Poligami

Pasal 1. Memberi Setiap Isteri Sebuah Rumah Sebagai Upaya Mengikuti Nabi
Pasal 2. Apa yang Dilakukan Suami pada Pagi Hari Setelah Malam Pertama
Pasal 3. Masa Tinggal Suami di Sisi Isteri yang Masih Gadis dan yang Janda Setelah Pernikahan
Pasal 4. Wajib Hukumnya Menyamakan Giliran Di antara Isteri-Isteri yang Dimiliki
Pasal 5. Di antaranya Beliau juga Memberikan Giliran kepada Isteri yang Sakit, yang sedang Haid, dan yang Lainnya
Pasal 6. Seorang Suami Tidak Boleh Keluar dari Rumah Salah Seorang Isterinya pada Malam Hari Menuju ke Rumah Isterinya yang Lain, kecuali karena Suatu Keperluan
Pasal 7. Seorang Suami Tidak Boleh Berjima’ dengan Seorang Isteri di Luar Waktu Gilirannya, kecuali dengan Seizin Isteri yang Mendapat Giliran
Pasal 8. Tidak ada Kewajiban bagi Seorang Suami untuk Menyamaratakan dalam Hal Cinta dan Hubungan
Badan
Pasal 9. Kewajiban Menyamaratakan (Secara Adil) Semua Isteri dalam Hal Pemberian Nafkah (Lahir/Materi)
Pasal 10. Sekelumit Tentang Sikap Adil Para Ulama Salaf
Pasal 11. Mengadakan Undian untuk Menentukan Siapa yang Akan Ikut dalam Suatu Perjalanan
Pasal 12. Menyelesaikan Perselisihan antara Isteri-Isteri
Pasal 13. Nafkah Tempat Tinggal bagi Wanita yang Ditalak Raj’i
Pasal 14. Nafkah bagi Wanita yang Ditalak Ba’in Tetapi dalam Keadaan Hamil
Pasal 15. Mut’ah (Pemberian) bagi Wanita yang Ditalak
Pasal 16. Pesan Nabi Berkenaan dengan Wanita

BAB III
POLIGAMI

Allah Ta’ala berfirman:

فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَة

“…Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…” [An-Nisaa’/4: 3]

Pertanyaan : Apakah poligami itu dianjurkan?

Jawab : Syaikh Musthafa al-‘Adawi حفظه الله تعالى mengatakan : “Letak dianjurkannya poligami itu adalah jika seorang laki-laki mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Hal itu sesuai dengan firman Allah Ta’ala : ( فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً )Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.’ Dan jika dirinya merasa aman dari fitnah dari isteri-isterinya dan tidak akan menyia-nyiakan hak Allah atas dirinya karena mereka, serta bisa menyibukkan dalam beribadah kepada Rabb karena mereka. Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ 

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.’ [At-Taghaabun/64: 14]

Selain itu, dia melihat adanya kemampuan untuk menjaga kesucian mereka serta memberikan perlindungan kepada mereka sehingga dia tidak akan memberikan kerusakan kepada mereka. Sebab, Allah tidak menyukai kerusakan.

Dan sesuai dengan kemampuannya dia harus memberikan nafkah kepada mereka. Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman:

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغْنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ

Baca Juga  Kewajiban Menyamaratakan Semua Isteri dalam Hal Pemberian Nafkah

‘Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.’  [An-Nuur/24: 33]”[1]

Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya tentang hukum poligami, apakah sunnah?

Dia menjawab, “Tidak sunnah, tetapi boleh.

Pasal 1
Memberi Setiap Isteri Sebuah Rumah Sebagai Upaya Mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman:

وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ

Dan Hendaklah mereka tetap tinggal di rumah mereka.” [Al-Ahzaab/33: 33]

Dia juga berfirman:

وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلٰى فِيْ بُيُوْتِكُنَّ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ وَالْحِكْمَةِۗ 

Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu).” [Al-Ahzaab/33: 34]

Dia juga berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتَ النَّبِيِّ اِلَّآ اَنْ يُّؤْذَنَ لَكُمْ 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan.” [Al-Ahzaab/33: 53]

Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa rumah Nabi itu ada beberapa buah dan bukan hanya satu saja.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta ketika sakit yang mengantar beliau wafat, “Di mana aku besok? Di mana aku besok?” Yang beliau maksudkan adalah hari (giliran) ‘Aisyah. Lalu isteri-isteri beliau mengizinkan beliau untuk menetap di mana beliau kehendaki, sehingga beliau tinggal di rumah ‘Aisyah sampai beliau wafat di sisinya. ‘Aisyah berkata, “Maka beliau meninggal pada hari yang menjadi giliranku di rumahku. Lalu Allah mencabut nyawa beliau sementara kepala beliau bersandar di dadaku, sementara keringat beliau bercampur dengan keringatku.” [HR. Al-Bukhari].

Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi pernah berada di rumah salah seorang isterinya, lalu salah seorang Ummahatul Mukminin (isteri-isteri Nabi) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian wanita yang rumahnya ditempati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali makanan tersebut ke dalamnya seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu.’ Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga dia diberi piring dari isteri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada isteri yang dipecahkan piringnya. Sementara Nabi tetap menahan piring yang pecah itu di rumah kejadian peristiwa piring pecah.” [HR. Al-Bukhari].

Ibnu Abu Syaibah rahimahullah di dalam kitab al-Mushannaf (IV/388) berkata, ‘Abad bin al-‘Awam mengabarkan kepadaku dari Ghalib, dia berkata, “Aku pernah tanyakan kepada Hasan -atau ditanya- tentang seorang laki-laki yang mempunyai dua isteri di dalam satu rumah? Dia menjawab, ‘Mereka (para Sahabat) memakruhkan al-wajs, yakni dia menggauli salah seorang dari keduanya sementara yang lainnya melihat.’” Atsar ini shahih.

Di dalam kitab al-Mughni (VII/26), Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Seorang laki-laki tidak boleh menghimpun dua isterinya di dalam satu tempat tinggal tanpa keridhaan keduanya, baik itu masih kecil maupun sudah tua, karena antara keduanya terdapat mudharat, dimana antara keduanya ada permusuhan dan kecemburuan. Sementara penyatuan keduanya dapat menyulut pertengkaran dan peperangan. Dan masing-masing dari keduanya akan mendengar gerakannya jika dia menggauli isterinya yang lain atau bisa juga dia akan melihat hal tersebut. Dan jika keduanya sama-sama setuju dengan hal tersebut, maka hal itu dibolehkan, karena hak itu milik keduanya, sehingga keduanya diberi toleran untuk meninggalkannya.

Baca Juga  Menyelesaikan Perselisihan antara Isteri-Isteri

Demikian juga jika keduanya rela suami mereka tidur di antara keduanya dalam satu selimut. Dan jika keduanya rela untuk suami mereka mencampuri salah seorang dari mereka dengan disaksikan oleh yang lainnya, maka yang demikian itu tidak diperbolehkan, karena hal tersebut mengandung kehinaan, kenistaan, dan jatuhnya kewibawaan sehingga hal tersebut tidak diperbolehkan meskipun keduanya membolehkan.”

Imam al-Qurthubi (XIV/217) berkata, “Tidak diperkenankan mengumpulkan para isteri di satu rumah, kecuali jika mereka rela.”

Di dalam kitab al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab dikatakan (XVI/415), “Jika seorang suami memiliki beberapa isteri yang tidak ditempatkan di dalam satu rumah, kecuali dengan kerelaan mereka atau salah seorang dari mereka, karena hal itu dapat menimbulkan pertengkaran di antara mereka. Dan tidak diperbolehkan baginya untuk mencampuri salah seorang dari mereka ketika yang lainnya tengah berada bersamanya karena yang demikian itu adalah adab yang tidak baik lagi merusak hubungan.”

Catatan:
Diantara bentuk kelaziman rumah yang mandiri bagi setiap isteri adalah tidak ada campur tangan dalam hal makanan di antara isteri-isteri. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits terdahulu, “Lalu salah seorang Ummahatul Mukminin mengirimkan satu piring yang di dalamnya terdapat makanan.” Hadits itu menunjukkan bahwa makanan masing-masing isteri terlepas dari yang lainnya. Tetapi, jika mereka tengah berkumpul dalam suatu jamuan dengan keridhaan dari semua isteri, maka hal itu tidak ada masalah. Wallahu a’lam.

Pasal 2
Apa yang Dilakukan Suami pada Pagi Hari Setelah Malam Pertama
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dari hadits Anas Radhiyallahu anhu  ia berkata:

أَوْلَمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَنَى بِزَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ فَأَشْبَعَ النَّاسَ خُبْزًا وَلَحْمًا ثُمَّ خَرَجَ إِلَى حُجَرِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ كَمَا كَانَ يَصْنَعُ صَبِيحَةَ بِنَائِهِ فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِنَّ وَيُسَلِّمْنَ عَلَيْهِ وَيَدْعُو لَهُنَّ وَيَدْعُونَ لَهُ.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengadakan walimah ketika menikahi Zainab binti Jahsyin. Beliau mengenyangkan orang-orang dengan roti dan daging. Setelah itu beliau pergi ke rumah-rumah Ummahatul Mukminin, sebagaimana yang biasa beliau lakukan pada pagi hari setelah malam pertama. Lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka seraya mendo’akan mereka, sementara mereka pun memberi ucapan selamat kepada beliau seraya mendo’akan beliau.

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
______
Footnote
[1]  Fiqh Ta’addud az-Zaujaat, hal. 5, Syaikh Musthafa al-‘Adawi.