkan sesuatu, sehingga ia dapat memperoleh uang untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Di antaranya sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur`an, bahwa Allah menjinakkan besi buat Nabi Daud, sehingga ia bisa membuat bermacam pakaian besi.
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا دَاوُودَ مِنَّا فَضْلاً يَاجِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertashbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi untuknya. (Yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan“. [Saba`/34:10-11].
Alah Ta’ala mengabarkan tentang kenikmatan yang diberikanNya kepada hamba dan RasulNya, Daud -semoga shalawat dan salam untuknya- diberikanNya keutamaan yang nyata, dihimpunkan kepadanya kenabian dan kerajaan yang kokoh, tentara berjumlah besar dengan peralatan yang lengkap, serta diberikanNya dan dianugerahkanNya suara yang indah; sehingga jika dia bertashbih, maka bertashbihlah bersamanya gunung-gunung yang kokoh, berhentilah burung-burung yang beterbangan untuk mendengarkan dan turut serta bertashbih dengan berbagai ragam bahasa.[3]
- Di dalam hadits ini, seorang muslim dianjurkan untuk bekerja dan berusaha.
- Mencari nafkah tidak menghalangi seseorang untuk menuntut ilmu syar’i.
- Mencari nafkah tidak menghalangi seorang da’i untuk menyampaikan dakwahnya.
5-عَنْ اَبِى هُرَيْرَة وَ عَنْ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: كَانَ زَكَرِيَّا عَلَيْهِ السَّلامُ نَجَّارًا.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nabi Zakaria Alaihissalam adalah seorang tukang kayu”. [HR Muslim, no. 2379; Ahmad II/296, 405, 485].
6- عَنِ المِقْدَامِ بنِ مَعْدِيكَرِبَ عَنْ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ:مَا اَكَلَ اَحَدٌطَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ اَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ, وَاِنَّ نَبِيّ اللهِ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ.
Dari Miqdam bin Ma’dikariba Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, ia berkata: “Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri, sedang Nabi Daud Alaihissalam juga makan dari hasil usahanya sendiri”. [HR Bukhari, no. 2072]
Pelajaran dari hadits :
- Bekerja atau berusaha jenis apapun asal jalan yang ditempuh halal, adalah baik dan terhormat.
- Hidup dengan menggantungkan diri kepada orang lain adalah tercela.
- Malas merupakan sifat yang tercela.
- Makan dari hasil jerih payah sendiri adalah terhormat dan nikmat.
- Para nabi dan rasul, mereka semua tidak meminta upah dari manusia, sebagaimana Allah sebutkan dalam ayat-ayat Al Qur`an.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ مَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ {86} إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ
Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur`an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Qur`an setelah beberapa waktu lagi”. [Shad/38:86-88]
Allah Subhanhu wa Ta’ala berfirman: Katakanlah hai Muhammad, kepada orang-orang musyrik itu “Aku tidak meminta upah kepada kalian (yang kalian berikan) berupa harta benda dunia atas penyampaian risalah dan nasihat ini”.
وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
(Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan). Artinya, aku tidak menghendaki dan menginginkan kelebihan atas risalah yang disampaikan oleh Allah Ta’ala kepadaku, bahkan aku tunaikan apa yang diperintahkanNya kepadaku, aku tidak menambah dan mengurangi, aku hanya mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan negeri akhirat.
Sufyan Ats Tsauri berkata dari Al A’masy dan Manshur, dari Abudh Dhuha, bahwa Masruq bekata: Kami mendatangi Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Lalu dia berkata: “Wahai sekalian manusia, barangsiapa mengetahui sesuatu, maka hendaklah ia mengatakannya. Dan barangsiapa tidak mengetahuinya, maka katakanlah Allahu a’lam (Allah lebih mengetahui). Karena sesungguhnya termasuk bagian dari sebuah ilmu, bahwa seseorang mengatakan ‘Allahu a’lam (Allah lebih mengetahui)’ apa yang diketahuinya”. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada nabi kalian
قُلْ مَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
(Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan)”. [HR Al Bukhari, no. 4809, Tafsir Ibnu Katsir IV/ 47].
Dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
7- مَنْ أَخَذَ عَلىَ تَعْلِيْمِ القُرْانِ قَوْسًا. قَلَّدَهُ اللهُ قَوْسًا مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa mengambil sebuah busur sebagai upah dari mengajarkan Al Qur`an, niscaya Allah akan mengalungkan kepadanya busur dari api neraka pada hari Kiamat”. [Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyq (II/427), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (VI/126) dari jalur Utsman bin Sa’id Ad Darimi, dari Abdurrahman bin Yahya bin Isma’il bin Ubaidillah, dari Al Walid bin Muslim, dari Sa’id bin Abdul ‘Aziz, dari Ismail bin Ubaidillah, dari Ummu Darda’ Radhiyallahu ‘anha][4]
Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Ash Shamit Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku mengajarkan Al Qur`an dan menulis kepada ahli Shuffah. Lalu salah seoarang dari mereka menghadiahkan sebuah busur kepadaku. Kata hatiku, busur ini bukanlah harta, toh dapat kugunakan untuk berperang fi sabilillah. Aku akan mendatangi Rasulullah dan menanyakan kepada Beliau. Lalu aku pun menemui Beliau dan berkata: “Wahai Rasulullah, seorang lelaki yang telah kuajari menulis dan membaca Al Qur`an telah menghadiahkan sebuah busur kepadaku. Busur itu bukanlah harta berharga dan dapat kugunakan untuk berperang fi sabilillah”. Rasulullah bersabda:
8- إِنْ كُنْتَ تُحِبُّ أَنْ تُطَوَّقَ طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا.
“Jika engkau suka dikalungkan dengan kalung dari api neraka, maka terimalah! ” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, Bab Abwabul Ijarah Fi Kasbil Muallim (3416); Ibnu Majah (2157); Ahmad (V/315 dan 324); Al Hakim (II/41, III/356); Al Baihaqi (VI/125) dan selainnya dari dua jalur].
Diriwayatkan dari Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia melihat seorang qari sedang membaca Al Qur`an lalu meminta upah. Beliau mengucapkan kalimat istirja’
(إَنَّ لِلَّهِ وَ إِنَّ إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ ), kemudian berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
9-مَنْ قَرَأَ الْقُرْانَ فَالْيَسْأَلِ اللهَ بِهِ, فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْانَ يَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ.
“Barangsiapa membaca Al Qur`an, hendaklah ia meminta pahalanya kepada Allah. Sesungguhnya akan datang beberapa kaum yang membaca Al Qur`an , lalu meminta upahnya kepada manusia“. [Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh At Tirmidzi (2917); Ahmad (IV/432-433,436 dan 439); Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (1183), dari jalur Khaitsamah, dari Al Hasan, dari Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu].
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
10-تَعَلَّمُوْا الْقُرْانَ, وَاسْأَلُوا اللهَ بِهِ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَنْ يَتَعَلَّمَهُ قَوْمٌ يَسْأَلُونَ يِهِ الدُّنْيَا, فَإِنَّ الْقُرْانَ يَتَعَلَّمُهُ ثَلاَثةٌ: رَجَلٌ يُبَاهِيْ بِهِ, وَرَجُلٌ يَسْتَأْكِلُ بِهِ, وَرَجُلٌ يَقْرَأُهُ للهِ.
“Pelajarilah Al Qur`an, dan mintalah surga kepada Allah sebagai balasannya. Sebelum datang satu kaum yang mempelajarinya dan meminta materi dunia sebagai imbalannya. Sesungguhnya ada tiga jenis orang yang mempelajari Al Qur`an. Orang yang mempelajarinya untuk membangga-banggakan diri dengannya, orang yang mempelajarinya untuk mencari makan, orang yang mempelajarinya karena Allah semata“. [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (III/38-39); Al Baghawi (1182); Al Hakim (IV/547) dan selainnya dari dua jalur. Hadits ini hasan, Insya Allah. Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no. 258].
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami. Saat itu kami sedang membaca Al Qur`an. Di antara kami terdapat orang-orang Arab dan orang-orang ‘Ajam (non Arab). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
11- اِقْرَؤُوْا فَكُلٌّ حَسَنٌ, وَسَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يُقِيمُونَهُ كَمَا تُقَامُ القِدْحُ يَتَعَجَّلُونَهُ وَلاَ يَتَأَجَّلُونَهُ.
“Bacalah Al Qur`an. Bacaan kalian semuanya bagus. Akan datang nanti beberapa kaum yang menegakkan Al Qur`an seperti menegakkan anak panah. Mereka hanya mengejar materi dunia dengannya dan tidak mengharapkan pahala akhirat“. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (830) dan Ahmad (III/357dan 397) dari jalur Muhammad bin Al Munkadir dari Jabir. Sanadnya shahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud, III/418 no. 783][5]
Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Syibl Al Anshari Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Mu’awiyah berkata kepadanya: “Jika engkau datang ke kemahku, maka sampaikanlah hadits yang telah engkau dengar dari Rasulullah!” Kemudian ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
12- اِقْرَؤُوْا الْقُرْانَ,وَلاَ تَأْكُلُوا بِهِ, وَلاَ تَسْتَكْثِرُوا يِهِ, وَلاَ تَجْفُوا عَنْهُ, وَلاتَغْلُوا فِيهِ.
“Bacalah Al Qur`an, janganlah engkau mencari makan darinya, janganlah engkau memperbanyak harta dengannya, janganlah engkau anggap remeh dan jangan pula terlalu berlebihan” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar (4322) dan Ma’anil Atsar (III/18); Ahmad (III/428 dan 444) dan Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (III/273 no. 2595) dari jalur Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin Salam, dari Abu Sallam, dari Abu Rasyid Al Habrani, dari Abdurrahman bin Syibl Al Anshari. Sanad tersebut shahih dan perawinya tsiqah].
Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali menjelaskan :
a. Hadits-hadits di atas menunjukkan haramnya mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an, dan haram mencari makan darinya.
Akan tetapi jumhur ahli ilmu membolehkan mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an. Mereka berdalil dengan hadits pemimpin suku yang tersengat binatang berbisa lalu diruqyah oleh sebagian sahabat dengan membacakan surat Al Fatihah kepadanya. Kisah ini diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat lain dari ‘Abdullah bin’ Abbas radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
اِنَّ اَحَقَّ مَا أَخَذْتُم عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
Sesungguhnya perkara yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.
b. Mereka menjawab hadits-hadits yang disebutkan di atas sebagai berikut:
- Mengambil upah diharamkan apabila diminta dan mencari penghormatan diri.
- Hadits-hadits di atas tidak terlepas dari cacat dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
- Larangan tersebut telah dimansukhkan (dihapus) hukumnya.
c. Setelah diteliti lebih dalam, maka jelaslah bahwa jawaban-jawaban di atas sama-sekali tidak memiliki dasar. Berikut ini rinciannya :
- Klaim, bahwa mengambil upah diharamkan apabila diminta dan mencari penghormatan diri, ditolak oleh hadits ‘Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu. Dalam hadits itu, hal tersebut tidak disinggung, namun Rasulullah tetap melarangnya.
- Klaim, bahwa hadits-hadits di atas tidak terlepas dari cacat dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil, tidaklah mutlak benar. Namun ada yang shahih, hasan dan ada yang dha’if, namun dha’ifnya bisa terangkat ke derajat shahih karena ada riwayat-riwayat yang menguatkannya. Dengan demikian bisa dijadikan sebagai dalil.
- Klaim, bahwa hukum di atas telah dimansukh (dihapus), maka hal ini tidak boleh ditetapkan hanya dengan berdasarkan praduga belaka. Dan alternatif penghapusan hukum tidak boleh diambil, kecuali bila hadits-hadits tersebut tidak mungkin digabungkan dan memang benar-benar bertentangan.
Siapapun yang memperhatikan hadits-hadits tersebut, tentu dapat melihat bahwa: - Haram hukumnya mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an.
- Haram hukumnya mencari makan dan memperoleh harta dari Al Qur`an.
Adapun dalil-dalil yang membolehkan hal tersebut menunjukkan bolehnya mengambil upah dari ruqyah. Jadi jelaslah, bahwa kedua masalah di atas berbeda.
Kesimpulannya, hadits-hadits di atas jelas menunjukkan larangan mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an dan memperoleh harta darinya. Wallahu a’lam.[6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat tahun 728 H) pernah ditanya : “Apakah boleh seorang yang mengajarkan ilmu syar’i dan Al Qur`an mengambil upah dari pengajarannya itu?” Beliau menjawab: “Segala puji bagi Allah. Mengajarkan ilmu dan Al Qur`an tanpa upah, adalah seutama-utama amal dan paling dicintai oleh Allah. Hal ini sudah diketahui dari agama Islam dan bukanlah suatu hal yang tersembunyi bagi orang yang hidup di negara Islam; para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan selain mereka dari kalangan ulama yang masyhur yang berkata tentang Al Qur`an, hadits, dan fiqh. Mereka mengajarkan ilmu ini tanpa upah. Belum ada di antara mereka yang mengajarkan ilmu dengan upah. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham; akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah beruntung. Para nabi -shalawatullah alaihim- mereka mengajarkan ilmu tanpa upah. Sebagaimana perkataan Nuh Alaihissalam, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat Asy Syu’ara/26 ayat 109. وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ Aku tidak meminta dari kalian upah. Sesungguhnya ganjaranku ada di sisi Rabb semesta alam.
Demikian pula yang dikatakan oleh Nabi Hud, Syu’aib, Shalih, Luth[7] dan yang lainnya. Begitu juga yang dikatakan penutup para rasul, ”Katakanlah : Aku tidak meminta upah dari kalian atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan”.[8] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata,
”Katakanlah: Aku tidak meminta upah dari kalian atas dakwahku, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan tuhannya”. [Al Furqan/25 : 57]. Lihat Majmu’ Fatawa (XXX/204-205).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah ketika menafsirkan surat Yasin/36 ayat 20-21:
وَجَآءَ مِنْ أَقْصَا الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَاقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ اتَّبِعُوا مَن لاَّيَسْئَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib An Najjar) dengan bergegas ia berkata: “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Beliau berkata, diantara pelajaran yang terkandung dari ayat ini ialah, seorang da’i yang mengajak manusia ke jalan Allah, hendaknya dia menjauhkan diri mengambil harta dari tangan manusia meskipun mereka memberikan. Karena yang demikian itu akan mengurangi kedudukannya apabila dia menerima sebab orang yang memberikan itu karena dakwah dan nasehatnya. Karena sesungguhnya para rasul -alahimus shalatu wassalam- mereka tidak meminta upah dari manusia, baik dengan perkataannya maupun keadaannya; karena itu kita mengetahui jeleknya sebagian orang yang mereka menasihati manusia apabila setelah selesai ia berkata “Sesungguhnya saya punya kebutuhan, keluarga, dan yang sepertinya”. Sehingga tujuan dari memberi nasihat itu untuk dunia.
Kemudian Syaikh Utsaimin juga menjelaskan, jika mengajar, yang dia (seseorang itu) membutuhkan waktu, tenaga, fikiran, kelelahan, maka tidak apa-apa dia mengambil upah dengan dasar hadits Nabi:
إِنَّ اَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
Sesungguhnya perkara yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.[Hadits shahih riwayat Bukhari, 5737 dari sahabat Ibnu Abbas].
Menerima atau mengambil upah karena mengajar Al Qur`an atau da’wah, merupakan masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama berpendapat boleh menerima upah atau mengambil upah karena mengajarkan Al Qur`an atau da’wah.
Sebagian Ulama yang lain berpendapat tidak boleh. Yang berpendapat seperti ini, yaitu: Imam Az Zuhri, Abu Hanifah dan Ishaq bin Rahawaih. Yang berpendapat boleh, mereka mengambil dalil hadits di atas yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Ibnu Abbas, juga beberapa hadits yang lain, seperti Nabi menikahkan seorang sahabat dengan hafalan Qur’annya, dan ini haditsnya shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Sahl bin Sa’ad.
Pendapat yang rajih (kuat) dari dua pendapat ulama ini, yaitu tentang bolehnya mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an dan berda’wah. Tetapi yang perlu diingat, bahwa setiap orang yang menuntut ilmu, kemudian mengajarkan Al Qur`an ataupun berda’wah, maka dia harus melakukannya semata-mata ikhlas karena Allah dan mengharapkan ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ; tidak boleh mengharapkan sesuatu dari manusia baik berbentuk harta maupun yang lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
14- مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ,لاَيَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَالَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa menuntut ilmu, yang seharusnya ia tuntut semata-mata mencari wajah Allah Azza wa Jalla, namun ternyata ia menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan aroma wanginya surga pada hari kiamat“. [Hadits shahih riwayat Abu Dawud, 3664; Ahmad, II/338; Ibnu Majah, 252; dan Hakim, I/85 dari sahabat Abu Hurairah. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi].
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anh berkata: “Jikalau seorang yang berilmu mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya, maka dia akan mendapatkan kemuliaan di antara orang-orang sezamannya. Akan tetapi mereka menyampaikan ilmu kepada pecinta dunia untuk mengharapkan harta mereka, maka mereka menjadi hina”.[9]
Ibnu Jama’ah berkata: “Hendaknya seorang yang berilmu membersihkan ilmunya dari menjadikannya sebagai jalan untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi, baik untuk mencari kehormatan, harta, ketenaran, atau merasa lebih hebat dari teman-temannya…”[10]
Kalau seorang da’i tidak mempunyai mata pencaharian yang memadai, dan dia waktunya habis untuk mengajar dan berdakwah, maka dibolehkan menerima upah. Dan kepada Ulil Amri (penguasa atau pemerintah), selayaknya memberikan imbalan yang setimpal, karena dia mengajar kaum muslimin, sebagaimana dijelaskan oleh Al Khatib Al Baghdadi dalam kitab Al Faqih Wal Mutafaqqih (II/347), tahqiq ‘Adil bin Yusuf Al ‘Azazi.
Demikianlah sebagian yang dapat saya tulis tentang masalah ini, yang berkaitan dengan mengambil upah dari mengajarkan Al Qur’an dan berda’wah. Wallahu a’lam bish shawab.
Kesimpulan yang bisa diambil dari masalah ini ialah:
- Seorang da’i dianjurkan untuk mencari nafkah yang halal.
- Hidup dengan menggantungkan diri kepada orang lain adalah tercela dan hina.
- Malas merupakan sifat yang tercela; dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung kepada Allah dari sifat malas.
- Islam melarang meminta-minta atau mengemis untuk kepentingan pribadi.
- Makan dari hasil jerih payah sendiri adalah terhormat dan nikmat.
- Mencari nafkah tidak menghalangi seseorang untuk menuntut ilmu syar’i.
- Mencari nafkah tidak menghalangi seorang da’i untuk menyampaikan dakwahnya.
- Para nabi dan rasul, mereka semua tidak meminta upah dari manusia sebagaimana Allah sebutkan dalam ayat-ayat Al Qur`an.
- Menurut jumhur ulama, menerima upah dari mengajarkan Al Qur`an dan berda’wah adalah diperbolehkan, namun menjadikannya sebagai tujuan untuk mendapatkan ma’isyah (mata pencaharian) adalah terlarang.
- Selayaknya bagi Ulil Amri atau orang yang kaya menjamin kebutuhannya sehari-hari, sehingga dia dapat memaksimalkan waktu dan tenaganya untuk mengajar Al Qur`an dan berda’wah.
- Kalau tidak ada yang menjamin dari Ulil Amri maupun orang yang kaya, maka seorang da’i harus dapat membagi waktunya untuk mencari nafkah dan berdakwah. Tidak boleh dia bergantung kepada mad’u (muridnya).
- Seseorang, sekali-kali tidak boleh berharap kepada manusia. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Hendaknya kalian berputus asa kepada apa yang ada di tangan manusia, niscaya engkau akan menjadi orang yang kaya”. (Lihat Silsilah Ahaadits Ash Shahihah, no. 401, 1914, hadits hasan).
- Mengajar Al Qur’an dan berda’wah adalah amalan yang paling baik dan ganjarannya sangat besar. Oleh karena itu, keutamaan yang sangat besar ini janganlah dihapuskan dengan tujuan-tujuan duniawi yang fana dan remeh.
- Setiap muslim, apalagi seorang da’i, haruslah mengharap hanya kepada Allah saja dan mengadukan kesulitan kepadaNya, insya Allah diberikan jalan keluar yang terbaik.
MARAJI’:
- Tafsir Ibnu Katsir.
- Kutubus Sittah.
- Musnad Imam Ahmad.
- Riyadush Shalihin, oleh Imam An Nawawi.
- Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
- Syarah Riyadush Shalihin, tahqiq Dr. Al Husaini Abdul Majid Hasyim.
- Mausu’ah Al Manahiy Asy Syar’iyyah Fi Shahihis Sunnah An Nabawiyyah, ta’lif Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
- Silsilah Ahadits Ash Shahihah, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
- ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud, oleh Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azim Abadi.
- Shahih Jami’ Bayanil Ilmi Wa Fadlih Lil Hafizh Ibnu Abdil Barr, oleh Abul Asybal Az Zuhairi.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_____
Footnote
[1] Hadits hasan. Lihat Shahih Jami’ush Shagir, no. 73 dan 3710
[2] Tafsir Ibnu Katsir, IV/420, Cet. Darus Salam
[3] Tafsir Ibnu Katsir III/578-579, Cet. Darus Salam
[4] Kemudian Al Baihaqi meriwayatkan dari Utsman bin Sa’id Ad Darimi, dari Duhaim, ia (Al Baihaqi) berkata: “Hadits Abu Darda’, dari Rasulullah yang berbunyi ‘Barangsiapa yang mengambil sebuah busur sebagai upah dari mengajarkan Al Qur`an’ tidak ada asalnya”.
Namun perkataan Al Baihaqi itu dibantah oleh Ibnu At Turkimani sebagai berikut: “Imam Al Baihaqi telah meriwayatkannya dengan sanad yang shahih. Saya kurang mengerti, mengapa ia mendhaifkannya dan mengatakan tidak ada asalnya!?”
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Diriwayatkan oleh Ad Darimi dengan sanad yang sesuai syarat Muslim, akan tetapi gurunya, yakni Abdurrahman bin Yahya bin Ismail, tidak dipakai oleh Imam Muslim. Abu Hatim telah berkomentar tentangnya ’Tidak ada masalah dengannya’.”
Dalam sanadnya terdapat dua cacat. Pertama, Sa’id bin ‘Abdul ‘Aziz rusak hafalannya di akhir usianya. Saya belum dapat memastikan, apakah ia mendengar hadits ini setelah hafalannya rusak atau sebelumnya. Kedua , Al Walid bin Muslim adalah seorang mudallis tadlis taswiyah (bentuk tadlis yang paling buruk). Dia belum menyatakan penyimakannya dalam seluruh tingkatan sanad tersebut. Akan tetapi hadits berikut dapat menguatkannya. Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no. 256 dan Mausu’ah Al Manahi Asy Syar’iyyah, I/212.
[5] Ada penguat dari hadits Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (831), Ahmad (III/146,155 dan V/338), Ibnu Hibban (760), Ibnu Mubarak dalam Az Zuhd (8130), Ath Thabrani dalam Al Kabir (6021, 6022, dan 6024) dan lainnya dari dua jalur. Kedua jalur tersebut memiliki cacat. Akan tetapi keduanya saling menguatkan satu sama lain. Lihat Mausu’ah Al Manahiy Asy Syar’iyyah, 1/215.
[6] Lihat Mausu’ah Al Manahiy Asy Syar’iyyah Fi Shahihis Sunnah An Nabawiyyah, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali, hlm..212-216, Cet. I, Dar Ibnu Affan, Th. 1420, Kairo dan Silsilah Ahadits Ash Shahihah, Juz 1, no. 256-260
[7] Asy Syu’ara ayat 109,127,145,164,180
[8] Shad/38 ayat 86
[9] Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadlih. Lihat Shahih Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadlih, no.746, diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abi Syaibah
[10] Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim Fi Adabil ‘Alim Wal Muta’alim, hlm. 48 oleh Ibnu Jama’ah Al Kinani, wafat th. 733 H, Muhaqqaq
- Home
- /
- A9. Fiqih Muamalah6 Hutang...
- /
- Anjuran Mencari Nafkah dan...